To her, the name of father was another name for love.
Fanny Fern

Cerita Bersambung: An Instagram Wedding (5)

author
Ken Terate
Senin, 11 Februari 2019 | 19:00 WIB
SHUTTERSTOCK |

 

EPISODE 5

VERA menentang keputusan Zaza untuk menikah buru-buru di usia yang terlalu muda. “Kau bahkan belum mengenalnya.”

Zaza mengatakan ia tak buru-buru. Ia dua puluh enam tahun. Ia sudah mengenal Faisal dengan sangat baik. Keluarga Faisal sudah berteman lama dengan keluarganya. Mereka kadang bertemu dalam acara-acara bisnis maupun keluarga. Faisal lulusan luar negeri dan begitu pulang langsung bekerja di perusahaan keluarga, mulai dari posisi terbawah, lalu merangkak hingga mencapai kedudukan nyaris di puncak.

Ia sering dibicarakan sebagai ‘contoh anak muda yang sukses sebelum usia 25’. Di keluarga besar ia digadang-gadang sebagai cucu pewaris korporasi. Saat Faisal dan Zaza akhirnya sepakat untuk pacaran, tak ada cacat cela berarti yang Zaza temukan. Yah, kecuali menyanyi dengan fals dapat dianggap kekurangan tak termaafkan (Vera pasti menganggapnya demikian dan Vera pernah mendepak cowoknya hanya gara-gara si cowok kikuk di lantai dansa).

Malah Faisal termasuk cowok romantis. Sekoper besar bunga (benar-benar sekoper) pernah dikirimkan Faisal untuknya. Cokelat, teddy bear, perhiasan, semua gesture romantism standar sudah ia penuhi.

You’re perfect, too. Kamu baik sekali, sayang,” bisik Zaza. Setidaknya malam ini dan aku akan berdoa untuk lebih banyak malam-malam seperti ini.

“Umm… sayang.” Kenapa tidak memintanya malam ini? Faisal mungkin akan mengabulkan. Moodnya sedang baik. Ini kesempatan langka.

“Tadi Sisil, temanku kuliah, menghubungiku.”

“Ya?”

“Sebentar lagi ada kegiatan Dies Natalis di fakultas.”

“Terus?”

“Yah, dia nanya apa aku bisa jadi… ummm… narasumber untuk sejam dua jam.” Jangan bilang untuk sehari penuh.

“Za, plis. Tugas utamamu adalah anak-anak.”

“Yah, ini cuma sebentar, kok. Aksa mungkin bisa kubawa. Ada acara untuk anak-anak juga.”

“Za, kita nggak kekurangan.”

Ini bukan soal uang. Aku bahkan tidak akan dibayar.

“Sal, aku punya ilmunya. Sayang, kan kalau nggak dibagikan pada orang-orang yang membutuhkan…”

Faisal menatapnya tajam. Zaza mengkerut. Seharusnya ia tahu. Seharusnya ia tahu lebih baik.

“Kita sudah sepakat. Kamu di rumah, aku yang kerja! Ilmu kamu buat anak-anak. Kan jelas.”

Zaza hanya bisa mengangguk. Nyalinya menciut dan mengerut seperti kismis.

“Aku kepala rumah tangga. Aku pembuat keputusan, paham, kan?”

Zaza nyaris menangis. Tetapi berusaha tabah. Faisal sudah sering mengatakannya hingga Zaza hapal kelanjutannya.

“Kamu, kan enak tinggal ngikut aja.”

Nah, kan.

Faisal mengandalkan senjata ‘aku pembuat keputusan’ untuk nyaris apa pun;  warna keramik kamar mandi hingga pilihan destinasi liburan, bahkan meski Zaza berargumen bahwa Bromo terlalu jauh untuk anak-anak (dan benar saja, perjalanan itu jadi bencana karena dua anak mereka kecapekan dan kedinginan).

“Za,” Faisal bangkit, “Happy anniversary. Terima kasih untuk lima tahun yang indah.”

Ha?

Faisal membuka nakas di samping tempat tidur, lalu mengeluarkan kotak berlapis kulit merah hati.

Zaza terkesiap. Ia menerima kotak itu dengan jari-jari gemetar.

“Maaf, aku lupa anniversary kita.” Susah payah Zaza menelan ludah.

Faisal mengecup pipi Zaza ringan. “That’s okay baby. Sesi tadi lumayan, kok,” Laki-laki itu mengedip jahil.

Dan Zaza bertanya-tanya bagaimana mood suaminya bisa berubah-ubah lebih cepat daripada kulit bunglon.

“Kamu nggak mau membukanya?”

Apa ia harus membuka jewelry box bertuliskan “Cartier”?

“Wow, ini cantik sekali sayang.” Gelang itu berkilau dalam cahaya remang kamar mereka. Zaza memeluk suaminya serta merta. Harapan kembali bersembulan. Bagaimana pun, Faisal punya banyak kebaikan.

“Terima kasih sayang. Ini berlebihan. Harganya pasti mahal.”

“Tak ada yang terlalu mahal buat istriku. Lagipula, kau tahu kondominium di Kelapa Gading?”

“Ya?”

“Sudah resmi menjadi milik perusahaan. Anggap  saja itu sudah menjadi milik kita.”

“Wow, selamat sayang.”

“Mmm… cuma selamat aja?” Faisal mengedip. Seperti merasakan bahaya mendekat, jantung Zaza langsung berdebar. “Kita rayakan, dong. Ayo, setel videonya.”

Jantung Zaza teremas. Tuhanku, Tuhanku. Beri aku kekuatan.

 

***

 

“Ini sudah beres, Bu Mira. Uangnya akan ditransfer segera ke rekening ibu. Mungkin besok sudah masuk.”

Mira mengembuskan napas antara lega dan cemas. Ini kredit pertamanya. Lima puluh juta. Itu plafon tertinggi yang disetujui oleh bank untuknya. Ia sadar itu tidak banyak, tetapi ia sudah ngeri membayangkan cicilannya. Selama dua tahun ia harus hidup lebih sederhana.

Tetapi tak mengapa, toh setelah ini ia dan Rendy akan menggabungkan pendapatan dan berbagi pengeluaran. Mereka akan menyewa apartemen yang layak untuk pasangan muda. Mungkin mahal, tetapi Rendy yang akan membayarnya atau setidaknya mereka akan berbagi. Uf, Mira ingat Zaza menyarankan agar mereka membicarakan hal-hal penting sebelum menikah seperti keuangan dan pekerjaan tetapi Mira tak pernah menemukan waktu dan cara yang pas.

“Bahas soal pengaturan keuangan. Apakah penghasilan akan dijadikan satu lalu salah satu akan mengatur? Atau penghasilan tetap dibawa masing-masing dan kebutuhan bersama akan dibayar bareng? Definisikan apa kebutuhan bersama. Makin detail makin bagus.” Itu nasihat Zaza.

Baca juga: Cerita Bersambung: An Instagram Wedding (4)

Uf, Mira pening duluan membayangkannya. Apa yang disebut kebutuhan bersama? Sampo dan pasta gigi? Ah, untuk itu Mira rela mengeluarkan uangnya. Atau cicilan mobil? Nah, itu, kan mobil Rendy. Dia sudah membelinya sebelum mereka pacaran. Cicilannya masih dua atau tiga tahun lagi, Mira tak begitu tahu. Mestinya Rendy tak mengharapkannya ikut membayar cicilan itu setelah ia berstatus sebagai istrinya, kan? Atau iya? Mungkin lebih baik begini: segala cicilan dan iuran akan menjadi kewajiban Rendy dan pengeluran harian akan menjadi tanggung jawabnya? Aduuuh, kenapa jadi rumit begini, sih? Ia yakin papa dan mamanya tidak pernah mendiskusikan hal-hal semacam itu, dan mereka baik-baik saja.

“Soal karier juga perlu dibahas. Apakah kamu tetap bisa kerja setelah kalian menikah? Bagaimana bila kalian punya anak?”

Anak? Dia dan Rendy tak pernah membahas tentang anak. Ia bahkan tak yakin Rendy menginginkannya. Rendy sudah punya dua keponakan. Tiga adiknya juga bisa menjadi ‘sumber generasi penerus’ bagi keluarga besarnya, sementara Mira punya tekanan lebih besar. Ia anak tunggal. Bila ia tidak punya anak, garis keluarganya bakal terputus. Mama dan papa tak akan pernah menimang cucu sama sekali.

“Bagaimana soal pengaturan pekerjaan rumah tangga?” Zaza tak berhenti. 

Damn. Dia mau mendukung atau menakut-nakuti, sih?

“Percayalah. Itu semua wajib dibicarakan. Jangan sampai prinsip-prinsip penting justru ketahuan bertentangan setelah menikah.”

Terus kalau ketahuan Rendy nggak pengin punya anak sementara dia pengin, mereka lebih baik batal menikah gitu? Nggak banget, deh!

Sudahlah, ada hal-hal yang lebih urgen saat ini, yaitu desain undangan dan jenis souvenir. Dan sakit kepala yang datang lagi. Sakit kepala itu menyerang kembali begitu Miranti menerima perincian anggaran dari wedding planner. Mereka harus menyiapkan uang kurang lebih 250 juta, hanya untuk elemen-elemen basic, belum termasuk prewed (lupakan Bali, Jogja lebih murah), tiket untuk mendatangkan keluarga Rendy dan sesepuh-sesepuh keluarga Mira dari luar kota. Belum termasuk dress dan kenang-kenangan untuk bridemaids, antaran untuk tetangga, stok baju dan sepatu untuk acara-acara tambahan, seperti midodareni dan rangkaian ngunduh mantu.

Ah, ya, berapa juta lagi yang mesti ia keluarkan untuk acara ngunduh mantu di Surabaya? Rendy boleh bilang tak mau pesta, tetapi toh minimal harus ada resepsi sederhana untuk acara boyongan di Surabaya. Itu juga berarti harus ada duit keluar lagi buat tiket dan hotel. Total mungkin mereka akan mengeluarkan tiga ratus juta lebih. Mendadak uang lima puluh juta yang barusan ia terima dari bank terasa seperti tetesan air yang cepat menguap.

Jadi lupakan saja soal diskusi ‘mendalam’ dengan Rendy. Lagipula selama ini ia melihat laki-laki itu bertanggung jawab. Rendy tidak boros, tidak merokok - berusaha berhenti tepatnya -, dan tidak menghamburkan sepuluh juta demi sepasang sepatu. Yah, dia kadang nongkrong di pub, seperlunya saja, otak-atik mobil dan jalan-jalan seperti layaknya kaum milenial. Mereka berdua sama, tak kebanyakan gaya, tapi tetap bisa berlaku sepantasnya di lingkungan sosial mereka. Menikmati hidup, tapi sewajarnya. Boros boleh sekali dua kali, asal nggak nyampe berutang. Mungkin karena itu mereka nyaris selalu seiring sejalan.

Hanya saja begitu mereka memasuki fase prapernikahan, mereka jadi sering ribut. Mira bertanya-tanya apakah mereka hanya cocok karena berada di jalan tol yang mulus? Mungkinkah mereka bakal saling membunuh bila terpaksa melewati jalan terjal berbatu-batu? Kayak persiapan pernikahan ini misalnya. Keluarga Mira menginginkan pernikahan yang ‘bermartabat’ karena bagaimana pun Mira adalah anak tunggal dan papanya bekerja di salah satu BUMN. Meski ‘hanya’ kepala bagian dan bukan pejabat eselon tinggi, tetap saja mereka mengundang direktur-direktur VIP.

Sementara Rendy tak menginginkan itu semua. “Aku sih maunya ijab kabul di di KUA lalu makan-makan aja sama teman-teman kita.” Ayah Rendy - dulu dokter bedah saraf kondang - sudah meninggal. Ibunya dosen PNS yang baru saja pensiun dan sakit rematik. Rendi punya satu kakak dan tiga adik. Kakaknya tinggal di luar negeri bersama suaminya. Adiknya ada tiga dan baru satu yang bekerja. Dua yang lain masih kuliah. Adalah wajar bila Rendy tak menginginkan segala macam keribetan. Tetapi seharusnya ia mengerti posisinya, kan?

Mira menimbang-nimbang bagaimana menjelaskan pada Rendy bahwa tiga ratus juta yang akan mereka keluarkan layak untuk semua ini. Itu pun sebenarnya harga yang wajar. Mereka tak akan menggelar pesta mewah dengan uang segitu. Hanya pesta ‘layak’ saja sesuai kedudukan papanya. Ia tak bakal memberi tahu Rendy tentang utang yang baru saja ia cairkan. Rendy bisa ngamuk bila mengetahuinya. Uang segitu, ia bisa membayangkan Rendy berkata, bisa buat mobil atau uang muka rumah! Ini malah mau buat menjamu orang-orang nggak dikenal.

 

BERSAMBUNG

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi