You are beautiful because you let yourself feel, and that is a brave thing indeed.
Shinji Moon

3 Anak Muda Ini Sukses Membangun Restoran Sehat Bernilai 1 Milyar Dolar AS

author
Hasto Prianggoro
Minggu, 10 Maret 2019 | 12:00 WIB
| SHUTTERSTOCK

 Ketiga mahasiwa sekampus ini memulai bisnis makanan sehat ketika mereka kesulitan memperoleh makanan yang sehat dan terjangkau di wilayah Washington DC. Ketiganya akhirnya memutuskan membuka restoran sehat sendiri. Siapa sangka, 13 tahun kemudian, bisnis restoran sehat yang mereka beri nama Sweetgreen sudah bernilai 1 milyar dolar AS.

 

Nicolas Jammet, Jonathan Neman dan Nathaniel Ru tak hanya sama-sama kuliah di Georgetown University, Washington, tetapi juga menemui masalah yang sama, yaitu sulit mencari makanan sehat. “Waktu itu makanan yang paling enak, terjangkau dan populer pasti tidak sehat,” kata Nicolas seperti dikutip BBC. “Kami heran, kok tidak ada pilihan lain yang lebih sehat,” lanjutnya.

Ketiganya tak memiliki basic sebagai pengusaha restoran sebelumnya, namun di tahun 2006, anak-anak muda yang baru berusia 22 tahunan ini mulai menyusun rencana bisnis dari kamar asrama kampus mereka.

Ide mereka adalah membuka restoran cepat saji yang hanya menjual salad, dingin maupun hangat. Bahan-bahan sayuran dan buah-buahan segar mereka beli langsung dari petani lokal untuk meyakinkan bahwa sayuran dan buah tersebut masih benar-benar segar. 

| Ki-ka: Nathaniel Ru, Jonatan Neman, Nicolas Jammet | SWEETGREEN
Menjelang musim panas 2007, setelah menyelesaikan kuliah, ketiganya berhasil mengumpulkan dana sebesar 300 ribu dolar AS dari teman dan keluarga, dan di bulan Agustus tahun itu juga mereka membuka gerai pertama Sweetgreen di sebuah bangunan bekas pub di daerah Georgetown. “Kami mempekerjakan beberapa murid SMA untuk membantu tanpa training lebih dulu,” kata Nicolas yang mendapat tugas sebagai chief concept officer Sweetgreen.

“Hari pertama sungguh lambat, sepi. Lagipula hari itu kami juga tengah menguji coba sistem. Baru di hari-hari berikutnya restoran mulai ramai,” lanjut Jonatan yang menjadi chief executive. “Waktu itu belum kepikiran usaha ini bakal berkembang, kami juga tak pernah berencana menjadikan restoran ini sebagai mata pencaharian.”

Yang mereka tawarkan, lanjut Jonatan, adalah solusi atas masalah kebutuhan akan makanan yang sehat. “Kami hanya berpikir, paling buka satu gerai lagi lalu mencari pekerjaan lain.” Tetapi, mereka ternyata keliru besar. Gerai Sweetgreen dengan cepat meraih popularitas. Antrean pembeli pun mulai mengular hingga ke jalan raya. Dan itu terjadi setiap hari.

| Gerai pertama Sweetgreen | SWEETGREEN
Ketiga sekawan ini baru menyadari bahwa bisnis yang mereka bangun ternyata menjanjikan skala yang lebih besar. “Kami pun kemudian fokus membesarkan Sweetgreen dan membuka lebih banyak gerai. Masalahnya, untuk mengembangkan Sweetgreen kami butuh dana yang tak sedikit dan itu tak mudah,” kata Jonatan.

Selama beberapa tahun, tak ada investor yang berminat menyuntikkan dana buat Sweetgreen. “Kami tak punya CV, tak punya pengalaman, dan kami hanya lulusan kampus. Dan jika berbicara restoran, orang-orang berpikiran paling setahun sudah tutup,” lanjutnya.

Namun, kerja keras ketiganya membuahkan hasil. Restoran cepat saji sehat ini menarik minat pemilik modal besar seperti Walter Robb (Whole Foods), milyuner Steve Case, dan chef Perancis Daniel Boulud. Nilai investasi yang ditanamkan ke Sweetgreen mencapai 365 juta dolar AS atau sekitar 5 triliun rupiah.

| Menu salad sehat di Sweetgreen | SWEETGREEN
Sisa cerita adalah sejarah. Sweetgreen mulai melakukan ekspansi dan membuka gerai di berbagai daerah dan kini sudah memiliki 90 gerai di seluruh AS dengan total karyawan 3500 orang. Rencananya, Sweetgreen akan menambah 20 gerai lagi tahun 2019 ini. Kantor pusat dipindahkan dari Washington ke Los Angeles tahun 2016 lalu. 

Berapa omzet Sweetgreen? Ketiga pengusaha muda ini tak mau membuka rahasia. Namun, menurut konsultan restoran Amerika, Aaron Allen, pendapatan per tahun Sweetgreen bisa mencapai angka 120 juta dolar AS atau setara 1,7 triliun. “Bisnis mereka tak hanya cocok dengan demografi milenial, tetapi juga diminati keluarga,” kata Aaron. 

Penulis Hasto Prianggoro
Editor Hasto Prianggoro