Being a parent has made me more open, more connected to myself, more happy, and more creative. I’m more discerning in what I do and how I do it. It’s just made me a better person all the way around.
Alicia Keys

Cerita Bersambung: Kartu Pos Wini (Part 2)

author
Ruwi Meita
Kamis, 28 Februari 2019 | 19:00 WIB
kanya.id |

 

EPISODE 2

“Wow kalian punya kotak pos Tuhan? Gila!” tulis Reza pada kotak chat di Facebookku. Aku membayangkan dia pasti terjungkal dari kursinya atau menyemburkan kopi panasnya. Pagi ini aku tak ada waktu untuk menggunakan webcam jadi aku hanya membayangkan apa yang terjadi dengan Reza saat aku menceritakannya tentang kotak pos Tuhan.

“Aneh, saat suatu hal menjadi sangat manusiawi kamu justru menyebutnya gila.” Aku menekan tombol enter dan mencomot pisang goreng sisa semalam di depanku. Reza baru online sekarang padahal peristiwa yang tadi kusampaikan padanya sudah terjadi dua minggu yang lalu. Dia sibuk sekali. Yah, seorang ahli onkologi pasti lebih sibuk dari seorang tukang pos di belakang meja sepertiku. Barangkali di Amsterdam saat ini baru memasuki pukul 01.30 pagi dan Reza baru saja pulang dari rumah sakit. Kalau aku jam segitu pasti sudah terlelap dalam tidur.

“Maaf. Aku hanya terkejut saja dan tak menduga ada hal semacam ini. Yah aku sering mendengar seseorang mengirim surat untuk Tuhan. Tapi 377 surat untuk Tuhan? Ruthie, that’s amazing.” Hanya dia yang memanggilku dengan nama Ruthie dan aku menyukainya. Sudah delapan belas tahun dia memanggilku dengan cara demikian.

Aku sudah mengenalnya sejak kecil, hanya saja aku tak pernah bertemu dengannya. Sepertinya aku mungkin takkan pernah bertemu secara langsung dengannya. Dia bekerja di Belanda, artinya dia punya kehidupan di sana. Dia bahkan sedang berpikir untuk mengganti kewarganegaraannya, kupikir dia tak akan pernah pulang. Yah untuk sekedar liburan bisa saja, tapi tidak untuk tinggal. Semua ini tentu saja memperkecil kemungkinan pertemuan kami.

Seragam yang nyantol di lemari kuambil dan aku segera berganti baju. Saat selesai aku membalasnya. “Ralat. 377 surat dan dua kartu pos.” Setelah menekan enter aku membedaki wajahku. Aku baru saja menceritakan pada Reza tentang pertemuanku dengan gadis cilik bernama Wini dan tentang Mbak Dewi yang menyuruhku untuk menyimpan kartu pos itu di sebuah laci kabinet dengan tulisan “Kotak Pos Tuhan.”

Kabinet itu terdapat di ruang arsip. Saat melihat laci kabinet itu aku sangat terkejut. Mbak Dewi menerangkan jika ini adalah ide dari Pak Dwiki, kepala kami. Semua surat dan kartu pos itu berisi harapan dan kita tidak boleh menganggap sepele orang yang menaruh harapan pada Tuhan. Begitu kata Pak Dwiki saat dia mencetuskan ide itu. Jadi kotak pos Tuhan itu adalah semacam penghormatan kepada orang-orang yang berharap. Kupikir tak banyak surat yang berada di kotak surat itu. Tapi aku salah. Jumlahnya tepat seperti yang kukatakan pada Reza tadi.

Aku melirik jam dinding. 07.45. Sial aku sudah terlambat. Aku memang sudah menunggu untuk menceritakan hal ini kepada Reza sehingga aku lupa waktu. Mau apa lagi kadang kami sering bertemu secara online pada waktu yang tidak tepat. Seperti saat ini saat seharusnya aku harus segera cabut ke kantor. Ketika aku akan mematikan laptopku aku sempat membaca pesannya.

“Apa kamu melihat gadis cilik itu lagi?”

Dengan cepat aku segera mengetik,”Maaf aku terlambat kerja. Bye. See you soon.” Aku segera log out dan mematikan laptopku.

Saat tiba di kantor aku merasakan suasana yang aneh.  Semua orang berwajah tegang. Aku melewatkan apel pagi. Pasti ada sesuatu yang terjadi saat apel tadi. Buru-buru aku masuk ke dalam loketku. Aku melirik ke arah Mbak Dewi yang sedang menyiapkan mejanya. Wajahnya terlihat kesal.

“Bos sedang PMS ya?” tanyaku kepadanya dengan suara lirih. Mbak Dewi hanya tersenyum masam.

“Lebih parah lagi. Dia mengubah tempat ini seperti neraka,” jawabnya juga dengan pelan.

“Apa yang terjadi?” tanyaku.

Mbak Dewi menghentikan kegiatannya dan menatapku,”Dia menemukan kotak pos Tuhan.” Dia berhenti. Tak melanjutkan kata-katanya.

“Dan…?” pancingku tak sabar.

“Dia marah besar. Katanya dia sudah berada di kantor ini selama sebulan tapi tak ada seorang pun yang memberitahu soal kotak pos itu. Untunglah kamu tadi tidak datang apel. Dia seperti banteng mengamuk. Kupikir ada asap keluar dari kepalanya.”

Aku terkikik. “Lalu cuma itu saja?”

“Tidak Ruth. Dia menyuruh kita untuk mengembalikan semua surat itu kepada pengirimnya.”

“Apa? Dia tak bisa melakukan semua itu,” kataku geram.

“Ruth.” Mbak Dewi menatapku lekat. “Dia bisa.”

Aku mendengus kesal lalu keluar dari loketku.

“Hei Ruth, kamu mau ke mana?”

“Aku mau bicara padanya.”

“Jangan nekat kamu!”

Aku tidak peduli. Kuketuk pintu kantornya dan kudengar suaranya dari dalam mempersilakan aku masuk.

“Maaf Pak, mengganggu sebentar.”

“Ada apa?” katanya sambil terus menulis sesuatu di buku agendanya. Dia bahkan tak menatapku.

“Saya ingin bicara dengan Bapak.”

“Ya, silakan duduk.”

Aku duduk di depannya lalu mengatur keberanianku.

“Saya ingin bicara soal kotak pos Tuhan. Saya pikir mengirimkan kembali semua surat itu pada pengirimnya sangat tidak bijaksana. Kita bisa menghancurkan semua harapan mereka.”

Pak Syamsuri mendongakkan wajahnya dan menatapku. Tatapannya penuh ejekan dan kesinisan.

“Kamu tahu alamat surga ? Kamu tahu apa nama jalannya? Nomer kode posnya?” cecarnya. Aku menggelengkan kepala.

“Semua surat yang beralamat tidak jelas, sesuai aturan, harus dikembalikan kepada pengirimnya. Kita tidak menyimpan surat tapi mengirimkannya.”

“Kita bisa membuat pengecualian untuk yang satu ini. Mereka menulis harapan, mereka mengandalkan Tuhan. Mereka merindukan Tuhan. Mengirimkannya kembali semua surat itu hanya akan menggoyahkan keyakinan mereka. Mereka hanya butuh tempat untuk menaruh harapan, keyakinan, dan permohonan mereka. Saya rasa kantor pos ini bisa menyediakannya.”

“Kita bukan klinik psikolog yang siap menampung curhat mereka, kita juga bukan departemen sosial yang sok akrab dengan kehidupan mereka. Terlebih lagi kita bukan Tuhan. Mereka seharusnya berdoa bukannya mengirimkan surat kepada Tuhan.”

Aku menghela napas panjang. “Mereka sudah berdoa lewat surat mereka.”

Pak Syamsuri sepertinya sudah kehilangan kesabaran, ”Saudari Ruth, kita ini dituntut untuk bekerja secara profesional. Dan saya pikir sikap ini tidak terdapat dalam diri saudari. Saya tidak melihat Anda mengikuti apel pagi tadi. Jadi silahkan keluar dari ruangan saya atau saya harus memberi peringatan pada Anda. Keputusan sudah dibuat jadi silahkan Anda melakukan apa yang seharusnya Anda lakukan.”

Saat aku hendak bicara lagi Pak Syamsuri mengangkat tangannya dan memberi isyarat padaku untuk keluar. Aku berdiri dan berjalan keluar dengan lesu. Saat aku menutup pintu ruangannya aku baru bisa bernapas dengan lancar kembali. Antara marah, kesal, sedih, geregetan bercampur aduk menjadi satu, memenuhi paru-paruku yang siap meledak. Tumpukan surat dari kotak pos Tuhan sudah terjejer rapi di mejaku saat aku sampai di loketku. Mbak Dewi menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Super nekat!” desisnya. “Kamu cari mati ya?”

Aku tak menanggapi komentar Mbak Dewi, mataku beralih ke atas tumpukan surat-surat yang harus kudata untuk dikirim kembali ke pengirimnya. Di atas tumpukan surat itu terdapat kartu pos yang sangat kukenal. Kartu pos Wini. Wajah gadis cilik itu terbayang di mataku. Wajah ibunya yang menangis terus berulang di kepalaku. Tanpa pikir panjang aku membuka tasku dan memasukkan 377 surat dan 2 kartu pos itu ke dalam tasku yang untung bisa memuatnya. Mbak Dewi terbelalak.

“Kamu pasti sudah sinting.”

“Tidak. Aku hanya melaksanakan tugas yang diperintahkan Pak Syamsuri. Melakukan apa yang harus kulakukan.”

***

 

Aku tidak bisa tidur selama tiga hari, bekerja tanpa semangat dan setiap hari aku harus menerima tatapan Mbak Dewi yang seakan bertanya, “Apa yang sudah kamu lakukan dengan surat-surat itu?” Aku tak bisa menjawabnya sebab aku memang tak punya jawaban.

Reza tidak kutemukan di Facebook. Dia pasti sibuk. Padahal aku ingin mencurahkan semua kekesalanku padanya. Semua surat-surat itu kumasukkan dalam kardus sepatu yang tertutup rapat.

Sore ini setelah mandi aku membuka kardus itu, menatap surat-surat itu selama lima menit tanpa melakukan apa-apa. Akhirnya aku mengambil satu surat, kubaca nama pengirimnya lalu kuurutkan sesuai tanggal kirim (semua surat itu sudah diberi cap pos jadi aku tahu tanggal kirimnya). Ternyata dari 377 surat dan dua kartu pos itu, 237 diantaranya pengirimnya sama. Dia telah menulis surat untuk Tuhan sejak tahun 1977, tahun yang sama saat Pak Dwiki diangkat menjadi kepala kantor pos kami. Dan surat pertamanya juga merupakan surat yang dikirim untuk Tuhan pertama kali.

Nama pengirimnya Herdiana S. Surat terakhirnya berhenti di tahun 2007. Jadi dia menulis surat untuk Tuhan selama 30 tahun. Ke mana dia sekarang? Apa dia pergi jauh atau bahkan meninggal dunia?

 

|BERSAMBUNG

 

 

Ruwi Meita, penulis novel kelahiran Yogyakarta yang telah mengadaptasi 11 skenario layar lebar ke dalam novel. Selain novel adaptasi, Ruwi Meita juga menulis 9 novel mandiri antara lain Rumah Lebah: Rahasia Wajah-Wajah Asing, The Sex On Chatting, The Apuila’s Child, Cruise Chronicle, dan lainnya. Novelnya Misteri Patung Garam telah diterjemahkan dalam bahasa Melayu di Malaysia.

Ruwi juga dikenal sebagai penulis cerpen di berbagai media seperti HAI, GADIS, KAWANKU, FEMINA, dan koran Tempo. Cerpennya Pulung Gantung berhasil menang juara satu Kompetisi Tulis Nusantara. Sementara Pemutar Aroma dan Menghidu Warna menyabet Juara 3 Sayembara Femina 2014 dan 2016.

Sejak 2013 Ruwi Meita mulai melirik dunia skenario dan menulis skenario animasi Diva Series, Uwa and Friends, dan film pendek Through Her Eyes. Film pendek Sasi Takon yang diangkat dari cerpen Ketika Sasi Bertanya karyanya diputar di Jogja Asian Film Festival 2015 dan dipanggungkan dalam pementasan Bertiga Bukan Dara di IFI Yogyakarta 7-8 Maret 2016. Impiannya adalah menulis skenario layar lebar dan menonton karyanya sendiri di bioskop sambil ngemil popcorn.  

 

Penulis Ruwi Meita
Editor Ratih Sukma Pertiwi