To her, the name of father was another name for love.
Fanny Fern

Cerita Bersambung: Kartu Pos Wini (Part 3)

author
Ruwi Meita
Kamis, 7 Maret 2019 | 19:00 WIB
kanya.id |

 

Aku menghela napas panjang. Handuk basah masih tersampir di punggungku. Aku melepasnya dan meletakkannya di kursi. Kamar kosku ini lumayan luas dan memiliki jendela yang besar bergaya kuno. Maklumlah rumah kos ini adalah rumah tua dengan arsitektur Belanda. Aku menatap langit-langit kamarku dan hal pertama yang kulihat di kepalaku adalah kartu pos Wini.

Lalu apa yang akan kamu lakukan sekarang Ruth? Tanyaku dalam hati. Sial kenapa Reza tidak online sih. Dia selalu mempunyai saran untukku. Selalu. Kupandang gerimis yang belum usai. Kupejamkan mataku. Rasanya aku seperti mendengar dering bel sepeda Pak Bejo di kejauhan. Awan di langit yang membentuk polkadot warna pelangi, angin yang melembut, dan kuncup melati yang semakin gembung tak sabar ingin mekar. Sesuatu di hatiku berbisik, ”Jika kamu tak bisa mengirim surat, kamu bisa mengirim nuansanya. Nuansa ini.” Aku membuka mataku dan tersenyum.

***

Dia menatapku dengan mata tak percaya. Setengah jam yang lalu aku baru tahu jika namanya Bu Rosiana. Itu juga dari seseorang yang kutemui di jalan tadi saat aku menanyakan di mana rumah Wini Alexandria. Orang itu berkata, “Oh Wini anaknya Bu Rosiana. Di sana Mbak, rumah bercat biru. Di depannya ada pohon mangga besar.” Dan di sinilah aku, di rumah Wini, gadis cilik pengirim kartu pos untuk Tuhan.

“Kalian punya kotak pos Tuhan? Wow terdengar sangat indah,” Kata Bu Ros.

“Ya, sayangnya sudah dihapus. Biasa, pergantian kepala, pergantian kebijakan.”

“Kupikir apa yang kami lakukan pasti dianggap gila tapi ternyata kalian punya tempat untuk menampung surat-surat untuk Tuhan. Yah, sayang sekali. Apa Mbak Ruth kemari ingin mengembalikan kartu pos Wini. Dia sedang tidur. Dia kelelahan.”

“Tidak Bu Ros. Saya kemari ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Wini kenapa isi kartu posnya semacam itu. Maaf kalau saya lancang. Saya terharu saat membacanya.”

Bu Ros tersenyum, “Tak apa.  Mbak Ruth menyimpan kartu pos itu saja sudah membuat saya tenang.” Dia berhenti sebentar. “Wini sakit. Dia sekarat. Leukemia akut.”

Aku tahu ada sesuatu yang terjadi pada Wini namun aku tak menduga jika kondisinya separah itu. Dadaku menyesak.

“Kami sudah membawanya ke RSCM, namun kami kehabisan dana jadi kami membawanya pulang. Tak ada yang bisa kami lakukan lagi. Kami sudah pasrah.”

Yah, selalu saja tentang uang. Orang miskin dilarang sakit. Huh, hal-hal semacam ini membuatku geram.

“Mungkin ada yang bisa saya lakukan untuk Wini. Saya ingin menghiburnya. Saya ingin menjadi temannya.”

Bu Ros terdiam. Matanya berkaca-kaca.

“Kenapa Mbak Ruth ingin melakukannya?”

“Sebab itu yang seharusnya saya lakukan. “

“Terima kasih Mbak Ruth. Saya akan bicara dengan Wini. Saat ini dia sedang tidur. Dia lelah sekali. Nanti saya akan mengirim sms ke Mbak Ruth kapan kondisi Wini memungkinkan untuk bertemu dengan Mbak Ruth.”

Aku mengangguk.

***

“Dia leukemia dan mereka hanya menunggu? Itu sama saja dengan menandatangani akte kematian,” kata Reza lewat skype di Facebook kami. Dari webcam aku bisa melihatnya. Dia memakai sweater berwarna tanah. Tubuhnya kelihatan menggembung. Aku yakin dia memakai baju beberapa lapis di dalam sweaternya. Katanya pemanas di rumahnya tidak bekerja secara optimal. Musim hujan di sini, musim dingin di sana. Sama-sama keterlaluan. Namun rangkaian bunga di belakangnya seakan memberi nuansa musim semi di kamarnya. Reza selalu suka dengan bunga dan dia merangkai bunga untuk menenangkan pikiran.

“Kamu bisa bilang begitu dengan mudah. Tapi sistem di sini selalu mempersulit orang-orang sakit yang tidak punya uang,” protesku.

