“Kamu ini susah banget dibilangin!”
“Kalau kamu enggak mau beresin mainan, kamu enggak boleh main lagi, selamanya!”
“Berikan buku itu padaku, nanti kamu boleh nonton TV.”
Deg!Semua perkataan si sulung (7 th) pada adiknya (3 th) itu menohok saya. Semua kalimat itu adalah kalimat saya! Persis sampai titik komanya.
Ketika meluncur dari mulut saya, saya tak begitu memikirkan bagaimana kalimat itu terdengar. Pokoknya saya mau keinginan saya dituruti, bagaimana pun caranya. Dan dengan tujuan pendek nan praktis itu, saya tak pernah menyadari kalimat-kalimat tadi sama sekali enggak enak didengar. Yang pertama menyakitkan, yang kedua mengancam, yang terakhir manipulatif.
Si sulung jelas tidak salah. Dia hanya mencontoh saya. Dan mungkin ia berpikir kalau ibu boleh mengatakannya, mengapa aku tidak? Anak adalah cermin orang tuanya. Kids see, kids do. Apa yang dilihat (dan didengar) anak itulah yang akan ia dilakukan. Percuma menyuruh anak bersabar kalau kita berseru, “Tunggu! Ngerti tunggu enggak?” dengan nada tak sabar. Percuma bilang ‘jangan suka main ancam’ bila kita demen menggunakan strategi ini demi mendapatkan apa yang kita mau.
Sering saya membaca artikel tentang lansia-lansia yang terlantar, dikasari anak cucu, atau tinggal di panti jompo bertahun-tahun tanpa pernah dijenguk anaknya. Di lain kesempatan saya pernah menyaksikan seorang ibu meninggal dan anaknya yang tinggal di luar kota bahkan tidak pulang untuk mengantar ibunya untuk terakhir kali.
Cerita-cerita itu seringkali dikomentari semacam ini, “Fixed, anak durhaka.” Atau “Dasar anak tidak tahu membalas budi,” dan semacamnya.
Ibu saya sudah meninggal dan seringkali saya rindu padanya. Saat beliau masih hidup dan saya kerja jauh dari rumah, saya selalu tak sabar pulang kampung dan bertemu dengannya. Jadi saya bingung, kenapa orang-orang ini tidak merindukan orang tuanya? Atau setidaknya menginginkan terong balado bikinan ibunya? Yas, kadang hal-hal kecillah yang membuat saya kangen; sambal terasi bikinan ibu, pijatan lembut ayah, dan cerita-cerita remeh mereka.
“Anakku nakal sekali,” keluh seorang ibu, “dia males banget dan suka teriak-teriak kalau marah.” Kadang butuh analisis panjang untuk mengetahui alasan di balik perilaku seorang anak, namun kadang kita bisa melihatnya dengan mudah. “Lah, gimana anaknya enggak suka teriak-teriak, orang tuanya juga demen teriak-teriak, kok.”
Gobind Vashdev –motivator dan aktivis sosial—pernah berkata dalam salah satu seminarnya, “Parenting itu mudah. Asal orang tuanya beres, anaknya pasti beres.”
Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa anak seorang dokter cenderung menjadi dokter, anak seorang penyanyi, kok, luwes banget jadi penyanyi? Bisa jadi itu genetis, namun bisa juga ‘alah bisa karena biasa’. Sepanjang pengamatan saya, orang tua yang baik akan menumbuhkan anak-anak yang baik. Orang tua yang bahagia cenderung memiliki anak-anak yang berbahagia.
“Tapi anak harus berbakti pada orang tua. Agama mengajarkan demikian.”
Ajaran agama juga mengajarkan agar orang tua menyayangi anak-anak dan memperlakukan mereka dengan baik. Rasa hormat tidak tumbuh serta merta. Naif sekali menuntut rasa hormat hanya karena status sebagai ‘orang tua’.
“Anak-anak harus membalas budi, orang tua sudah capek-capek melahirkan, menyusui, hingga menyekolahkan mereka!”
Well, orang tualah yang menginginkan anak, sudah sewajarnya orang tua menanggung kewajiban yang menyertainya.
Memang ada ‘kasus-kasus aneh’ di mana anak tumbuh menjadi orang dewasa ‘yang menyulitkan’ meski sudah dididik dengan baik. Tetapi, saya memilih percaya pada pepatah lama, siapa menanam akan mengetam. Kalau kita terbiasa bicara dengan lemah lembut pada anak. Mereka akan bicara lemah lembut pula pada kita, Lagipula bicara lemah lembut selalu lebih menyenangkan dibanding marah-marah, bukan? Tidak selalu lebih mudah, tetapi selalu lebih menentramkan.
Sulung saya sudah menyodorkan cermin. Kini saatnya untuk berbenah menjadi orang tua yang lebih baik. “Yuk, kita bereskan mainannya bersama-sama. Lihat, lego dimasukkan ke kotak yang ini, bola dimasukkan ke kotak yang itu. Sepulang berenang, kita bisa bermain lagi.”
Niken Terate
Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.