Bapak adalah laki-laki paling kuat yang ada. Tak pernah terlihat marahnya, juga sedihnya.
Tapi aku sudah bikin Bapak menangis tiga kali. Februari 12 tahun lalu, pertengahan tahun 2012, dan bulan Juli tahun ini.
Februari, 2006.
Tahun aku menjalani operasi skoliosis, yaitu kelainan pada tulang punggung yang membuat pertumbuhan tulang punggungku tidak normal. Bengkok ke arah kiri dan kanan, mempersempit ruang jantung dan paru-paru. Membahayakan jika tidak ditindak lanjuti.
Setelah aku tersadar dari operasi selama 8 jam itu dan dipindah ke kamar rawat, dokter masuk memberi arahan tentang pantangan dan saran. Salah satunya tidak boleh melakukan olahraga apapun selama masa pemulihan yang membutuhkan waktu tidak sebentar.
Usiaku 13 tahun saat itu. Spontan aku yang entah lugu entah dungu waktu itu bilang, “Hah? Terus saya ambil nilai olahraga gimana?!” suaraku agak meninggi. Mengingat tak lama setelah itu akan ada ujian lari di sekolah. Bapak balik badan. Kemudian kembali dengan mata yang agak basah.
Pertengahan 2012 lalu.
Aku kembali membuat Bapak menangis. Ini sebenarnya cerita bodoh dan memalukan. Curhatnya anak perempuan di usia awal dua puluhan tentang lelaki lain pada Bapaknya. Curhatan anak perempuan yang khawatir tidak ada lelaki yang memilihnya karena keadaan tulang punggung tak seperti kebanyakan orang.
“Dek, jangan khawatir,” kata Bapak yang memang memanggilku ‘Adek’, meski aku anak kedua dari tiga bersaudara. Dipegangnya bahu kanan dan kiriku. Dipijatnya perlahan. “Sampai kapan pun…sampai kapan pun… Bapak sayang sama Adek. Bapak sayang sekali sama Adek,” sambung Bapak, dengan suara bergetar. Matanya perlahan berair, kami menangis berdua.
Ya Allah…malu sekali rasanya. Apa perasaan Bapak mendengar kekhawatiran anaknya yang tidak masuk akal waktu itu. Khawatir tidak dapat diterima orang lain karena kondisi fisik yang bahkan tak kurang satu apapun ini. Seakan lupa pada Bapak yang selama ini membesarkan anaknya dengan penuh kasih sayang.
Bulan Juli tahun ini.
Lagi-lagi aku kembali membuat Bapak menangis. Kali ini tak seperti alasan-alasan lalu yang mematahkan hati. Bukan lagi karena kekhawatiran akan keterbatasan, atau kekhawatiran akan penolakan, tapi karena buncahan bahagia pernikahan.
Setelah ini aku tak bisa berjanji untuk berhenti membuat Bapak menangis di kemudian hari. Kalaupun nanti airmata akhirnya jatuh lagi, bukan karena kesedihan tapi karena bagian dari kebahagiaan.
Sundari Hana Respati
IG @sundarihana
Blogger kelahiran Duri, 6 September 1992 yang menikmati kehidupan sebagai ibu rumah tangga baru. Selain aktif menulis di blog dan media sosial, lulusan S1 Gizi Kesehatan UGM ini sangat hobi nonton drama Korea.