To her, the name of father was another name for love.
Fanny Fern

Tentang Body Shaming (Part 1)

author
Sundari Hana Respati
Minggu, 9 Desember 2018 | 19:00 WIB
Sundari Hana |

Hai teman-teman, apa kabar? Masihkah “apa kabar” menjadi sapaan? Karena beberapa waktu lalu aku mendapat curhatan tentang memudarnya sapaan “apa kabar”, tergantikan dengan langsung mengomentari sesuatu yang lebih telihat, seperti “Gendut banget sekarang...”

Beberapa mungkin merasa ini hal yang biasa saja, bercanda, kata-kata yang seharusnya tidak kita masukkan ke dalam hati.

Tapi kita tak pernah tahu apa yang kita anggap canda itu bisa mengendap dan menggentayangi pikiran seseorang pada jam dua malam, atau bahkan akan terus terngiang bertahun-tahun ke depan.

Kita tidak pernah tahu kita adalah orang ke berapa yang ‘bercanda’ tentang tubuhnya dan kemudian menyakiti hatinya di hari itu.

Benteng pertahanan tiap orang tak ada yang sama tinggi dan tebalnya.

Sundari Hana |

Ada satu komentar yang sampai saat ini mengganjal di pikiranku. “Body shaming udah jadi kayak ciri khas di Indonesia.” kata seorang netizen. Hancur hatiku membacanya.

Aku harap, teman-teman yang membaca ini tidak ikut membenarkan atau malah menjadi alasan kenapa ada orang yang berkata demikian.

Bukankah lebih baik berkata baik, atau diam?

#SudahiShaming |

Yuk, kita buktikan, bahwa kita masih bisa bercanda asyik tanpa harus ada perasaan yang terusik.

Tunjukkan bahwa kita adalah orang yang pintar dengan tidak ikut-ikutan jadi pelaku, bahkan ketika kita jadi korban.

Yuk, #SudahiShaming sekarang juga!

 

 

Ikuti juga kisah mengharukan Mayu yang menjadi korban body shaming.

 

Ada juga curhat Shilla Dipo, perempuan yang menjadi korban body shaming sejak kecil, dan bagaimana ia pada akhirnya bisa survive.

 

Penulis Sundari Hana Respati
Editor Ratih Sukma Pertiwi