If you have never been hated by your child, you have never been a parent.
Bette Davis

Lain Rumah Tangga, Lain Pula Rahasia Dapurnya

author
Ken Terate
Sabtu, 2 Februari 2019 | 20:00 WIB
SHUTTERSTOCK |

Beberapa saat lalu asisten rumah tangga  kami –yang kami panggil budhe-- cuti lumayan lama karena suaminya sakit. Jumpalitanlah saya dibuatnya. Segera saya mengambil komando penuh, menjadi manajer tanpa asisten.

Saya mendelegasikan urusan baju kotor ke laundry. Urusan bersih-bersih saya kerjakan bareng bersama suami sesempatnya. Nah, urusan masaklah yang paling bikin pusing. Tak mungkin kami jajan tiga kali sehari. Selain boros, makanan yang dibeli tidak selalu pas dengan selera dan kebutuhan.

Ayah saya yang sudah lansia tidak boleh makan terlalu manis dan terlalu asin. Kecut dan pedas juga tak boleh. Anak-anak tak doyan masakan bersantan. Saya dan suami? Kalau enggak pedas, rasanya kayak enggak makan.

Jadilah saya berakrobat di dapur, meski yah, akhirnya  masakan saya tak pernah jauh-jauh dari sop dan tumis. Cara masaknya sama, hanya isinya saja yang berbeda. Hari Senin sop kentang, Selasa sop bayam, Rabu sop jagung. Kamis tumis sawi, Jumat tumis labu siam, Sabtu tumis kangkung. Meski judulnya beda, plotnya sama. Selera saya dan suami untuk sesaat dikesampingkan.

Baca juga:  6 Buah Dan Sayuran Yang Bikin Awet Muda

Yang membuat heran, meski saya sudah berusaha masak seminimalis mungkin, tetap saja bak cuci piring penuh dengan segala macam piring kotor, gelas, panci, dan teman-temannya. Mencuci piring terasa lebih lama dibanding memasak karena enggak habis-habis. Piring belum lagi kering di rak, anak-anak sudah ambil piring lagi buat makan entah buah, entah snack, atau mengulang makan besar.

“Kamu harus belajar masak secara efisien,” komentar seorang teman waktu mendengar cerita saya.

“Haha, kakakmu juga gitu. Kalau masak semua perabot kotor semua.” Itu kata kakak ipar saya dan  membuat saya berpikir mungkin ini semacam penyakit keturunan. 

Teman saya yang lain memaparkan tips masak berbagai macam menu hanya dengan satu panci.

Saya bukannya tak menyadari ketidakefisienan saya di dapur. Beberapa waktu lalu saya ikut pelatihan manajemen dapur dan dibuat ternganga dengan berbagai macam cara menghemat waktu.

Membuat tiga macam bumbu dasar siap pakai (bumbu putih, bumbu kuning, bumbu merah) tentu menjadi hal  wajib. Yang lain: beli rempah dalam jumlah banyak lalu dioven agar tahan lama. Kemiri misalnya, bisa dioven tiga jam dan tinggal diparut dengan parutan keju ketika mau dipakai. Si pelatih mengatakan ‘mengoven tiga jam’ dengan nada ringan. Selama dipanggang di atas api kecil kan bisa ditinggal ngerjain kerjaan lain, katanya. Tips lain? Membuat cemilan beku dan menjadwal belanja.

Baca juga: 4 Tips Jika Ingin Menggunakan Rak Terbuka di Dapur

Sebenarnya beberapa tips itu sudah pernah saya coba. Menyusun menu? Sudah. Mencoba belanja seminggu sekali? Sudah. Bikin bumbu dasar? Sudah. Lalu mengapa tiap kali kegiatan masak saya berakhir dengan dapur dramatis?

Pertama ternyata saya tipe spontan. Susunan menu mendadak jadi kenangan buram saat sampai di pasar. Daftar saya bilang saya harus masak balado terung hari ini, tapi di pasar saya melihat kecipir segar yang tidak selalu ada sepanjang tahun. Jadilah saya banting setir masak kecipir. Mumpung ada.

Lain kali, ketika sudah menetapkan tumis kacang panjang sebagai menu makan malam, tiba-tiba saya lebih tertarik dengan mi Jawa rebus yang segar dan hangat. Saat saya sudah bertekad masak rada rumit (gado-gado bagi saya sudah rumit), klien menelepon dan memberi kerjaan mendadak dengan nominal besar. Sudah deh, lupakan masak. Mari kita order gado-gado pada ahlinya: Go-Food.

Namun, saya sadari saya tak perlu banyak berkilah karena alasan sebenarnya adalah: the method simply doesn’t work for me! Bukan begitu cara saya dibesarkan. Kami selalu tinggal di dekat pasar dengan sayuran segar yang mudah diperoleh tiap hari. Konyol sekali memasak buncis berusia seminggu bila kami bisa makan buncis yang dipetik kemarin sore. Seringkali dengan belanja banyak sekaligus saya malah membuang-buang bahan makanan.

Dan yang jelas, tidak ada satu cara yang bisa bekerja untuk semua. Yang lebih happy dan tertolong dengan menyetok bumbu silakan. Yang merasa lebih ringan dan bahagia dengan Go-Food juga oke saja. Bagaimana dengan saya? All I need is a budhe. That’s all.

 

Niken Terate

kenterate@gmail.com

Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.

 

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi