There is no such thing as a perfect parent. So just be a real one.
Sue Atkins

Foto yang Sempurna, Hidup yang Sempurna?

author
Ken Terate
Sabtu, 16 Februari 2019 | 20:00 WIB
SHUTTERSTOCK | SHUTTERSTOCK

Perceraian Gading Marten Gisel beberapa waktu lalu membuat netizen terenyak. Bukan apa-apa, gambar-gambar mereka di Instagram selalu romantis!

Duka kita bukan hanya karena perceraian itu, tetapi juga karena merasa dikhianati foto!

Ayo jujur aja deh, ngiler enggak bila melihat pasangan selebgram cantik ganteng berpose mesra di tempat eksotis bercaption manis pulak! Bikin mupeng, kan Mom?

Ini juga berlaku buat gambar-gambar lain; foto bento bekal anak dengan nasi yang dibentuk kayak panda, telur kayak burung, dan timun kayak bunga teratai?

Sumpah deh, sering saya heran, bagaimana mereka bisa melakukannya? Jangankan membuat bento cantik, sempat sarapan kayak orang ‘beradab’ aja udah alhamdulillah karena terus terang ada pagi-pagi keluarga saya hanya sarapan sisa sayur semalam.

Foto-foto lain --terutama di IG-- tak kalah memprovokasi; jalan-jalan ke Turki, tas bermerek yang harganya setara motor, makan di restoran, yoga di tepi pantai. Awalnya kita kagum, lalu iri dan bertanya-tanya mengapa SEMUA orang lain punya hidup yang begitu seru sementara kita ngejogrok di dapur yang kompornya sudah sepuluh tahun enggak diganti. Bagaiamana SEMUA orang lain memiliki hidup yang sempurna sementara kita masih berkutat di utang-utang yang sama (cicilan rumah, cicilan motor, dan cicilan panci).

Tetapi kisah Gading Marten mengajarkan satu hal: bahwa hidup tak bisa disimpulkan dari selembar dua lembar foto Instagram yang serba sempurna.

Saya punya teman pengusaha di medsos yang dari postingan di FB-nya tampak sukses. Tak cuma sukses finansial, ia juga terkesan bijaksana dari caption-captionnya yang menebarkan kalimat bijaksana. Namun giliran dia kasih kerjaan ke saya, pembayarannya enggak beres sampai saya sudah malas menagihnya. Hedeh, ternyata kebijaksanaannya mentok di tulisan saja.

Sadarlah saya --dan semoga juga Anda-- bahwa apa yang digambarkan di medsos bukanlah kebenaran, bahkan kadang ‘penyesatan’. Pasangan yang berpose romantis, belum tentu rukun di dunia nyata. Mobil mewah yang dikendarai dalam foto belum tentu mobil milik. Orang yang gembar-gembor traveling ke sana-sini ternyata penipu berkedok travel agent (ini beneran terjadi). Foto dua anak yang rukun bisa jadi diambil semenit sebelum mereka cakar-cakaran rebutan hotwheels.

Benar, kita bisa menjadikan gambar-gambar itu motivasi saja --apa pun yang terjadi di balik foto-- tetapi tetap harus dong dikalibrasi sesuai nilai dan gaya hidup kita.

Saya pernah terinspirasi pol dengan teman saya yang tekun banget mengasuh anak. Di medsos ia memposting kegiatan anak-anaknya yang semua mengagumkan; pelajaran menelaah kitab agama, main musik, membacakan novel klasik, hingga olahraga.

Ini contoh medsos yang positif, tetapi ketika saya mencoba menirunya; gagal total. Saya pegel membacakan novel klasik pada anak saya. Baru dua halaman, saya sudah ketiduran. Olahraga? Anak saya suka, tetapi saya yang tersiksa. Definisi saya tentang olahraga adalah mengangkat kelopak mata kanan dan kiri bergantian.

Terinspirasi tentu bagus selama bisa disesuaikan dengan kondisi kita, entah itu kondisi ekonomi, hobi, maupun budaya. Bangkrut dong kita kalau niru-niru salad ala luar negeri tiap hari. Kita punya pecel yang sama khasiatnya dengan harga yang jauh lebih murah.

Tetap ingat, meski ada ratusan gambar di IG, ada ribuan pemandangan lain yang tak terpotret; entah itu cucian menggunung atau utang yang tak kalah menggunungnya. Stop merasa bersalah hanya karena kita tak pernah, tak ingin, (dan mungkin tak bisa) naik Gondola di Venesia, naik roller coaster, atau berdiet keto. Nikmati tiap senyum yang nyata di depan kamu. Kebahagiaan kamu mungkin menikmati susu jahe di angkringan yang sama enggak instagrammable, tetapi lalu kenapa? Medsos tak seharusnya mendefinisikan kebahagiaan kita.

 

Niken Terate

kenterate@gmail.com

Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi