Miranti memimpikan pernikahan ala Instagram. Mengapa tidak? Bukankah itu momen sekali seumur hidup. Tapi Rendy tunangannya menentang gerbang Wisteria dan cupcake imut. Alasannya: mahal! Aduh, kenapa sifat pelit dan egoisnya baru ketahuan saat mereka hampir menikah?
Vera dan Zaza, sahabat Miranti, punya pendapat berbeda. Vera si selebgram bilang bila laki-laki memang mencintai pasangannya, ia akan mengerti dan bertoleransi. Sementara Zaza, si psikolog/bunda milenial idola mengatakan itu semua hanya garnish tak penting yang tidak seharusnya mengacaukan hubungan.
Di tengah kegalauan dalam menyiapkan pernikahannya, Miranti sama sekali tak menduga Vera dan Zaza yang tampaknya menjalani hidup sempurna ternyata memiliki masalah yang lebih pelik darinya. Lebih pelik dari sepatu dan gaun pengantin.
Episode 1
1
“LIMA BELAS juta? Hanya untuk besi melengkung kayak gitu?”
“Melengkung dan dihiasi wisteria gantung. Kita bisa lho memilih warnanya agar sesuai dengan tema keseluruhan. Bagaimana dengan putih dan hijau, sangat mmmm… Bella Swan, kan?” Wisteria sedang hits banget dan harganya memang agak lumayan.
“Tidak.”
“Tamu-tamu bisa berfoto di situ.”
“Kita bisa beli flat TV yang lebih besar dengan uang segitu, Mir.”
Yah, tentu saja, kami bisa beli spring bed atau membayar uang muka sewa apartemen. Tetapi kenangan memang tak bernilai, bukan? Dan plis, siapa yang butuh flat TV menutup tembok bila handphone saja sudah bisa buat nonton drakor?
“Sudahlah, terserah kamu, mau pesan chalk art di papan tulis atau sangkar burung, tetapi aku nggak bakal membayar lima belas juta untuk besi melengkung.”
“Itu bukan besi melengkung, tetapi kanopi romantis dengan wisteria putih dan sulur-sulur hijau…”
“Terserah,” Rendy menyentak. “Aku capek. Jangan ganggu aku dengan urusan remeh temeh kayak gini, Mir. Aku sudah menyerahkan semua urusan padamu.”
Miranti terdiam. Shocked. Rendy selalu bilang begitu menyangkut urusan pernikahan mereka.
“Terserah kamu/ Aku nggak sempat ngurusin/ Aku nggak punya ide/ Aku senang sekali kalau kamu yang urus semua/ Nanti aku tinggal bayar, oke?”
Tetapi selalu begini juga kejadiannya.
“Cupcake? Siapa yang mau makan cupcake dalam resepsi?”
Lah, siapa pun tahu cupcake hanya untuk dilihat dan difoto, bukan untuk dimakan!
“Lo nyewa fotografer terpisah? Buat apa pesan paket kalau masih harus nyewa fotografer sendiri?”
Ya ampun. Mana mungkin aku menerima begitu saja fotografer yang disodorkan WO? Yang namanya tak dikenal? Bisa saja dia mahasiswa fotografi yang sedang magang! Pernikahan adalah momen sekali seumur hidup. Tier cake boleh saja palsu, cincin boleh saja tak bermerk, tetapi foto harus bagus dan saat dipasang di Instragram harus membuat orang berdecak.
“Wedding band? Kan lebih seru turntable.”
Astaga, DJ tentu lebih mahal. Lagipula para eyang bakal semaput kalau mendengar musik jedak-jeduk.
“It’s oke lah, kan aku yang bayar.”
Mira ingin mengingatkan bahwa ia juga membayar. Tetapi ia sudah mengatakannya berkali-kali, jadi mestinya Rendy ingat. Mereka sudah sepakat untuk membiayai perkawinan ini berdua.
Kepala Mira terasa sakit lagi. Sudah tiga bulan ini - sejak Rendy secara sah meminangnya - sakit kepala sering menyerangnya. Persiapan pernikahan - tepatnya pesta pernikahan - ternyata menjadi batu sandungan. Batu itu menguji ketahanan hubungan mereka yang sudah berjalan tiga tahun.
Seperti malam ini. Rendy menjemput Mira selepas kerja lalu makan malam di foodcourt Gran Indonesia. Di dalam mobil menuju ke rumah, mereka bertengkar (lagi) mengenai pesta pernikahan (lagi). Kali ini mengenai tamu undangan. Dan apakah sebaiknya mereka mengadakan pesta khusus buat teman-teman mereka.
Makan malam mereka jadi canggung dan menjengkelkan.
Endingnya sama. Mira ngambek dan Rendy minta maaf; mengatakan dia hanya capek dan tak sanggup memikirkan hal-hal ‘remeh temeh’. Seperti biasa, Mira menerima permintaan maaf Rendy secara verbal meski mendongkol. Kenapa Rendy selalu capek dan selalu menganggap urusan pernikahan mereka remeh? Mira sadar ia konyol bila berpikir untuk membatalkan pernikahan hanya gara-gara masalah foto pre-wedding, tapi nyatanya ia memang sempat berpikir demikian. Rendy tak menginginkan foto prewedding, sementara bagi Mira itu sama pentingnya dengan foto ijab qobul itu sendiri.
“Yah kalau itu penting banget buat lo, nggak papa juga. Kita bikin foto yang simpel aja di studio. Gue bisa menyewa tuxedo dan lo bisa menyewa gaun. Atau hei, gaun yang lo pakai di cocktail party tempo hari keren juga tuh.”
Apa? Di studio? Menyewa tuxedo? Rendy benar-benar nggak ngerti. Apa kata Vera? Sahabatnya itu sudah membuat daftar untuknya 10 lokasi pre-wed paling hit. Selaligus daftar fotografernya. Masa foto pre-wedding mereka kalah dari foto OTD, outfit of the day-nya Vera?
“Ngapain harus mahal-mahal pre-wed ke Bali? Kayak membuang duit ke laut,” Rendy tertawa.
Astaga, kalau ia bisa mengeluarkan uang sepuluh juta untuk stereo set mobilnya, tentunya nggak masalah untuk mengeluarkan dua puluh juta demi prewed, kan? Mira benar-benar jengkel. Ia baru saja kecewa karena foto-foto acara lamaran mereka tidak begitu istimewa gara-gara Rendy menolak menyewa jasa fotografer dan Mira terpaksa menyuap sepupunya yang reporter tabloid untuk mengambil gambar. Itu pun Mira menekankan bahwa si sepupu harus mengambil gambar sekasual mungkin hingga ia hanya terlihat seperti kerabat yang peduli dan memang punya hobi fotografi. Kalau tidak begitu mungkin foto acara lamaran itu bakal kabur semua.
Diam-diam Mira menyesal mengapa ia tidak bersikeras menyewa fotografer professional? Toh dia yang membayar! Tapi waktu itu ia benar-benar tak mau ambil risiko melukai harga diri Rendy.
Foto-foto lamaran itu memang mendapat banyak likes dan comment, tetapi tidak sespektakuler bayangan Mira. Vera tak mengkritiknya, tetapi memberinya saran agar foto-foto pernikahan Mira ‘tampak lebih Instagrammable’. “Cuma kurang pernak-pernik yang lucu aja, sih, Say. Meja laci antik, hiasan meja, kue cantik, atau lampu gantung lucu.”
Jadilah Mira mendapat ide tentang cupcake itu. Dari Instagram tentu saja. Cupcake dengan buttercream pink berbentuk mawar dengan bendera kecil bertuliskan ‘I do’ itu pasti bakal memesona banyak mata. Kue-kue itu harus ditempatkan khusus di meja dessert dengan dessert-dessert lain yang tak kalah cantik sehingga sayang untuk dimakan. Tetapi gila banget memang, satu piece dessert mungil sama dengan semangkuk bakso.
Mira harus berpikir ekstra keras untuk mengatasinya; mendapatkan cupcake tanpa bangkrut. Zaskia, sahabat Mira selain Vera, justru punya pendapat lain dari Vera, “Dekorasi kecil-kecil kayak gitu nggak penting, Mir. Yah, orang memperhatikan, tapi hanya sekilas, dan mereka akan lupa. Tidak ada pun, tak ada yang kehilangan. Fokus saja sama dekorasi besar. Dan ugh… sebenarnya resepsi nggak harus mewah, kan? Karena yang penting justru hidup kalian setelah pesta usai.”
Haha! Lucu sekali ketika itu terlontar dari Zaza karena pesta pernikahannya sendiri membuat macet jalanan depan JCC. Pejabat sekelas menteri datang. Makanan berlimpah ruang. Ruang resepsi disulap memjadi ‘kampung’ dengan pohon bambu dan pohon pisang betulan. Ada air gemericik di gentong bersusun. Setiap tamu mendapatkan sabun dan parfum yang dikemas mewah. Dan dia bisa-bisa mengatakan resepsi tak perlu mewah? Mereka melakukan pemotretan post-wed di Dubai.
Yah, Faisal suami Zaza berasal dari keluarga ‘uang lama’. Mira sadar untuk tidak menjadikannya ukuran. Tetapi prewed di Bali dan dua tiga lusin cupcake mestinya tidak terlalu berlebihan, kan? Dapat dikatakan itu standar yang biasa-biasa saja.
|BERSAMBUNG