Episode 2
“SERIUS? Untung kelainan Rendy ketahuan sebelum kalian resmi menikah!” Vera berseru. Perempuan itu baru saja selesai berenang di Santika tempat mereka bertiga nongkrong untuk brunch pada Sabtu pagi. Rambut Vera masih basah, tetapi ia tetap kelihatan luar bisa. Wajah Vera selalu sama kinclongnya dengan foto-foto IG-nya, batin Mira.
Jepret! Jepret! Jepret. Vera selfie beberapa kali, dengan berbagai posisi. “Jangan lupa maksimalkan opsi beuatification dan pilih filter yang paling cucok.” Vera memoncongkan bibir, menampilkan duck face. “Perfect.”
“Lo cantik tanpa filter apapun, Ver,” kata Mira. “Lo itu tetap cantik meski barusan bangun tidur, belum cuci muka, dan pakai piyama kusem.”
Bagaimana hidup bisa setidakadil ini? Pikir Mira. Ada orang-orang yang cantik bahkan tanpa berusaha, sementara dia? Belum sampai sejam ia mengaplikasikan make-up, kini tampangnya sudah lusuh dan rambutnya berlari ke segala arah.
“Kalau begitu lo bisa mengambil keputusan segera, Mir,” kata Vera lagi. Kali ini ia memotret salad dan jus di meja.
“Keputusan apa?” tanya Zaskia sambil merapikan ujung-ujung hijabnya.
Zaza mungkin tak secantik Vera, tetapi alam juga bermurah hati padanya, dengan kulit terang, mata besar yang bersinar lembut, dan… kucuran baju-baju mahal.
“Membatalkan pernikahan, lah.” Vera berkata ringan. Bahkan tanpa mendongak dari hapenya.
“Astaghfirullah, Ver. Masak hanya gara-gara masalah begitu pernikahan harus dibatalkan?” Zaza berseru tak percaya. “Ini pertunangan, lho, bukan sekadar janji makan siang.”
“Hm, memang kelihatan sepele, tetapi dari masalah intinya bukan itu, tetapi sifat asli Rendy terungkap; pelit. Kebayang enggak sih bakal kayak apa hidup lo bila seumur-umur terikat pada cowok pelit? Lo bakal sengsara dunia akhirat!”
“Tapi selama ini Rendy enggak pelit, kan?” Zaza bertanya hati-hati pada Mira.
Mira menggeleng, “Enggak. Dia sering kok bayarin kalau kami makan. Hadiah-hadiahnya buat ultah dan anniversary… elo berdua tahu sendiri. Memang bukan Hermes sih, tapi pasti enggak pernah kurang dari sejuta.”
“Yah, harga segitu wajar lah,” cetus Vera sambil mengetik caption untuk foto salad yang akan ia unggah di IG. Berapa ribu likes yang bakal kudapat untuk salad ini? Vera punya follower mendekati setengah juta di akun IG-nya ‘Veraism’ yang menyajikan fashion, makanan, pesta, dan traveling.
“Apakah Rendy baru kelihatan ‘sayang pada uang’ akhir-akhir ini?” tanya Zaza lagi.
“Hah, lo bener-bener psikolog yang baik, deh. Lo mau menganalisis kepribadian Rendy pakai teori apa, nih?” Vera berkelakar.
Di antara mereka, hanya Zaza yang dianggap menempuh ‘jalan yang benar’. Ia berpraktik sebagai psikolog, dosen, dan peneliti, seperti seharusnya lulusan fakultas psikologi teladan. Setidaknya sebelum menikah. Setelah menikah, ia dengan gagah berani mengatakan melepas semua dunianya dan bakal mengabdikan diri sebagai istri dan ibu yang baik.
Vera dan Mira sampai ternganga tak percaya. Tetapi Zaza meyakinkan mereka. Ia bahkan mengundurkan diri dari beasiswa yang didapatnya dari salah satu perguruan tinggi di Amerika. Edan, Vera mengomelinya waktu itu, tapi Zaza dengan mantap mengatakan ia sudah memutuskan untuk menjadi madrasah utama bagi anak-anaknya yang akan lahir kelak.
