Ketika Ira Koesno menjadi moderator debat calon presiden untuk kedua kalinya, tak pelak namanya mencuat kembali. Kulitnya yang seolah tak terpengaruh oleh waktu dibicarakan lagi. Statusnya yang single juga jadi bahan gunjingan (lagi). Lima tahun berlalu. Dia tambah cerdas, tetap cantik, dan tetap lajang. Sebagai seorang seleb, saya pikir wajar saja orang-orang kepo tentang kehidupan percintaannya. Tetapi, saya ikutan geram kalau Mbak Ira dibully atau direndahkan gara-gara statusnya. Ya ampun, itu yang membully punya prestasi apakah?
Ngomong-ngomong soal perempuan lajang, saya punya banyak teman perempuan lajang. Mereka tidak menikah karena berbagai alasan, tetapi nyaris semuanya punya sesuatu yang menonjol; prestasi dan kebaikan hati.
Salah seorang teman lajang saya jadi guru dan punya anak asuh. Teman yang lain bekerja di LSM internasional dan sudah mengelilingi separuh dunia. Ada pula yang jadi dokter dan sukarelawan internasional. Dibanding mereka, mendadak saya merasa seperti remahan rempeyek.
Baca juga: Tips Keren Soal Bisnis Dari 9 Womenpreneur Dunia
Sayangnya, dalam masyarakat konvensional, deretan prestasi perempuan seolah tak berarti bila mereka tak menikah. Tidak menikah dianggap suatu kegagalan atau ketidaknormalan. Tapi benerkah begitu?
Bila ada bayi lahir, doa yang kita berikan padanya berkisar antara: semoga jadi anak yang salih, berbakti, dan berguna. Berguna. Dan untuk berguna, kita tidak selalu harus menikah, bukan?
Sedihnya pernikahan masih dianggap sebagai salah satu indikator utama kesuksesan seorang perempuan. Mau jadi aktivis di UNHCR atau ahli IT, kalau ada kumpul keluarga yang ditanyakan ya itu-itu juga, “Kapan nikah?”
Padahal, memandang pernikahan sebagai pencapaian tertinggi dalam hidup tak hanya merendahkan, namun juga berbahaya. Merendahkan karena peran perempuan seolah direduksi menjadi satu aspek: reproduksi. Akibatnya kita lupa perempuan punya banyak aspek; aspek intelektual, spiritual, sosial, dan masih banyak lagi.
Beberapa perempuan kemudian terjebak pada ‘memikat lawan jenis’ atau ‘menunggu pangeran tampan’ tanpa benar-benar mengembangkan potensi mereka. Para gadis cemas berlebihan atas tubuh mereka karena takut tak ada lelaki mendekat. Energi mereka habis untuk mengurusi hal-hal yang remeh temeh saat mereka sebenarnya bisa mengembangkan kompetensi yang lebih bermanfaat.
Selanjutnya sebagian perempuan terjebak pada pernikahan karena tanpa sadar termakan doktrin-doktrin yang sebenarnya tidak esensial; entah itu ‘perempuan nggak sempurna kalau belum melahirkan’ atau ‘kita bakal kesepian bila tidak punya pasangan.’ Lhadalah, apakah esensi terpenting dalam hidup ini adalah sekadar berpasangan lalu berkembang biak? Masak sih sedangkal itu?
Baca juga: Cerita Bersambung: An Instagram Wedding (7)
Di sisi lain, saya sudah menyaksikan banyak teman saya yang justru ‘layu’ setelah menikah; stres berkepanjangan karena mengalami kekerasan rumah tangga dari suaminya atau malah jadi pelaku KDRT terhadap anak-anak mereka. Sebagian kehilangan kemandirian bahkan untuk hal-hal kecil, misalnya untuk membeli baju, padahal sebelumnya mereka adalah perempuan-perempuan yang merdeka dan kompeten.
Setiap manusia punya banyak sisi dan mustahil kita sempurna di semua sisi itu. Sebagian perempuan memilih menikah dan mengurus keluarga, sebagian yang lain tidak menikah dan jadi entrepreneur hebat. Sebagian lagi memilih fifty-fifty, ya kerja, ya mengelola rumah tangga. Mana yang lebih baik? Tidak ada. Selama semua dijalani atas pilihan sadar, itulah jalan terbaik bagi para perempuan.
Jadi, lajang atau menikah? Yang penting happy, mandiri, dan syukur-syukur bermanfaat bagi orang banyak. Yak, seperti Mbak Ira Koesno.
Niken Terate
Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.