Jatuhnya pesawat Lion Air JT 610, Senin (29/10/18) lalu kembali mengingatkan pentingnya menempatkan keselamatan penerbangan sebagai prioritas utama transportasi udara. Dampak dari kecelakaan dan jumlah korban yang tak sedikit membuat sisi kemanusiaan kita tersentak.
Dari peristiwa kecelakaan pesawat yang pernah terjadi pun selalu terselip kisah-kisah inspiratif dan heroik di belakangnya. Salah satunya kisah Bahia Bakari, gadis 13 tahun yang menjadi satu-satunya penumpang pesawat Yemenia bernomor penerbangan 626 yang selamat. Pesawat itu jatuh ke lautan Hindia di dekat pantai Grande Comore, Komoro, 30 Juni 2009, akibat human error. Sebanyak 152 penumpang dan kru pesawat tewas, termasuk Aziza, ibunda Bahia.
Bahia menggantung di sebuah lempengan besi, potongan badan pesawat. Di sekelilingnya gelap. Tubuh kecilnya diombang-ambing ombak lautan Hindia yang terkenal ganas. Lewat lubang kecil di potongan badan pesawat yang menjadi “penyelamat”, Bahia melihat bayangan hitam di bawah air. Bayangan ikan hiu. “Aku tak bisa bergerak, tubuhku kaku. Kupikir hidupku bakal berakhir saat itu. Aku memejamkan mata dan berdoa,” kisah Bahia.
Ketika berada di laut, Bahia berpikir bahwa sang ibunda sudah mendarat dan pasti akan sangat mengkhawatirkan keselamatan dirinya. Bahia juga yakin, sang ibunda bakal memarahinya karena ia bandel tak memakai sabuk pengaman.
Baca juga: Muniba Mazari, Semangat Iron Lady of Pakistan
Bahia dan ibunya, yang merupakan warga Perancis, berangkat dari Paris sehari sebelumnya. Setelah transit di Marseille, mereka melanjutkan penerbangan menuju ibukota Komoro, Moroni. Ketika bersiap mendarat di Moroni, pesawat mulai terasa bergetar. Kru pesawat juga terlihat cemas. Lampu kabin hidup mati ketika pesawat mulai turun tak terkendali.
Bahia sempat menempelkan kepalanya ke jendela pesawat untuk melihat lampu-lampu kota Moroni. Mendadak ia merasakan sengatan di sekujur tubuhnya. “Aku ingin memanggil Mama tapi tubuhku sangat panas, rasanya mau meledak,” tulis Bahia menceritakan pengalaman mengerikan yang dialaminya. “Setelah itu terdengar suara ledakan yang sangat keras.”
Sekejap berikutnya ia sadar sudah berada di atas air. Terbatuk-batuk dan merasa lehernya seperti tercekik, ia berupaya menggapai udara untuk mendapat oksigen. “Saat itu semuanya gelap, enggak ada cahaya bulan, aku lihat ada 4 potongan badan pesawat terapung tak jauh dari tempatku,” tulis Bahia dalam bukunya A Day Like Any Other yang diterbitkan Jean-Claude Gawsewitch di Paris.
“Aku berusaha berenang menuju ke potongan paling besar.” Bahia berhasil mencapai potongan tersebut dan berusaha naik ke atasnya, tapi sisi potongan patah. Bahia pun akhirnya berhasil naik ke atas potongan dengan kaki menjuntai ke air.
Saat itu, tulis Bahia, “Aku dengar suara perempuan menangis minta bantuan.” Ia pun mencoba mendekati asal suara, tapi lengannya terasa sangat sakit untuk mengayuh. Lagipula, ia tak bisa melihat apa-apa, semuanya gelap. Beberapa saat kemudian, suara perempuan itu tak lagi terdengar.
Baca juga: Sebelum Ngetop, Masa Lalu IU Menyedihkan
Bahia sempat mendengar suara pesawat melintas di atasnya dan yakin bahwa tak lama lagi pertolongan bakal datang. Ketika ombak datang dan mengangkat tubuhnya, Bahia sempat melihat horizon berwarna hijau di kejauhan. Daratan, begitu pikirnya.
Tak lama ia baru sadar, ternyata ia justru menjauhi daratan, bukannya mendekat. Bahia pun putus asa, ia merasa tak seorang pun bakal menemukannya. Kekuatannya mulai runtuh, pikirannya kacau. Nyaris ia menyerah.
Tapi semangatnya kembali bangkit ketika samar-samar ia melihat sesuatu bergerak ke arah dirinya. Ternyata, bayangan itu adalah bayangan kapal. Bahia mencoba berteriak. Bayangan kapal muncul makin banyak. Rupanya, kapal-kapal itu merupakan kapal nelayan yang bergerak ke lokasi untuk menyelamatkan para korban.
Libouna Matrafi, salah seorang nelayan yang ikut dalam pencarian, terlihat berdiri di ujung kapalnya, matanya menembus kegelapan dan menemukan tubuh Bahia yang terapung di atas potongan badan pesawat.
Sesampai di darat, Bahia langsung dibawa ke rumah sakit dan mendapat perawatan. Tubuhnya penuh luka, kakinya mengalami luka bakar, tulang panggul dan tulang selangkanya patah. Tapi sakit itu tak dirasakan Bahia. Yang ia inginkan hanya bertemu dengan ibunya.
Namun, kenyataan pahit harus ia terima, nyawa sang ibu tak bisa diselamatkan. Bahia tak percaya. “Kabar itu lebih menyakitkan daripada jatuh karena kecelakaan,” kata Bahia yang berhasil diselamatkan setelah terombang-ambing selama 9 jam di lautan Hindia. Semangat dan keyakinan kuat membantu Bahia selamat dari maut.
Bahia meninggalkan rumah sakit pada 23 Juli 2009. Laporan akhir penyelidik kecelakaan penerbangan menyebutkan bahwa kecelakaan dipicu ketidakcakapan kru pesawat yang mengakibatkan terjadinya aerodynamic stall. Laporan itu juga menyebutkan, kru pesawat tidak merespons peringatan yang muncul pada panel pesawat.