Kini Zaza punya dua anak dan di antara waktunya yang sempit, ia berusaha mencuri-curi waktu untuk menulis artikel dan buku psikologi populer tentang keluarga dan parenting serta mengisi seminar kecil kadang-kadang, sementara Miranti kesasar sebagai auditor bank dan Vera bahkan kesasar lebih jauh dengan menjadi ‘influencer dan selebgram’ – itulah yang tertulis dalam kartu namanya. Beberapa kali Vera mendumel mengapa profesinya tidak match dengan satu pun pilihan pekerjaan di kolom blangko KTP.
Miranti mengangguk tak yakin. Ia harus mengakui Rendy memang terlihat pelit dan egois setelah mereka bertunangan. Mira terpaksa menambahkan ‘egois’ karena dia sama sekali tak pelit pada dirinya sendiri, teman-temannya, atau keluarganya, tetapi perhitungan banget bila menyangkut tunangannya dan rencana pernikahannya.
“Mir,” Zaza meraih tangan sahabatnya, “Persiapan pernikahan emang berat dan bikin banyak pasangan jadi bertengkar. Wajar lah. Kan banyak yang dipikirin. Panik dan stres itu biasa. Tapi semua akan berlalu. Rileks sajalah. Soal karangan bunga, menu katering, sepatu… well, kamu akan menyadari semua itu cuma hhh… garnis, kayak itu.” Zaza menunjuk potongan nanas dan stroberi yang menancap di bibir gelas. “Enggak penting. Yang penting adalah hubungan kalian. Kulihat Rendy baik. Kalian sangat solid.”
“Penting lagi,” Vera menyambar. “Maksud gue, itu peristiwa sekali seumur hidup. Nyesel banget sih kalau enggak memorable? Dan hei, kalau dia sayang elo, pasti dong, dia ngerti. Masa bisa mau DJ tapi wedding car seadanya? Wedding car itu kayak kereta kencana lagi! Ish, pas kencan aja royal, tetapi giliran mau nikah perhitungannya kebangetan. Pasti karena dia merasa udah memiliki elo, Mir. Jadi deh, dia enggak perlu bermanis-manis lagi. Toh elo pasti jadi istrinya.” Vera sambil menaikkan kacamata hitamnya. “Yuk, foto dulu mumpung masih seger.”
Otomatis kami merapat dan tersenyum, “Cheers”. Dua detik kemudian foto kami yang tampak bahagia, di restoran hotel berbintang, dan makan makanan sehat bakal beredar di dunia luas. Pasti tak ada yang menyangka bahwa kami mengobrolkan topik yang membuatku depresi, batin Mira. Ulu hatinya terasa terhantam. Mungkin sebaiknya ia bersikap lebih tegas pada Rendy. Tetapi bagaimana bila Rendy sewot dan pernikahan ini malah batal sama sekali? Bagaimana kalau Rendy menganggapnya mata duitan?
Mungkin ia harus mengambil langkah drastis, mencari pinjaman, untuk membiayai pernikahan ini. Diam-diam Mira berdebar. Ia belum pernah mengambil kredit. Utang terbesarnya hanya utang di arisan kantor – yang biasanya tidak dianggap utang. Tetapi ia harus melakukannya untuk menyelamatkan rencana pernikahan ini. Menyelamatkan hubungannya dengan Rendy, laki-laki yang paling berarti dalam hidupnya saat ini.
***
Vera memasuki apartemennya dengan keletihan luar biasa. Berenang di hotel (yah, sebenarnya berpose di kolam renang), brunch dengan kedua sahabatnya, lalu belanja di mal, menghadiri launching pelembab ‘yang membuat 30 tahunmu menjadi remaja kembali’, lalu clubbing sampai jam 1 malam benar-benar menguras energi. Semua kegiatannya sudah ia upload dengan selektif dan hati-hati. Ia ingin postingannya meriah tetapi privacynya tetap terjaga. Posting real time real place kini ia hindari kecuali di saat-saat tertentu, itu pun ia hindari untuk menyebutkan tempatnya.
Hari ini traffic di IG-nya mengecewakan. Hanya melaju dengan cepat di sore hari – biasanya memang begitu, tetapi tidak secepat biasanya. Ia juga kesal karena foto-fotonya di pub mendapat likes seuprit (cuma 200 bayangkan, kayak dia anak ingusan IG saja!). Yah, tunggu saja sampai ia sempat mengedit video dan memasangnya di Youtube. Ugh, dia benar-benar harus mencari editor video baru karena yang biasa ia hire ribut banget nagih bayarannya. Ya ampun, baru juga lima video yang belum terbayar udah sewot kayak kehilangan saham. Yah, buruk-buruknya ia terpaksa mengedit sendiri.
Di keremangan cahaya apartemen, Vera melihat tumpukan amplop di meja kopinya. Selintas ia melihat logo-logo bank di sampulnya. Ia raup semuanya dan langsung ia surukkan ke bak sampah. Tak terlihat, maka tak ada. Yang penting masih ada salah satu kartu kreditnya yang masih laku.
Ia tak tercaya salah satu kartu kreditnya tak tertolak saat ia belanja di mal tadi. Walhasil, selembar jaket dan tas tangan Zara yang sedang diskon berhasil ia kantongi. Fotonya menenteng tas belanja Zara menuai banyak likes. Jaket dan tas tangan itu bisa digunakan untuk foto OOTD besok. Tapi sebelumnya ia harus membuat foto unboxing dulu. Setelah itu, tas belanjanya harus ia simpan baik-baik. Lumayan buat berpose lain waktu.
Vera mengecek IG sekali lagi meski kelopak matanya sudah terasa sangat berat. Kepalanya berputar dan perutnya bergolak gara-gara beberapa gelas margarita yang ia tenggak tadi. Ugh, sejak kapan ia tepar gara-gara minuman? Rasanya dulu tak pernah. Apa umur tiga puluh memang melakukan hal-hal yang mengerikan terhadap pertahanan tubuhmu?
Tapi margarita itu tampak cantik banget di foto. Walau sialnya, foto yang diambil dengan susah payah itu hanya mendapat seratus sekian likes. Vera sampai mendamprat dua orang gara-gara itu. Pertama temannya yang terlalu mabuk hingga tak bisa memegang handphone dengan benar dan kedua bartender yang menolak memotretnya dengan alasan dia sedang sibuk. Vera lalu mengancam memanggil manager hingga si bartender menyerah dan dan akhirnya mau memotret saja. Tetapi ya cuma begini jadinya, sama sekali enggak impresif, pikir Vera kesal.
Ada beberapa pesan WA dan DM dari orang-orang yang tak mau ia kenal lagi. Ia hapus tanpa ia baca. Sekali lagi, tak terlihat maka tak ada.
Vera merayap menggapai bantal. High heelsnya ia cungkil dengan salah satu kaki dan jatuh ke samping dipan dengan suara buk lembut di atas karpet bulu tebal. Aku harus segera mengganti karpet itu, batin Vera mengembara, warna fuschia sudah tidak ngetren lagi. Lagipula karpet itu sudah terlalu sering muncul di IG-nya. Apakah ia masih bisa berharap dari kartu kreditnya? Kalau tidak, terpaksa ia main photoshop, meski sebenarnya ia enggak suka. Lebih ribet. Dan hey, kegiatan belanja selalu menarik dibuat vlog, kan? Dia memang bisa pura-pura belanja, tetapi tak bisa pura-pura mengangkut karpet itu ke apartemen.
Suara bel pintu terus menerus membuat Vera terbangun. Apakah benar itu bel pintunya? Kepalanya berputar dan membuat telinganya berdenging. Oh, suara itu tak mau berhenti. Siapa orang gila yang memencet bel pintu di malam buta seperti ini? Tunggu, apakah ini sudah pagi? Tak mungkin ia baru tidur sekitar lima menit.
Sialan. Bel pintu itu tak mau berhenti. Itu pasti petugas laundry tolol yang tak mengerti-mengerti juga meski Vera sudah memberinya instruksi; laundry akan diambil, tak perlu diantar! Yah, kadang ia lupa sih, sampai dua bulan malah, tetapi…. ya terserah kan, itu, kan, bajunya sendiri.
Susah payah Vera membuka mata. Sontak matanya silau diserang sinar matahari berlimpah. Oh, petugas cleaning service pasti lupa menutup korden. Sialan. Sialan. Mengapa orang-orang itu bisa sedemikian tidak kompeten bahkan untuk hal-hal kecil? Ia harus komplen nanti.
|BERSAMBUNG