To her, the name of father was another name for love.
Fanny Fern

Menjadi Orang Tua Ideal, Antara Impian dan Kenyataan

author
Ken Terate
Sabtu, 9 Maret 2019 | 20:00 WIB
SHUTTERSTOCK |

Di situs boredpanda.com saya mendapati thread menarik; seorang ibu muda bersemangat karena bayinya mulai makan makanan padat. Si ibu menyatakan, “Anakku tidak akan pernah makan ‘kids menu’.” Ia bahkan kesal ada menu semacam itu. Kids menu diidentikkan dengan makanan junk food yang asal enak dan menarik, tetapi tidak sehat. Ramailah ibu ini ‘didoakan’ oleh orang tua yang pernah punya tekad sama.

Salah satunya berkomentar, “Pas anakku 7 atau 8 bulan dia melahap apapun yang kuberikan; alpukat, zaitun, tabouli. Wah, besok dia bakal doyan segala macam, pikirku. Sekarang ia empat tahun dan cuma mau makan pasta, keju, dan chicken nugget.”

Yang lain berkomentar, “Aku dan pasangan sama-sama chef profesional. Kami punya anak usia TK yang hidup dari roti panggang dan cokelat keping.”

Ada satu komentar menohok. “Aku ingat aku dulu orang tua hebat, sebelum punya anak.” Aduh, kok sama dengan saya! Saya dulu orang tua yang hebat, setidaknya menyangkut makanan. Dua anak saya ASI eksklusif hingga enam bulan. Setelah itu mereka hanya makan MPASI homemade tanpa gula garam hingga usia setahun. Tak ada bubur instan, tak ada biskuit pabrik, apalagi jelly warna-warni. Dan seperti ibu tadi, saya juga punya tekad, “Anakku nggak akan pernah makan junkfood/ nonton TV/ main gawai.”

Anak sulung saya kini tujuh tahun. Apa yang ia beli waktu ikut ke supermarket? Permen! Hedew, ini anak yang dulu doyan daun pepaya rebus dan kenal permen pertama kali saat berusia enam. Serius. Saking nggak pernah makan permen sebelumnya, dia memegang sebutir lalu… dijilat-jilat!

Baca juga: Growing Up

Anak kedua lebih parah. Dia sudah mengenal Oreo sejak usianya setahun. Kini ia tiga tahun dan nyaris tiap minggu makan es krim (fiuh, untung tiap minggu, bukan tiap hari).

Ternyata Mom, impian memang indah, tetapi susah dijalani! Penginnya sih, anak-anak tiap hari makan sayur, ubi rebus, dan minyak ikan. Tapi pagi yang buru-buru bikin kita terjebak pada dua pilihan: telur goreng atau nugget goreng. Kali lain, kerjaan banyak banget dan anak rewel abis. Solusinya: kasih gawai. Ya sudahlah… mau gimana lagi, daripada kita ketularan uring-uringan.

SHUTTERSTOCK |

Buku parenting boleh berteori segala macam, tapi bukan mereka yang menghadapi tumpukan cucian, dompet cekak, anak tantrum, dan… si emak belum makan. Bikin pengin nyakar sesuatu kan? Di saat-saat paling kritis, kadang hanya satu yang kita harapkan: pikiran yang tetap waras! Bahkan itu bila berarti membiarkan anak-anak nonton Spongebob!

Kamu nggak sendiri, Mom. Banyak calon orang tua yakin mereka akan menjadi orang tua ideal. Apalagi sebelumnya mereka terbukti kompeten dalam pengasuhan; berprofesi sebagai guru, menjadi om/tante favorit, atau berhasil menjadi idola anak-anak teman dan tetangga yang main ke rumah.

Baca juga: Jadi Peri Gigi itu Berat. Cukup Saya Saja.

Tetapi setelah punya anak, plak, kenyataan menampar! Mengasuh anak-anak tanpa jeda bisa membuat kita sinting mendadak. Baby blues, pertengkaran dengan pasangan, perselisihan dengan kakek nenek, hingga si kecil yang menghabiskan lipstik untuk menciptakan lukisan maestro menjadi kejutan-kejutan tak terduga yang menegangkan syaraf. Blup. Selamat tinggal teori parenting dan cita-cita menjadi orang tua ideal.

Jadi, oke saja ya anak-anak makan junk food dan main gawai? Tidak, saya tidak bilang begitu. Yang ingin saya garis bawahi adalah saya mengerti bila kamu membiarkan anak makan M&M’s sekali-kali. Dan itu tidak menjadikan kamu ibu yang gagal.

 

 

Niken Terate

kenterate@gmail.com

Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi