Baru baru ini kita mendengar salah satu seleb muda kita yang berbakat, Tasya Kamila, menjadi perbincangan publik lantaran menikah dan mengandung setelah menyelesaikan studi masternya di Amerika. Tasya dengan lugas memutuskan untuk fokus pada kehamilan dan mengurus anak sementara waktu.
Kabar ini menjadi heboh di berita online dan sosial media. Banyak netizen berargumen bahwa “sayang ilmunya” atau “sekolah tinggi-tinggi kok, toh akhirnya jadi ibu rumah tangga”, bahkan bertanya “kontribusinya terhadap negara apa?”
Menurut saya Ini sudah kategori mom shaming!
Saya percaya bahwa menempuh pendidikan dan menjadi ibu tak perlu diperdebatkan. Keduanya punya komponen hak dan kewajiban, dan setiap wanita berhak punya pilihan. Saya baru saja menyelesaikan disertasi S3 dari salah satu universitas di Belanda.
Saat ini saya memutuskan untuk mengurus anak di rumah sambil mencari tahu apa yang ingin saya lakukan selanjutnya. Berkaca pada pengalaman pribadi, saya paham keputusan yang diambil Tasya dan ibu-ibu lainnya yang mengalami hal serupa.
Menempuh pendidikan buat saya tidak melulu soal mendapat pekerjaan yang bergaji besar dan jabatan tinggi. Pendidikan adalah proses yang sakral untuk saya. Selama 25 tahun menempuh pendidikan formal tanpa henti hingga tingkat doktoral, arti pendidikan bagi saya saat ini merupakan sebuah eksplorasi penemuan jati diri akan pelepas dahaga saya terhadap ilmu pengetahuan. Ini adalah bunga yang tumbuh dari keingintahuan yang besar sedari saya kecil. Ini mungkin juga ruang melarikan diri saya dari kegagapan sosial yang saya alami dalam bergaul
Jangan tanyakan soal kontribusi untuk negara. Kontribusi sifatnya non-tunggal, bisa majemuk, lumer, dan bentuknya mengikuti wadahnya. Bagaimana caranya, untuk siapa, kapan, dan apa hasil dari kontribusi kita tidak bisa dibanding-bandingkan.
Jangan juga tanyakan soal euforia “lulusan luar negeri vs lulusan dalam negeri” yang menurut saya berlogika aneh. Selain perbandingan kualitas melalui sistem university ranking, keduanya tidak 100% valid untuk diadu. Bukan berarti lulusan luar negeri selalu memiliki kualitas yang lebih baik dibanding dalam negeri. Argumen ini usang. Semua kembali kepada supply dan demand untuk berkontribusi di pasar tenaga kerja. Banyak kok lulusan luar negeri yang akhirnya tidak dapat kerja, dan lagi-lagi, pendidikan itu life-long process lho! tidak hanya teknis tapi juga non-teknis seperti Emotional Quotient (EQ) atau kecerdasan emosi, Spiritual Quotient (SQ) atau kecerdasan spiritual, kepemimpinan, dan problem solving atau kemampuan menyelesaikan masalah.
Mengurus anak dan keluarga adalah kontribusi paling natural bagi saya. Ilmu yang saya dapatkan saya gunakan sebagai bekal mendidik dan membesarkan anak-anak yang ingin tahu, calon-calon pemimpin bangsa berakhlak mulia dan pengusung perdamaian dunia kelak.
Banyak kok ibu-ibu yang sedang menempuh S3 atau sudah lulus yang saat ini berusaha keras juggling mengurus rumah tangga sambil freelancing, ikut organisasi, dan kerja sukarela di berbagai bidang untuk kemajuan Indonesia.
So guys, be smart in debating this issue. Kita tak pernah tahu seberapa besar kontribusi yang orang lain sudah lakukan di balik yang kasat mata. Fokuslah pada pengembangan terbaik untuk dirimu, keluarga dan anak-anakmu dan hal yang kamu butuhkan untuk mewujudkannya. Dengan begitu kontribusi ilmumu ke negara dan dunia akan mengalir deras dan alami dibanding proses yang dipaksa karena ingin terlihat benar di mata orang.
Dari ibu beranak satu yang sudah merasa berkontribusi,
Annisa Triyanti
Peneliti, akademisi, dan full time mom. Namun di sela-sela waktunya, sering menjadi penulis artikel lepas dan telah menerbitkan beberapa artikel dan buku ilmiah dan non-ilmiah.