The best way to make children good is to make them happy.
Oscar Wilde

Magical Seven

author
Ken Terate
Selasa, 1 Januari 2019 | 18:00 WIB
SHUTTERSTOCK |

Balita dua tahun sering disebut ‘terrible two’ karena mereka gampang tantrum, senang ngabisin sampo dalam sekali tuang, dan mencabut habis tisu sekotak. Sementara balita tiga tahun dapat julukan ‘monster three’ karena mereka menggunting sprei dan menggunakan lipstick emaknya untuk membuat mural di dinding. Lalu kapan usia asyiknya? Kalau saya bilang: tujuh tahun.

Anak pertama saya adalah balita yang clingy, nempel terus pada orang tuanya. Ibunya ke pasar dekat rumah dia ikut, lalu mengeluh belanjanya kelamaan. Ibunya ke kamar mandi lebih dari dua menit, dia nggebrok-nggebrok pintu. Main perosotan di taman kota? Ibunya harus menunggui dalam jarak lima senti.   

Saat itu saya merasa ribet banget. Ketika ketemuan di kafe sama teman-teman, saya ngiri pada mereka yang  bisa ngopi cantik sambil haha hihi.  Sementara saya? Mau berangkat saja harus menghadapi drama. Bila teman-teman bisa nggosip tanpa putus, saya harus bolak-balik ke kamar mandi untuk mengantar si kecil pipis atau cuci tangan. Belum lagi minta maaf berkali-kali karena si balita bikin ulah gara-gara dia ngantuk, capek, atau bosan ndengerin obrolan emak-emak.

Di kolam renang, sementara emak-emak lain bisa nggosip di tepi kolam sambil nyemil empek-empek, saya harus berbasah-basah nyemplung karena anak saya ‘enggak mau renang sama pak guru, harus sama ibuk.’ Arrrkkkggg…

Waktu usianya enam tahun, jangankan mengirimnya ke lomba fashion show di mal, ikut lomba makan kerupuk pun dia enggak mau.

“Enggak harus menang, Kak,” kata saya. (Padahal sih saya ngarep banget dia menang. Masak lomba gitu aja enggak menang, seh. *eh).

“Buat seru-seruan aja. Coba dulu, ya,” saya terus membujuk.

“Menurutku itu enggak seru.” Ugh. Baeqlaa.

SHUTTERSTOCK |

Fast forward.

“Bu, aku diundang main ke rumah temanku besok. Boleh tidak?”

“Maaf, Nak, ibu ada acara, enggak bisa menunggui.”

“Ya udah, ibu ngantar aja, terus nanti ibu jemput.”

“Kamu yakin?”

Sebenarnya sayalah yang enggak yakin. Meski itu bukan kejadian pertama, mendadak pada usia tujuh tahun si Buntut tak ragu memisahkan diri. Saat saya ajak pulang dari suatu acara yang ia hadiri bersama teman-temannya, ia bilang, “Aku belum mau pulang. Ibu pulang dulu enggak papa. Nanti jemput aku, ya.”

Tahun itu, saya putuskan untuk mendaftarkannya ke klub renang baru setelah sebelumnya ia belajar dengan guru privat bersama sekelompok kecil temannya. Saya agak cemas. Klub renang baru berarti guru baru dan teman-teman baru yang sama sekali tidak ia kenal. Apakah dia mampu?

Tak hanya mampu, ia bahkan tak mau mentas dari kolam meski pelajaran sudah berakhir. Dan kali ini saya bisa duduk manis menunggui di tepi kolam sambil nyemil nasi goreng (*eh).

Banyak keajaiban lain yang terjadi pada usia tujuh tahun. Mendadak ia bisa menggambar, mewarnai dengan (lumayan) bagus, mengerjakan soal hitungan tertulis, dan tampil di atas panggung. Ia ikut semua lomba tujuh belasan di kampung dan menang di tiga cabang (salah satunya makan krupuk, tentu saja).

Kalau saya bilang ‘mendadak’, saya yakin sebenarnya tidak demikian adanya. Ada proses perlahan yang ia jalani dan saat ia sudah siap, ia terkesan ‘melompat’ seperti bunga yang mekar dalam semalam. Saya jadi mengerti ujaran simbah-simbah dulu, “Aja nggege mangsa.” Tak perlu memburu-buru musim. Kamu tak bisa memaksa bunga mekar sebelum waktunya.

Saya juga jadi mengerti mengapa ahli psikologi menyarankan usia tujuh tahun untuk masuk SD. Secara sederhana, pada usia itu umumnya anak-anak sudah mendapatkan kemandirian dan kepercayaan diri untuk terpisah beberapa jam dari orang tuanya. Tentu saja beberapa anak mendapatkannya pada umur lima atau enam. Lainnya pada umur delapan atau sembilan.

Kapan pun itu kita hanya perlu kesabaran lebih untuk menunggu dan menyiapkan diri bila saat itu tiba karena aduhai, meski membawa kelegaan, ada rasa sakit melihat anak-anak bahkan tak menoleh saat ibunya melambaikan tangan.  

 

Niken Terate

kenterate@gmail.com

Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi