If you have never been hated by your child, you have never been a parent.
Bette Davis

Cerita Bersambung: An Instagram Wedding (4)

author
Ken Terate
Jumat, 8 Februari 2019 | 15:00 WIB
kanya.id |

EPISODE 4

“HAI Za, apa kabar?”

“Hai, Sil, kabar baik. Kamu?”

Percakapan WA awal dari obrolan panjang mengenai kegiatan Dies Natalis yang sedang dijalankan Sisil, teman kuliah Zaza dulu dan akhirnya meminta Zaza untuk menjadi pembicara dan pelatih di dalamnya.

“Cuma workshop singkat pengendalian emosi untuk orang tua dan anak-anak. Lo ahlinya Za. Ini bagus juga buat promosi buku lo.”

Zaza harus menarik napas beberapa kali sebelum menjawab.

“Aku tanya dulu pada suamiku ya, Sil…” Zaza mengetik lalu menyadari kalimat itu memberi kesan buruk. Kesannya ia begitu tergantung pada suaminya bahkan untuk hal-hal yang baik. Lagipula apa yang harus dikatakannya bila Faisal tidak mengizinkan --dan kemungkinan besar memang tak bakal mengizinkan--.

Zaza menghapus kalimat itu, lalu mengetik lagi, menghapus lagi, mengetik lagi.

“Aku harus mengecek jadwalku dulu….” Ini bagus, memberi kesan ia punya kehidupan. Send.

“Aku kabari secepatnya. Maksimal besok pagi,” lanjutnya. Aku harus ingat, batin Zaza karena ia tak boleh menggantung Sisil terlalu lama. Sebenarnya ia bisa memberi jawaban sekarang juga. Ia TIDAK bisa. Tetapi bagaimana mungkin Sisil mengerti? Dua anaknya bukan bayi lagi. Kayla lima tahun dan Aksa tiga tahun. Ia punya pembantu. Punya orang tua yang bisa dititipi cucu-cucu barang sehari. Dua anak itu juga sudah masuk playgroup dan TK setengah hari. Masalahnya bagaimana mungkin ia mengatakan Faisal tidak mengizinkannya ‘tampil di depan publik’ kecuali di lingkaran-lingkaran kecil yang disetujui oleh Faisal?

“Cieee yang sibuk. Memangnya selain nulis buku lo punya proyek apa, sih? Bagi-bagi dong,” Sisil memasang emoticon berkedip.

“Nggak ada, kok.” Menulis buku pun sudah beberapa bulan ini berhenti. Entahlah, ia takut bila tanpa sengaja ia menulis sesuatu yang menyinggung Faisal –bukannya Faisal bakal membaca bukunya--, tetapi Faisal pernah mengamuk saat Zaza memosting tentang kebaikan perempuan-perempuan bekerja.

“Kau tahulah jadwal anak-anak aja udah bikin ribet,” Zaza mengetik.

“Iya, sih, sesama emak ngerti lah,” balas Sisil. Nggak, Sisil nggak ngerti. Dia punya anak dan BEKERJA di luar rumah.

“Tetapi lo jadi kayak ngilang gini. Susah banget ditemuin.”

“Nggak ah, kemarin aku ketemuan dengan Miranti dan Vera, kok.”

Karena Faisal kebetulan sedang di luar kota.

“Ah, sweet. Tiga dara! Kalian dulu memang gadis-gadis favorit. Jadi rebutan semua cowok!”

Ah, masa-masa indah itu. Miranti paling luwes dan luas pergaulannya, Vera paling cantik dan bold. Sementara ia sendiri adalah mahasiswi dengan IP tertinggi. Ah, masa-masa itu. Kapan masa lalu berhenti dan hanya menjadi kenangan?

“Gimana kabar Vera? Keren banget ya dia sekarang. Tajir abis. Gue ngiler melulu liat IG-nya dia.”

Zaza hendak mengatakan bahwa apa yang kamu lihat di medsos tidak selalu sama dengan yang di dunia nyata, tetapi urung. Zaza lebih tahu dari siapa pun soal itu. Ia lelah dipuji-puji sebagai bunda idaman, psikolog idolaque, spesimen istri solehah, apalah, apalah.

Baca juga: Cerita Bersambung: An Instagram Wedding (1) 

Di FB-nya ia selalu mengatakan ia manusia biasa, yang banyak salah, yang tidak selalu sabar menghadapi anak-anak. Kalau ia menulis tips-tips parenting kecil, itu sebenarnya merupakan upayanya untuk belajar, tetapi orang-orang itu makin memujinya, “Uhuy udah cantik, pinter, rendah hati pula. We need more people like you, Bunda Zaza.” Andai orang-orang itu tahu! Andai orang-orang itu mengenakan sepatunya, tidur di ranjangnya, dan makan di dapurnya sehari saja, maka mereka akan tahu hidupnya tak seindah itu. Tak seindah tulisan-tulisannya di FB. 

Mengenai Vera, entah kenapa Zaza merasa ada selapis kabut tipis yang menyelimuti cewek itu. Makin lama Vera terasa makin jauh, makin tak tergapai.

“Yah, Vera udah jadi seleb sekarang. Beda liga lah sama kita,” kata Mira suatu kali. “Gaulnya sama orang-orang yang beda.” Mungkin bukan itu. Zaza merasakan ada getaran yang kacau dalam diri Vera. Sinar matanya resah. Setiap pori tubuhnya seakan mengerut karena takut, terancam, dan mengancam. Zaza merasakan aura kegelisahan pada diri  Vera, meski cewek itu tetap cablak dan banyak tertawa. Mungkin Vera pun merasa tak nyaman berada di dekat Zaza. Zaza sulit menjelaskan mengapa, tetapi perasaan itu datang dan tak bisa dipungkiri. Belajar psikologi, Zaza tahu persis perasaan sama pentingnya dengan logika.

“Buk, ikannya mau diapain?” Tuti, asistennya membuat Zaza terperanjat.

“Eh, diapakan ya? Goreng aja, deh.”

“Mmmm, tapi bapak sukanya digulai.”

“Oh. Ya sudah digulai saja.”

Anak-anak tidak doyan gulai, tetapi mereka lebih mudah. Digorengin telur atau nugget pun sudah bahagia. Faisal lain. Dia bisa merengut bila tidak ada makanan yang sesuai seleranya.

“Buat apa aku kerja dan cari duit kalau di meja nggak ada makanan layak?”

Baca juga: Cerita Bersambung: An Instagram Wedding (2)

Sakit. Sakit, tetapi Zaza tahu lebih baik tak melawan. Ia sudah berlatih berhati-hati, untuk tidak memantik api. Itu pun kadang api tetap terpantik. Anak-anak berisik, kamar mandi bau --Zaza juga tak mengerti mengapa bau—dan kopi yang tidak murni (lah, dia sendiri yang beli kopinya). Namun kadang-kadang Faisal tak butuh alasan buat marah. Zaza merasa Faisal marah hanya karena dia bisa.

Zaza mengerti mengapa Faisal berlaku demikian. Sudah banyak teori yang ditelannya selama kuliah mengapa seseorang bersifat temperamental, menjadi pelaku bullying, berbuat kejahatan. Tetapi ia tak mengerti mengapa ia tak berdaya. Mengapa semua teori-teori yang pernah ia pelajari sama sekali tak berguna.

Jam setengah tujuh. Sebentar lagi Faisal akan pulang. Zaza mengecek rumah dengan teliti. Tuti sudah pulang. Faisal tidak suka berurusan dengan asisten rumah tangga. Itulah mengapa mereka tak pernah punya pembantu yang menginap.

Zaza memastikan semua ruangan sudah bersih, makan malam sudah tersedia. Lampu yang seharusnya menyala sudah dinyalakan. Anak-anak sudah mandi dan ‘berperilaku baik’. Kayla, si sulung, sedang bermain puzzle dan Aksa sedang asyik membuat kemping dengan selimut. Zaza berusaha santai meskipun sebenarnya tiap kali menjelang jam pulang Faisal perutnya melilit. Kayla sudah mengerti dan relatif bisa diatur, tapi Aksa? Aksa tak bisa dilarang. Selain itu dia lebih sensitif pada kecemasan ibunya. Bila ia mengendus ketidaktenangan, ia lebih mudah tantrum. Dan tantrum adalah pemantik kemarahan Faisal paling dahsyat.

“Aksa, sayang, main selimutnya di kamar ini saja ya. Jangan dibawa keluar.”

“Tapi bunda, aku pengin bikin tenda di sini.” Aksa mulai merengek.

“Hei, ingat perjanjian kita. Makan di ruang makan. Mandi di kamar mandi. Kalau main di mana hayo?”

“Tapi aku mau main di sini!” Aksa mulai berteriak.

Tenang. Tenang. Tarik napas. Beri alternatif.

“Kamu mau main di kamar bermain dan bunda temani?”

“Nggak mau!”

Tentu saja dia mau. Dia hanya keras kepala. Negosiasi.

“Oke begini saja. Kamu boleh di sini, tetapi tidak bermain selimut. Ini ruang keluarga. Kita di sini buat santai. Buat istirahat atau baca buku. Mau bunda bacakan buku?”

“Nggak mau baca buku! Aku maunya kemping!”

“Aksa!” Tenang. Tenang. Bisa jadi Aksa memang SENGAJA memancingnya. Anak-anak selalu mencari perhatian. Tidak masalah bila perhatian itu berupa amarah bundanya.

Suara mobil yang familier mendekat. Gawat. Apakah itu Faisal? Tiap hari, mendekati kepulangan Faisal, kegelisahan Zaza muncul lalu meningkat setiap detiknya. Bila Faisal pulang terlambat tanpa mengabari, kelegaan bercampur ketegangan serasa mengaduk dadanya. Ia lega karena Faisal tak kunjung pulang, sekaligus jengkel karena kecemasannya serasa diperpanjang tanpa kepastian.

“Papa pulang!” Kayla melonjak. Gadis kecil itu naik sofa dan menyibak korden jendela. “Yay!” Ia melompat dari sofa begitu memastikan Fortuner putih yang datang berhenti di gerbang.

“Aku buka pintunya!” Kayla menghambur.

“Bagus Kayla, sambut ayah, Nak.”

Zaza tersenyum, menenangkan diri. Semua akan baik-baik saja. Kenapa tidak? Ia sudah berlaku sebagai istri yang sempurna. Dan Faisal juga tak sering-sering bad mood juga sebenarnya. Kalau ditimbang-timbang, mungkin justru lebih sering ia bersikap baik atau setidaknya biasa-biasa saja.

Zaza menunggu-nunggu, apakah Faisal akan mengabaikan Kayla, sekadar menepuk kepalanya, atau menggendongnya.

Di luar dugaan, Faisal menyambar Kayla, mengangkatnya tinggi sambil tertawa, lalu menggendongnya erat, serta menghujaninya dengan ciuman. Zaza terpana. Agaknya malam ini akan menjadi malam yang indah.

“Za,” Faisal mengelus kening Zaza naik turun. Apa yang sudah kulakukan hari ini hingga Faisal bersikap begitu lembut? Zaza bertanya-tanya. Ah, lengan yang kokoh ini. Sudah berapa lama ia tak berbaring dengan nyaman di atas lengan itu? Lengan itu lebih gemuk dan tak lagi seliat dulu. Tetapi ini pun tak mengapa. Jadi lebih empuk dan nyaman. Dada Faisal juga mulai menonjolkan lemak, tetapi yah…  wajarlah. Berat badan yang naik setelah menikah itu pertanda ketenteraman orang bilang. Apakah mereka tentram? Zaza tak berani menjawab. Ia lupa kapan terakhir ia merasakan ketentraman yang solid di samping Faisal. Yang jelas ketika mereka masih menjadi pengantin baru, ia bahagia luar biasa. Kebahagiaan itu luntur begitu perlahan hingga Zaza tak menyadarinya. Toh,ia masih berharap suatu saat air kubangannya akan mendingin atau minimal kadang-kadang mendingin.

“Hm?” Zaza sudah mulai mengantuk. Sesi bercinta –yang frekuensinya makin jarang dan durasinya makin singkat—barusan menguras energinya.

“Terima kasih sudah menjadi istri terbaik buatku.”

“Ah, aku jadi malu. Aku masih punya banyak kelemahan.”

“You’re perfect. Perfect wife, perfect mom.”

Zaza tersipu dan merasa aneh. Apakah mesin waktu telah mempermainkannya dan membawanya ke zaman mereka pacaran? Faisal begitu romantis waktu itu. Dalam sekejap Zaza jatuh dalam pesonanya. Tak sampai setahun setelah mereka berkenalan, Zaza sudah berada di pelaminan di samping pria yang digila-gilai banyak perempuan. Zaza tak mempercayai keberuntungannya. Bagaimana pun, ia cuma cewek cupu. Yang pernah nyaris diperkosa oleh pamannya sendiri. Itulah satu-satunya pengalamannya dengan pria. Bukan pengalaman yang manis. Ia menderita trauma dan depresi yang berusaha ia sembunyikan setengah mati. Dan begitu Faisal datang ia tak butuh waktu lama untuk bilang, “ya”. Ia ingin cepat-cepat kabur dari rumah dan kabur dari masa lalu.

|BERSAMBUNG

 

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi