Love as powerful as your mother’s for you leaves its own mark to have been loved so deeply .. will give us some protection forever.
J.K. Rowling

Online Shopping, Anugerah atau Petaka?

author
Ken Terate
Kamis, 20 Desember 2018 | 17:00 WIB
SHUTTERSTOCK |

Kalau ditanya apa inovasi terbesar abad ini, saya tak akan ragu menjawabnya: online shopping! Siapa pun penemu online shopping, saya tak bakal ragu menobatkannya sebagai pahlawan dan mencium tangannya sebagai ungkapan terima kasih.

Betapa tidak, saat saya baru saja melahirkan dan untuk keluar di minimarket dekat rumah saja butuh perencanaan mendetail kayak operasi militer, online shopping menjadi penyelamat saya. Ada barang-barang pokok yang harus selalu dibeli, misalnya gula dan minyak goreng. Lalu, karena ada bayi, kebutuhan makin banyak, mulai dari diaper, minyak telon, sampai cemilan buat dikudap saat mendadak kelaparan di tengah-tengah menyusui.

Selain itu hasrat belanja makin menggebu karena berhari-hari saya nggak sempat mencium aroma toko dan mendengar denting mesin kasir yang merdu sekaligus bikin cemas itu. Jujur saya mulai khawatir ekonomi negara bakal sedikit kacau gara-gara saya absen belanja.

Belanja online menyelamatkan saya dari banyak hal: pemborosan waktu dan energi. Itu yang pertama. Saya tak perlu membuang sejam dua jam untuk pergi ke toko, menelusuri rak, dan tentu saja menclok ke sana ke sini buat mengagumi barang-barang bagus, dan akhirnya membelinya juga meski awalnya nggak niat. Benar-benar morotin dompet.

Nah poin kedua. Belanja di internet lebih hemat! Bukan rahasia lagi barang-barang di online shop kebanyakan lebih murah. Meski dengan ongkos kirim, jatuhnya tetap lebih miring karena kita nggak perlu keluar uang bensin, uang parkir, jajan teh botol, dan Hot Wheels (yang ini gara-gara si kecil ikut belanja).

Tetapi baru-baru ini keyakinan saya runtuh gara-gara saya menghabiskan waktu satu jam buat lihat-lihat sofa di intenet. Saya tidak membutuhkan sofa, tetapi karena iklannya muncul di laman FB, ya sudahlah, lihat-lihat nggak ada salahnya, kan? Satu jam berlalu tanpa terasa karena saya merembet mencari meja yang serasi dan lampu duduknya sekalian (totalitas, dong). Saya mencoba memadupadankan furnitur itu dalam imajinasi saya, mencoba mengukur ruangan dan membayangkan  perwujudannya di ruang tamu. Harganya tak usah dipikirkan karena memang belum ada dananya.

Lalu mendadak saya panik karena ingat belum menyiapkan lauk untuk hari ini. Duh saya geregetan. Satu jam yang seharusnya bisa digunakan buat memasak atau membereskan cucian malah habis buat hal nggak jelas. Ini mah lebih parah daripada window shopping di mal. Di mal setidaknya saya bergerak membakar kalori dan tahu kapan berhenti (yaitu saat kaki sudah gempor).

SHUTTERSTOCK |

Dan tahu apa yang menyakitkan? Gara-gara mencari sofa yang tidak saya perlukan itu, saya malah berakhir beli sendok kayu! Itu lho sendok kayu sekali pakai yang ramah lingkungan sebagai pengganti sendok plastik. Yah, sendok logam yang bisa dipakai berulang memang lebih ramah sih tetapi… oke, saya akui saya akui saya khilaf! Sendok kayu itu muncul di bagian ‘Anda mungkin juga suka’.

Memang culas betul internet itu. Selalu tahu apa yang saya suka. Heran banget kan? Tak pernah ada iklan bor atau alat lukis di depan mata saya. Yang muncul itu tadi: sofa, sendok, cangkir jago, tas tangan, dan baju anak-anak. Semua barang yang bikin saya lemah iman.

Ini lebih julid daripada mal. Di mal, saya dihadapkan dengan segala macam barang secara umum. Tidak pernah barang yang saya suka disuguhkan khusus buat saya.

Harus saya akui, meski menawarkan segala kemudahan, belanja online juga punya jebakan-jebakannya sendiri. Saya pernah membeli kimono handuk di olshop yang meski ditulis ‘tebal’ ternyata tebalnya sebelas dua belas dengan kain kelambu. Pernah juga beli satu set stoples plastik yang ketika sampai salah satu piece-nya retak lumayan panjang.

Mau komplain rasanya ribet dan nggak sepadan karena harus ngirim balik. Dan tentu saja, kadang suami mengerutkan kening bila saya buka paket dari olshop (nasihat saya: jangan sampai deh suami tahu kegiatan belanja online kita). “Kamu beli apa? Cetakan pancake? Honey, perasaan tiap hari kamu cuma masak sop dan tahu tempe.”

“Maka itu, sekali-kali aku mau bikin pancake. Kalau ada cetakannya gini kan gampang.” Suami saya untungnya tidak tahu kalau pancake bisa dibuat dengan teflon biasa. Pesimisme suami terbukti. Loyang itu tetap tersimpan dalam kardusnya.

Apakah saya batal menobatkan online shopping sebagai penemuan terjenius abad ini? Tidak juga karena saya pernah mencari baju renang ke lima toko fisik dan tak ada yang cocok secara model maupun harga. Di toko online saya menemukannya dalam lima menit, memesannya dan taraaa, dua hari kemudian sampai. Yang ini untungnya, saya pakai hingga sobek.

Akhirnya sama saja. Kita bisa boros saat belanja di toko konvensional maupun di internet. Kita bisa ketipu saat belanja di warung tetangga maupun di lapak digital. Semua itu tergantung pada perilaku kita dan kadang…nasib. Nasib nih, karena bayar listrik secara online, saya dapat voucher cashback dari olshop yang hanya bisa buat belanja. Jadi butuh apa ya? Pulsa? Tatakan gelas? Sabun cuci? 

 

 

Niken Terate

kenterate@gmail.com

Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi