Tahun Baru? Biasa aja. Enggak ada bedanya dengan hari-hari lain. Beberapa orang mungkin berpendapat demikian, tetapi saya tidak. Bagi saya Tahun Baru jelas berbeda dari hari lain.
Buktinya pas tanggal 1 Januari 2019, saya bangun pagi (meski malamnya begadang) dan seperti tersetrum energi Marie Kondo, saya masuk gudang dan BERSIH-BERSIH.
Gudang rumah saya kecil, tidak terlalu berantakan, dan tidak penuh-penuh banget (oke, penuh, tapi enggak terlalu. Eaa, penting banget diterangkan). Tetapi saya tahu di dalam lemari ada empat buah lampu darurat rusak yang diniatkan untuk ‘kapan-kapan-diperbaiki, deh’. Ada pula mesin pencetak pasta yang tak bisa digunakan lagi dan entah-siapa-yang-bisa-memperbaiki.
Di rak teronggok jas hujan tua, helm sepeda yang sudah bertahun-tahun tidak digunakan (menunggu saya mendapat ilham buat olahraga lagi), antene TV yang sudah menganggur lebih dari sepuluh tahun, kotak tisu yang saya sangka hilang, dan macam-macam lagi. Hanya mengetahui barang-barang itu teronggok tanpa pernah akan digunakan lagi serasa begitu meneror. Kayak memelihara sampah di rumah.
Di lemari kecil di kamar ada lebih dari sepuluh tas yang juga bertahun-tahun tak tersentuh. Ada purse kecil buat kondangan yang saking kecilnya tak muat menampung hape (apa yang saya pikirkan waktu membelinya?) Ada tas kamera yang kameranya sudah lenyap. Ada tas pinggang hasil kegilaan singkat saya bersepeda kira-kira delapan tahun lalu. Ada pula tas laptop yang merupakan goodie bag seminar, tote bag gratisan dari majalah, dan tas-tas belanja dari belacu yang sudah saya lupakan keberadaannya (ugh, padahal saya barus aja intip-intip olshop buat cari tas belanja!)
Dan mengalirlah kegalauan khas yang muncul tiap kita, eh saya, hendak membuang barang.
“Mungkin ini masih bisa diperbaiki.” (Iya, masalahnya kapaaan?)
“Mungkin ini akan kupakai lagi.” (Seriously? kebaya yang udah enggak bisa dikancingkan karena … eh enggak usah dibahas).
“Ini pemberian temanku.” (Yang mungkin dia sendiri udah lupa).
“Dulu anakku lucu banget pakai sandal ini.” (So what? Mau dipajang di dinding?)
“Ini kan belum pernah dipakai.” (Yes, karena kamu punya EMPAT kotak tisu –dan eh, tisumu selalu ditarik langsung dari plastiknya!)
Tetapi saya tahu menuruti kegalauan menyesatkan itu bakal membuat saya tertimbun barang dan tahu-tahu saya harus dibawa ke psikiater karena terindikasi penyakit hoarding.
Ada ungkapan begini, “Bila kamu tidak menggunakan barang lebih dari setahun, maka setahun ke depan kamu enggak bakal menggunakannya.” Oh, betapa benarnya!
Jadi apa yang saya lakukan?
Saya dan teman-teman senasib pernah berpikir untuk mengadakan garage sale bareng. Tetapi ternyata bikin garage sale tak semudah bayangan. Menyiapkan tempat, meja, kursi, membuat flyer dan mencari tanggal yang pas sudah bikin capek duluan. Jadi deh, garage sale itu hanya jadi wacana indah sampai sekarang.
Lalu saya berpikir untuk bikin garage sale sendiri. Gampang kan? Saya tinggal menggelar barang di depan rumah dengan dua meja. Oh, saya butuh hanger untuk menggantung pakaian. Dan eh, label harga untuk tiap barang (eh, berapa harga yang pantas buat rak piring plastik berwarna norak kayak gini?), lalu… errr… saya juga harus menyiapkan uang kembalian. Saya juga harus menungguinya empat atau lima jam. Itu artinya saya harus mengatur ulang jadwal.
Ah, kok pusing amat sih. Memangnya berapa uang yang bakal didapat kalau barang itu laku semua? Lima puluh ribu? Seratus ribu? Enggak banyak-banyak amat juga. Jadi mengapa enggak disumbangkan aja semua. Ke mana gitu kek. Ya, ke mana? Siapa yang butuh gendongan bayi, ceret yang patah gagangnya, dan topi bertuliskan merk handphone sekaligus? Saya tak mau memberatkan si penerima.
Akhirnya semua barang itu saya kumpulkan. Yang sudah benar-benar tak berfungsi saya masukkan kantong dan saya kirim ke bank sampah kampung. Yang masih bisa dipakai saya taruh di depan rumah. Saya tempelkan tulisan: SILAKAN AMBIL, GRATIS!
Dalam satu jam separuh barang sudah lenyap. Dan dalam tiga jam, nyaris semua sudah tersapu bersih berpindah ke tangan (mudah-mudahan) pemilik baru yang bisa memanfatkannya.
Efeknya wow. Saya merasa lega lahir dan batin. Saya merasa sudah mengawali tahun ini dengan baik. Apa ceritamu untuk mengawali Tahun Baru?
Niken Terate
Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.