EPISODE 3
JAM sepuluh! Vera kaget saat melihat jam kayu Seikonya. Jadi ini tidak pagi-pagi amat. Hari apa ini? Ting tong. Ting tong. Bel pintu sialan itu masih berbunyi. Makin lama makin cepat. Apakah aku punya janji hari ini? Kayaknya ada, tapi apa? Apakah aku harus menjalani pemotretan? Kepalanya masih berdentam-dentam dan ia siap melabrak siapa pun yang mainan bel pintu.
Vera mengintip lewat lubang pengintai dan jantungnya berdegup kencang. Itu Cik Lina, pemilik apartemen. Sialan. Cik Lina hanya punya satu alasan untuk datang: menagih uang sewa.
Dok, dok, dok! Kali ini pintunya digedor. Mata Vera kini terbuka lebar. Tak cuma kepalanya yang sakit, perut juga melintir dan keringat dingin bersembulan. Astaga. Astaga. Vera terbiasa melabrak siapa pun yang menghalangi jalannya, terutama orang-orang yang dianggapnya tak penting; bartender, pramugari, pegawai toko dan akhir-akhir ini… teman-teman pelit yang mulai menagih utang-utangnya (ya ampun, uang sejuta dua juta aja diributin!).
“Vera! Bukak! Aku tahu kamu di dalam! Bukak atau gue panggil sekuriti.”
Perut Vera menegang. Dari lubang pengintai Vera hanya melihat Cik Lina seorang, tetapi dari pengalamannya berurusan dengan orang ini, Vera tahu ia selalu membawa pengawal.
“Vera! Bukak! Atau kujebol paksa pintu ini.”
Astaga. Astaga. Vera tak ragu perempuan yang selalu berjambul tinggi dan bermake-up tebal itu bakal melakukannya. Mengapa tidak? Ini apartemennya. Propertinya. Tak masalah baginya untuk merusak properti-nya sendiri, kan?
Dengan gemetar Vera membuka pintu dan perempuan itu mendengus seperti banteng murka lalu menghambur masuk. Hak tingginya menimbulkan suara cetak-cetok yang mengintimidasi.
“Kenapa lo gak balas pesan gue? Nggak punya kuota?”
Perempuan itu setengah mengenyakkan bokongnya di sofa, mengernyit jijik pada handuk basah yang ada di sandarannya. Aduh, kapan ia meletakkan handuk basah di situ? Kenapa cleaner tidak menyingkirkannya?
“Pesan yang mana? Gue nggak pernah baca pesan lo, Cik!” Itu benar. Pesan lo selalu gue hapus duluan.
“Nggak usah pura-pura begok! Sudah tiga bulan lo nunggak. Lo mau ngeles apa lagi, hah? Lagi sepi order? Nggak usah pura-pura deh, bukannya lo tinggal buka paha? Paha selalu laris, gue tahu.”
“Heh, jangan ngomong sembarangan lo? Gue boleh aja melarat, tapi gue punya harga diri!” Jantung Vera teremas karena baru kemarin sore ia berpikir… hanya berpikir untuk menghubungi Alexis… agen model yang juga merangkap sebagai perantara… ah sudahlah.
“Lo nggak melarat. Itu masalahnya. Masak bisa jalan-jalan ke Paris tetapi nggak bisa bayar sewa.”
“Gue dibayarin, kok.” Itu tidak benar, tetapi tentunya Cik Lina tak perlu tahu.
“Nah, siapa pun yang mbayarin kamu ke Paris itu, kan pasti bisa ngebayar sewa apartemenmu.”
“Cik, itu kan klien,” Vera mulai putus asa, “Gue kan ngendorse.” Vera tak berharap Cik Lina mengerti apa itu endorse. Perempuan itu seusia ibunya yang menyangka Twitter itu sejenis dengan blender, toaster, atau hairdryer.
“Ngendorse apa lo? Sampai ke Paris?”
“Ya travel agent-nya dia lah.”
“Hah, lo sangka gue percaya? Ada orang nitip endorse ke elo yang followernya nggak nyampai sejuta?”
Sialan. Sialan. Sialan.
“Lo dibawa kan? Tinggi juga ya level lo.”
“Heh, sekali lagi lo nuduh gue macam-macam, gue bakal, gue bakal…”
“Bakal apa? Cabut dari sini? Itu yang gue arepin. Cepetan. Tapi jangan ngimpi hidup lo bisa tenang kalau lo belum bayar utang. Jangan sampai lo mikir lo bisa kabur dengan mudah.”
Vera gemetar. Ia percaya Cik Lina bisa melakukannya. Perempuan ini tak punya hati kalau sudah menyangkut uang (bukan uang tapi bisnis, katanya. Dan bisnis itu bukan sedekah). Cik Lina punya kaki tangan di mana-mana. Vera tau ia tak bakal lolos. Matanya terasa panas. Jangan menangis. Jangan menangis. Macan ini nggak boleh melihatku lemah. Sebenarnya dia sudah berniat kabur semenjak bulan lalu. Masalahnya ia tak punya tempat buat kabur. Taktiknya sementara ini adalah mengulur waktu.
“Jadi gimana, bayar sekarang? Atau aku bawa perhiasan-perhiasan lo?”
“Jangan! Gue akan bayar, Cik. Janji.”
“Kapan?”
“Mmm….. seminggu lagi. Suwer Cik, besok gue pemotretan, langsung dibayar, cash!”
Wajah Cik Lina yang bertambal sulam dengan plastik tak bergerak. Alis buatannya yang ketinggian membuatnya kelihatan bengis setiap saat.
“Emang bayaran lo sekali pemotretan berapa?”
“Bukan urusan lo Cik. Tapi pokoknya gue akan bayar.”
“Senin malam, jam tujuh. Kalau belum ada uang masuk, lo boleh pilih, gue umpankan lo pada centeng-centeng gue atau gue kosongin seluruh isi apartemen ini sampai ke celana dalam yang ada di lemari lo. Ngerti?”
Vera mengangguk. Apa pun asal ia tak disembelih hidup-hidup saat ini.
“Oh, untuk sementara boleh gue nyicil ini, kan?” Cik Lina menyambar tas Zara yang ada di meja.
Tas dan jaket barunya!
“Jangan CIk. Itu cuma Zara dan itu bukan punya gue!” Vera memekik.
“Memangnya gue nanya ini punya siapa? Zara ya? Anak perempuan gue pasti suka. Terima kasih, Ver.”
Vera menerjang, hendak merampas kembali tas itu. Tapi Cik Lina gesit sekali. Ia menghindar dengan cerdik, bahkan tanpa berkedip dan akibatnya justru Vera yang terempas ke depan. Wajahnya full menghantam lantai. Hangover sialan!
Vera mengompres jidatnya yang benjol dengan es batu. Apakah concealer bisa menutupinya? Ia belum posting apa pun hari ini. Rencananya dia akan pakai jersey, lari di Sudirman (hari ini car free day), dan posting video dan fotonya di IG. Sudah terlambat tentu saja.
Ke mana lagi, ke mana? Vera berpikir sambil melangkah ke luar. Gym akan memberi impresi yang baik. Tetapi kartu keanggotaannya sudah kedaluwarsa dan ia tak sanggup memperpanjangnya. ‘Kerja sama’ yang ia tawarkan dengan si manajer gym ditolak. Dengan sinis cowok atletis tapi kenes itu berkata, “Honey, semua karyawan di sini makan steak dan minum healthy milkshake. Nggak ada yang kenyang dengan mandangin gambar Instagram. Dan pengikut 500 K? Basi, baby, basi. Sorry beib, nggak ada ngegym gratis di sini. Itu semua alat-alat canggih itu, dibayar pakai duit.”
Ugh, bokong aja digedein, tapi otaknya tetap sekecil choco chip, batin Vera gemas. Apa si manajer itu nggak ngerti makna promosi? Dia gratiskan satu orang dan dapat seratus dua ratus orang! Dan orang-orang itu bayar pakai duit semua!
Vera menyeret kakinya ke luar apartemen. Ia berpikir untuk ke Kalibata City, mal terdekat yang bisa ia jangkau dengan jalan kaki. Ia harus memilih antara mengeluarkan uang untuk naik taksi online atau membeli smoothie. Atau ugh, dia tak perlu membeli smoothie. Mungkin ia cukup duduk di salah satu café –di meja orang lain kalau perlu—berfoto sebentar dan mengunggahnya di IG.
Ia tak punya baju yang layak untuk OOTD, tetapi ia bisa meminjam ke salah satu temannya. Dia masih punya shopping bag LV (dia dapat dari salah seorang model yang kebetulan barusan pemotretan di New York) dan tas tangan Balenciaga KW --KW kelas satu, jadi harganya tetap selangit-- .
Mungkin lebih baik ia ke Plaza Indonesia dan berpose dengan shopping bag itu di depan gerai LV? Oh, yas, semua followernya pasti berliur! Tapi mereka pasti akan menuntut dia unboxing. Hm, itu bisa dipikirkan nanti. Atau sudahlah, dia cukup menculik gambar LV dari Pinterest atau apa. Bakal mengerikan kalau ketahuan. Tetapi ia sudah melakukannya dua tiga kali dan tidak pernah ketahuan.
Ia jelas-jelas perlu menaikkan traffic dan jumlah followernya. Brengsek, sekarang jumlah follower setengah juta nggak dianggap. Membeli follower jelas terlalu mahal dan konyol! Seharusnya ia yang menjual follower.
Tanpa sadar Vera tertawa getir mengingat situasi lucunya sendiri. Tragis.
Ia sudah menjadi model sejak kuliah. Seorang teman mengajaknya. Pemotretan kecil-kecilan. Biasanya ia berpose untuk katalog. Booming toko online membuat ia sering dapat job hingga kadang bolos kuliah. Ia mulai main Instagram begitu medsos itu muncul dan merasa lebih cocok dengan itu dibanding FB. Awalnya ia gunakan IG –seperti FB—untuk bersenang-senang dan berjualan kadang-kadang. Namun begitu pengikutnya mencapai dua ribu, mulailah pesanan endorse berdatangan. Kebanyakan baju dan make-up. Kadang-kadang makanan. Ia tidak selalu dibayar dengan uang. Kadang hanya produk gratisan, tetapi apa salahnya? Toh cuma pasang foto.
Kapan ia mulai terobsesi dan menjadikannya sebagai karier? Vera tak begitu ingat. Mungkinlah setelah ia dipecat dari kantor LSM tempatnya bekerja? Ia dikatakan sering terlambat, tidak kompeten, kebanyakan gaya, dan kebanyakan main medsos oleh bosnya. Hanya pernyataan pertama yang benar dan sebenarnya nggak sering-sering amat, tetapi hallooow, ini zaman milenial, masak kinerja diukur dari ketepatan waktu mencet mesin finger print dibanding achievement?
Jadi ya sudah, ia memutuskan untuk fokus pada modeling dan karier influencer-nya. Sebagian karena ia tak tahan bekerja di kantor. Sebagian karena tak ada perusahaan yang mau menerimanya (itu agak aneh, menurutnya manusia cantik semacam dia seharusnya diterima kerja di mana saja).
Follower IGnya melesat dengan cepat karena ia selalu menampilkan OOTD unik, jajanan menarik, dan tips make-up yang mudah diikuti. Ia belajar mengedit dan dalam waktu cepat, ia sudah mahir mengedit foto dan video dengan aplikasi sederhana. Ia membuat akun di Youtube dan rajin membuat vlog. Ia memeras otak untuk menampilkan konten-konten unik yang kira-kira disukai nitizen, tetapi jatuhnya tidak jauh dari make-up, shopping, dan fashion. Video-videonya tak selalu mendapat likes sebanyak harapannya, tetapi setelah sekian bulan ia akhirnya menerima uang juga dari Youtube.
Begitu followernya tembus sepuluh ribu endorse-endorse bertarif sejuta dua juta mulai mampir padanya; lipstick, baju, restoran. Kebanyakan dari teman dan kenalan. Ada juga dari orang asing sama sekali. Sejenak ia menikmati kehidupannya. Karier modeling yang bagus. Penghasilan dari medsos yang lumayan. Dan barang-barang gratis. Traveling gratis. Menginap di hotel gratis. Semuanya hanya dengan mengunggah foto dan caption singkat. Video butuh kerja keras lebih, tetapi layak dijalani. Lalu booommm. Bom jatuh mendadak dan ia kehilangan ingatan kapan utang kartu kreditnya mulai mencekik.
Apa yang salah? Vera merasa ia tak melakukan kesalahan apa pun. Ya, ia merogoh kocek untuk barang-barang branded. Tetapi itu ia butuhkan untuk menampilkan foto menakjubkan. Ia harus nongkrong di tempat mewah –meski hanya memesan lime soda--, tetapi citra itu penting.
Jadi yang salah mestinya pasti model-model SMA yang sembarangan pasang tarif murah –kadang hanya seharga satu scoop es krim-- dan merebut pasarnya. Atau gara-gara selebgram yang hobi menebar sensasi macam Awkarin? Atau apa? Atau gara-gara anak-anak ABG kencentilan yang membuat vlog-vlog nggak penting (macam nge-date dengan uang 20.000), tetapi entah gimana dapat jutaan view.
“Usia lo, Nek, usia,” kata Fajri salah satu make-up artist yang sering menangani Vera waktu pemotretan. “Usia lo tuh udah tergolong bau tanah di dunia modeling.”
“Gue baru 28 kali!” Vera menyentak.
“Bukan 18, kan?”
“Kelly Tandiono udah 30 tahun lebih dan masih laku.”
“Elo bukan Kelly.”
Kadang usia bisa sangat kejam, simpul Vera.
Sambil menyeruput smoothie –yang sudah diposting tentu saja—benak Vera berputar keras. Ke mana ia harus mencari uang? Ia mengingat nama orang-orang yang dikenalnya satu per satu. Ia telaah dengan hati-hati. Siapa yang kira-kira berduit dan mudah mengeluarkannya? Siapa yang tak akan berkoar-koar dan main ancam? Vera selalu berhati-hati menyangkut urusan ini. Sekali ia salah memilih orang, kariernya bisa tamat. Tetapi ia tak bisa terlalu berhati-hati kini. Ia butuh uang cepat. Sangat cepat.
Mira dan Zaskia. Ia tak pernah berpikir akan minta tolong pada mereka. Tidak. Persahabatannya dengan Mira dan Zaza terlalu berharga untuk dinodai dengan utang tiga atau empat juta. Tidak. Tetapi yah, mengapa tidak? Ia tahu Mira dan Zaza pasti mengerti. Mereka berdua percaya padanya. Mereka juga tidak akan mempermasalahkan uang segitu dan pasti tidak akan berkoar-koar di medsos. Dan mengapa mesti berkoar-koar di medsos? Ia akan membayarnya dengan segera.
Mira banyak duit. Dia auditor bank. Tunangannya eksekutif di perusahaan aplikasi dagang online yang termasuk unicorn. Yah, dia butuh uang untuk pernikahannya dan dia sendiri bilang ia sedang berusaha mencairkan pinjaman (haha, tentunya bukan masalah baginya yang memang bekerja di bank). Tetapi meminjami empat atau lima juta buat temannya pasti perkara kecil.
Zaza juga banyak duit. Suaminya berasal dari keluarga ‘old money’. Sekarang Faisal, suami Zaza, mengelola salah satu menara di bilangan Kuningan. Dia memang ‘baru’ berpangkat manajer saat ini, tetapi hanya perkara waktu gedung itu bakal jatuh ke tangannya sebagai salah satu cucu pemilik sah. Pastinya sepuluh dua puluh juta tidak begitu berat untuknya.
Yang jelas uang segitu tidak akan melunturkan persahabatan mereka, kan? Toh mereka sudah melalui saat-saat yang lebih buruk; Saat Mira ‘salah pergaulan’ dengan para aktivis kampus, mengisap ganja dan menabrakkan mobil bapaknya ke tiang listrik; saat Vera terlibat cinta terlarang dengan salah satu dosen dan dilabrak istri si dosen; saat Zaza nyaris diperkosa pamannya. Bukankah mereka selalu saling membantu pada saat –saat sulit? Tak ada alasan bagi Mira dan Zaza untuk menolaknya.
Lagipula, Vera bertekad mengembalikan uang yang akan dipinjamnya, begitu ia menerima honor pemotretan dan uang dari Youtube. Ia berdoa semoga saja lumayan banyak. Ia dulu rajin menghitung-hitung kira-kira berapa yang ia dapatkan dari Youtube, namun ia segera berhenti karena yah… kadang ia tak sadar kapan uang itu masuk. Uang itu sudah terpakai bahkan sebelum ia sempat melihat angkanya.
BERSAMBUNG