Survei menunjukkan, kebanyakan orang tua menganggap bahwa anak batita mereka mampu mengontrol emosi di usia lebih dini. Benarkah?
Zero To Three, sebuah lembaga yang bergerak untuk masalah anak-anak usia dini, melakukan survei dan menemukan bahwa sebagian besar orang tua terlalu berharap anak-anak mereka memiliki kemampuan kontrol diri di usia lebih dini.
Matthew Melmed, Executive Director Zero To Three, mengatakan, “Orang tua sebaiknya bersikap realistis terhadap kemampuan anak agar anak berkembang secara sehat. Ini juga akan mengurangi tekanan baik bagi orang tua maupun anak.”
Contohnya, “Jika orang tua menganggap anak mampu mengontrol diri di usia yang lebih dini, dan kenyataannya anak memang belum mampu, maka yang terjadi justru orang tua menjadi frustrasi. Akibatnya, semua tindakannya terhadap anak akan jauh lebih banyak berupa hukuman ketimbang dorongan,” lanjut Melmed.
Dikutip dari Parents.com, survei juga menunjukkan, 56% orang tua menganggap anak mereka yang masih usia batita mampu mengontrol dan menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang dilarang sebelum usia 3 tahun, dan 36% orang tua yakin bahwa anak di bawah 2 tahun memiliki kemampuan ini.
Sebanyak 43% orang tua beranggapan, sebelum usia 2 tahun, anak sudah bisa berbagi dengan anak lainnya, sementara 24% orang tua yakin anak batita mampu mengontrol emosi, misalnya ketika frustrasi, di usia setahun atau 2 tahun.
Namun fakta yang ada ternyata tidak seperti yang diharapkan orang tua. Misalnya, kontrol diri baru berkembang saat anak berusia 3,5 dan 4 tahun, bahkan lebih. Keterampilan berbagi juga baru berkembang di usia 3-4 tahun, sementara kontrol emosi belum berkembang sampai anak berusia 3,5 dan 4 tahun.
Baca juga: Bolehkah Balita Ikut Kursus Olahraga? Simak Penjelasan Dari Pakar
Tak dapat dipungkiri, orang tua juga berjuang dan mencoba bersabar menghadapi anak yang lepas kontrol. Tak jarang mereka juga kehilangan kontrol dan emosi saat menghadapi anak-anak yang tantrum.
Melmed menyarankan, “Usia awal seorang anak sebaiknya berkaitan dengan pengajaran, bukan hukuman. Harus diingat, ketika orang tua memiliki harapan yang realistis terhadap kemampuan anak, anak pun akan berkembang secara sehat.”