“Tapi seharusnya mereka jangan menyerah Ruthie,” katanya sambil menyeruput coklat panasnya. Kameranya terlihat mengabut karena uap dari cangkirnya. Tak lama kemudian kabut itu mereda dan wajahnya terlihat lagi.

Baca juga: Cerita Bersambung: Kartu Pos Wini (Part 2)

“Aku yakin mereka tidak menyerah. Mereka hanya belum menemukan jalan keluar dan ingat ya mereka tidak menandatangani akte kematian Wini tapi sistem yang melakukannya. Sistem negara kita yang amburadul. Hei bukankah kamu memutuskan kerja di sana karena nggak tahan dengan sistem di negara sendiri, kan? Kamu muak dengan itu semua lalu kamu kabur ke negeri orang dimana segalanya terasa sempurna dengan sistem yang kamu ingini?”

“Ruthie, kamu mulai lagi deh. Aku nggak mau bertengkar saat ini, please.” Aku mengangkat kedua tanganku tanda genjatan senjata. Kami memang sering bertengkar soal kenapa Reza lebih suka bekerja di negeri orang padahal menurutku keahliannya sangat dibutuhkan di negerinya sendiri.

“Jadi kapan kamu bertemu Wini?” tanyanya dengan lembut. Kupikir dia merasa bersalah dan mencoba membujukku dengan nada ucapannya.

“Besok sore, aku ingin mengajaknya di alun-alun. Ibunya sudah mengijinkan.”

“Semoga apa yang kamu lakukan membuatnya bertahan.”

“Yeah.”

Mata Reza memicing. Dia mendekat ke arah layar laptopnya sehingga aku hanya melihat matanya. Aku baru menyadari jika matanya berwarna coklat tua.

“Ada apa?” tanyaku.

“Apa itu yang ada di belakangmu?”

“Mana?”

“Kertas-kertas bergelantungan di belakangmu.”

Aku menoleh dan tersenyum,”Oh, itu kartu pos dan surat-surat dari kotak pos Tuhan.”

“Kenapa kamu menggantungnya?”

“Supaya ketika jendela kubuka surat-surat itu bisa dihembus angin. Kuharap isi surat itu dibawa dan dikirim oleh angin ke surga.”

That’s sweet,” katanya sambil tersenyum. “Sebenarnya aku ingin ngobrol lebih lama denganmu tapi aku harus pergi. Aku harus membersihkan halaman rumah. Salju menebal dan aku tak mau ada orang terpeleset di depan rumahku. Bisa-bisa aku didenda nanti.”

“Oke,” kataku.

“Ngomong-ngomong kamu tampak cantik hari ini. Kamu lebih kelihatan bersinar dalam jingga, Ruthie.” 

Setelah berkata itu Reza segera off. Dia tak memberi kesempatan untukku berkomentar. Bersinar dalam jingga? Apa maksud Reza? Aku hanya memakai daster biasa yang kubeli di pasar Beringharjo, Yogya. Harganya cuma 25 ribu. Bagaimana mungkin aku bisa bersinar dengan daster murahan berwarna jingga? Mungkin Reza memang butuh sinar matahari. Musim dingin pasti mengacaukan matanya. Atau dia mengatakannya sebagai suap agar aku tak mendesaknya lagi soal pilihannya kerja di Belanda?

***

Kami naik becak ke alun-alun. Motor kutitipkan di rumah Wini. Lebih santai jika naik becak, lagi pula rumah Wini ke alun-alun tak begitu jauh. Ternyata Wini cepat akrab denganku sehingga dia langsung mau saat kuajak ke alun-alun. Bu Ros mengizinkanku membawa Wini. Dia berpesan supaya Wini tidak terlalu kecapekan. Kami makan es krim di bawah pohon beringin.

Baca juga: Cerita Bersambung: Kartu Pos Wini (part 1)

“Mbak Ruth, apa Tuhan sudah menerima kartu posku?” tanya Wini sambil menjilat es krimnya.

“Pasti sudah.”

“Temanku bilang aku gila karena mengirim kartu pos untuk Tuhan. Apa menurut Mbak aku gila?”

Aku tersenyum, ”Hei, tahu tidak? Bukan kamu satu-satunya yang pernah mengirim sesuatu untuk Tuhan. Kantor pos kami punya kotak surat khusus untuk Tuhan dan ada banyak orang mengirim surat untuk Tuhan.”

“Benarkah?” mata Wini membulat. “Lalu bagaimana kalian mengirim surat itu?” Aku terdiam beberapa detik. Bagaimana aku menjawabnya? Aku tahu Wini akan menanyakannya, hanya saja aku masih memilih pilihan jawaban yang tepat.

