When I get up and work out, I’m working out just as much for my girls as I am for me, because I want them to see a mother who loves them dearly, who invests in them, but who also invests in herself. It’s just as much about letting them know as young women that it is OK to put yourself a little higher on your priority list.
Michelle Obama

Murid Berani Melawan Guru, Ini Penjelasan Psikolog

author
Hasto Prianggoro
Kamis, 14 Februari 2019 | 16:00 WIB
| SHUTTERSTOCK

Beberapa waktu lalu viral video seorang murid SMP di Gresik menantang guru honorer di dalam kelas. Belakangan, si murid mengaku menyesal dan meminta maaf.

Masih di bulan yang sama, seorang murid lagi-lagi melawan gurunya di dalam kelas. Kali ini peristiwa terjadi di Sampang, Madura. Tak hanya melawan, ia juga melepas bogem mentah setelah diingatkan guru karena mengganggu teman sekelas sehingga mengganggu proses belajar mengajar. Malang, guru seni rupa itu akhirnya meninggal dunia setelah sempat dirawat selama beberapa saat di rumah sakit.

Banyak lagi kejadian murid yang melawan dan bahkan menganiaya guru atau staf sekolah, bahkan ada yang kompak menganiaya guru bersama orangtuanya.

Baca juga: Anak Harus Diajari Sopan Santun, Ini Yang Perlu Dilakukan Orangtua

Kenapa murid bisa menjadi begitu berani melawan dan menganiaya guru, yang notabene merupakan wakil orangtua di sekolah?

Menurut Henny Wirawan, Psi., M.Hum, Direktur Meliora Learning Academy, ada banyak sebab. “Pertama, peraturan sekolah tidak tegas. Kedua, siswa tidak dibiasakan untuk menghargai dan menghormati orang lain, termasuk yang dituakan. Dan yang ketiga, wibawa guru juga kurang.”

Sebagian kasus berakhir damai, ada juga murid yang dikeluarkan dari sekolah atau diblacklist, dan sebagian lain ada yang berakhir di pengadilan. Kasus orangtua murid yang ikut menganiaya guru di Makassar tahun 2015 silam misalnya, si anak bebas sementara si ayah yang ikut menganiaya guru dijatuhi hukuman 1 tahun penjara.

Henny tidak setuju kasus-kasus seperti ini hanya berakhir damai dan si murid tidak diberi sanksi yang bisa membuatnya jera. “Saya tidak setuju kalau cuma didamaikan. Seharusnya ada sanksi yang mendidik siswa, biar kapok,” katanya kepada kanya.id.

“Blacklist tidak perlu, tapi beri anak sanksi hukuman layanan sosial. Itu sudah harus sudah dijalani sebelum sekolah di tempat lain,” lanjutnya. Misalnya, anak disuruh membuat lagu atau cerita tentang rasa hormat kepada guru, lalu diunggah ke YouTube atau ke media sosial yang lain. “Yang lebih tradisional, minta anak patungan membetulkan rumah guru atau membersihkan halaman sekolah selama satu semester,” kata Henny.

| SHUTTERSTOCK

Perilaku anak tentu juga tak lepas dari pola asuh yang diberikan orangtua. “Jadi, orangtua juga wajib memantau perkembangan dan kemajuan anak. Tidak bisa cuma lepaskan tanggung jawab kepada guru dan sekolah.”

Henny menyarankan sejak kecil anak sudah ditanamkan pola asuh yang demokratis dan diajarkan rasa kasih dan hormat kepada sesama. “Ketegasan aturan dan konsekuensinya tetap diperlukan. Harus disepakati juga relasi monitoring orangtua dan guru secara berkala. Yang tak kalah penting, teladan positif dari orangtua dan guru dalam berbagai hal yang perlu dipelajari anak.”

 

Penulis Hasto Prianggoro
Editor Hasto Prianggoro