“Kami menggantung surat-surat itu di tempat yang memungkinkan angin bisa masuk. Tapi tempat itu aman dari hujan sehingga surat-surat itu tidak rusak.”

“Kenapa begitu?”

“Sebab anginlah yang mengirimkan isi surat itu pada Tuhan. Angin meniupnya sampai ke surga.”

“Bisakah aku mengirim lagi kartu pos untuk Tuhan?”

“Tentu saja. Kita bisa membuatnya bersama-sama.”

“Wow pasti asyik sekali,” katanya penuh semangat. Aku menatapnya. Wini cantik. Dia gadis cilik yang manis.

“Aku akan selalu datang berkunjung ke rumahmu.”

Wini tersenyum cerah, “Dan aku akan selalu menitipkan kartu pos untuk Tuhan kepada Mbak Ruth.”

Aku membelai kepala Wini yang bertopi. Aku tahu tak ada rambut di sana. Tapi Wini tetap cantik. Dia gadis cilik yang manis.

***

Kartu pos Wini yang tergantung di kamar kosku semakin banyak. Sudah tiga bulan aku selalu berkunjung ke rumah Wini. Keluarga bu Rosiana telah menjadi keluarga keduaku di Yogya. Semangat Wini tak pernah surut dan dia selalu bersemangat setiap kami membuat kartu pos bersama. Dia jago gambar. Warna-warnanya ceria dan berharmonisasi dengan apik. Tapi kami tak hanya menggambar kartu pos. Kadang aku membacakannya buku cerita, kadang kami menonton film.

“Dulu aku selalu membayangkan langit membentuk polkadot pelangi, angin melembut, dan kuncup melati yang sudah gembung hampir merekah saat Pak Bejo, tukang pos favoritku datang mengantar surat,” kataku pada Wini saat itu.

“Aku bisa menggambarnya untuk Mbak Ruth.”

“Yeah, pasti kamu bisa. Kamu jago gambar Win.”

“Awan polkadot pelangi. Uhmm tapi aku kehabisan warna ungu.”

“Tanpa ungu pun pelangi masih indah Win.”

“Tidak, aku suka ungu. Pelangi harus menunggu sampai aku dapat ungu,” katanya. Aku tertawa kecil. Lalu aku juga pernah mengambil foto-fotonya di setiap perempatan di kota Yogya. Wini ingin difoto di semua perempatan. Asyik sekali melihatnya tersenyum dan berpose saat kendaraan meribut di sekitarnya. Dia bahkan tak memedulikan orang-orang yang melihatnya dengan tatapan mata bertanya. Aku pun tak peduli. Aku hanya ingin menyenangkan hati Wini.

Apa yang kami lakukan bersama-sama terasa manis. Aku merasa aku terikat dengan Wini. Namun aku tak bisa mencegah darah keluar dari hidungnya, dan itu terjadi lebih sering akhir-akhir ini. Ketahanan fisiknya tak mampu menyeimbangi semangatnya. Dia semakin sering mengeluh sakit perut dan mudah sekali lelah. Sudah lama kami tak keluar rumah. Hatiku sedih dari hari ke hari. Wini butuh pertolongan. Apa yang harus kulakukan?

| BERSAMBUNG

 

Ruwi Meita, penulis novel kelahiran Yogyakarta yang telah mengadaptasi 11 skenario layar lebar ke dalam novel. Selain novel adaptasi, Ruwi Meita juga menulis 9 novel mandiri antara lain Rumah Lebah: Rahasia Wajah-Wajah Asing, The Sex On Chatting, The Apuila’s Child, Cruise Chronicle, dan lainnya. Novelnya Misteri Patung Garam telah diterjemahkan dalam bahasa Melayu di Malaysia.

Ruwi juga dikenal sebagai penulis cerpen di berbagai media seperti HAI, GADIS, KAWANKU, FEMINA, dan koran Tempo. Cerpennya Pulung Gantung berhasil menang juara satu Kompetisi Tulis Nusantara. Sementara Pemutar Aroma dan Menghidu Warna menyabet Juara 3 Sayembara Femina 2014 dan 2016.

Sejak 2013 Ruwi Meita mulai melirik dunia skenario dan menulis skenario animasi Diva Series, Uwa and Friends, dan film pendek Through Her Eyes. Film pendek Sasi Takon yang diangkat dari cerpen Ketika Sasi Bertanya karyanya diputar di Jogja Asian Film Festival 2015 dan dipanggungkan dalam pementasan Bertiga Bukan Dara di IFI Yogyakarta 7-8 Maret 2016. Impiannya adalah menulis skenario layar lebar dan menonton karyanya sendiri di bioskop sambil ngemil popcorn.  

 

Penulis Ruwi Meita
Editor Ratih Sukma Pertiwi