Sore itu aku berbicara kepada Wini lewat gerimis. Jendela kubuka lebar dan kartu-kartu pos Wini berkibaran. Jumlahnya 99. Itulah jumlah kesempatan yang ditambahkan Tuhan pada Wini. Aku menghela napas panjang dan mulai bicara dengan Wini dalam hati.
Wini, mungkin kamu melihat dari surga betapa pemakamanmu sangat indah. Betapa banyak mawar dan melati yang ditabur. Betapa banyak air mata yang tercurah. Aku melihat teman-temanmu, Win. Mereka tidak berani mendekat tapi mata mereka basah. Pemakamanmu sungguh indah. Meski seminggu telah berlalu tapi aku masih bisa merasakan keindahannya. Kamu yang membuatnya indah, Win. Kamu tak perlu mati untuk menjadi malaikat. Kamu justru menjadi malaikat saat kamu hidup. Kamu justru memberi sayap kepada semua orang, termasuk aku. Setiap aku berada di dekatmu, sesuatu dalam diriku ikut terbang bersamamu.
Sayangnya kemarahan ini masih berlanjut. Aku begitu marah entah pada siapa. Aku begitu murka hingga airmataku tak dapat keluar sejak kamu meninggal sampai sekarang. Kenapa Tuhan memanggilmu saat kita baru akan mulai berjuang?
Aku berjalan menuju mejaku. Laptop masih menyala namun aku tak kuasa menghubungkannya dengan internet. Koneksi terakhirku adalah malam pada hari Wini dikuburkan. Aku mengirim email pada Reza, mengabarkan kematiannya. Setelah itu aku tak sanggup membuka internet lagi. Aku tak bisa berhadapan dengan Reza.
Tanganku terasa dingin dan aku mengusap-usapkannya di meja. Sudah sejam yang lalu aku menguatkan diriku untuk menjenguk email. Tujuh hari yang lalu aku begitu marah sehingga berimbas pada email yang kutulis untuk Reza. Aku ingin mengetahui jawabannya. Cukup membaca email saja tak perlu membuka Facebook.
Akhirnya emailku terbuka. Ada jawaban dari Reza. Aku membukanya. Hanya ada dua kalimat pendek.
Ruthie, please, buka WAmu. Aku ingin bicara.
Hanya itu. Apa yang ingin kamu bicarakan, Za? Tentang penghiburan? Tentang nasib ada di tangan Tuhan? Aku percaya semua itu. Bahwa waktu Tuhan berbeda dengan waktu kita. Saat kita baru memulai, Tuhan malah bilang sudah selesai. Saat kita sudah mengakhiri, Tuhan membangunkan kita dan menyuruh kita untuk memulai. Aku hanya tak paham dengan hatiku yang masih marah dan tak dapat kuhentikan.
Lalu kubaca lagi suratku yang berada di bawah balasan Reza. Aku membacanya dalam hati.
“Reza, kamu tak perlu datang ke Indonesia. Wini sudah tiada. Dia meninggal pagi tadi. Tapi jangan khawatir. Dia meninggal bukan karena kanker (tepat seperti yang dijanjikannya).”
Pagi tadi dia membujuk ibunya untuk membelikannya spidol warna ungu. Dia memang pernah bercerita padaku jika dia kehabisan warna ungu. Mereka berdua pergi ke toko. Saat akan pulang ibunya menyuruhnya menunggu di tepi jalan sebab kembaliannya salah. Si pelayan toko memberikan kelebihan dua puluh ribu. Dan pada saat itu semuanya terjadi. Sebuah mobil melaju kencang. Entah kenapa tiba-tiba mobil kehilangan kontrol dan melaju ke arah Wini. Kamu bisa bayangkan tubuh mungil dan fragil itu dihantam mobil dengan kecepatan tinggi? Wini meninggal saat itu juga, tanpa sempat mengucapkan apapun. Tanpa sempat menatap wajah ibunya. Dia sendirian di tepi jalan.
Dan tahu tidak? Sopir mobil tadi mabuk. Dia terlalu mabuk dan tak melihat Wini yang mungil. Ya, Reza, Wini tidak mati karena kanker tapi karena kecerobohan, kebodohan, dan keegoisan. Kamu bisa mempercayainya semua ini? Aku tak bisa. Aku terlalu marah untuk mempercayainya.
Aku menyalahkan diriku sendiri. Wini ngotot minta dibelikan spidol karena dia ingin menyelesaikan kartu pos terakhirnya. Dia pernah bilang ingin menggambar langit berwarna polkadot pelangi, sesuai yang kuharapkan. Tapi dia kehabisan warna ungu. Pelangi harus menunggu demi warna ungu, katanya. Tadi setelah pemakaman Wini, Bu Ros memberikanku kartu pos terakhir itu. Tak ada warna ungu di sana. Polkadot pelangi itu kehilangan satu warna. Bagian yang seharusnya berwarna ungu itu masih berwarna kertas. Putih. Hatiku semakin remuk saat membaca tulisan di kartu pos itu.
Mbak Ruth adalah sahabat terbaikku. Bisakah Tuhan mengiriminya malaikat? Karena dia membutuhkannya.
Bisakah hatimu tetap tegar saat membacanya? Aku tidak. Aku remuk, Za. Hancur menjadi serpihan paling lembut.
Jadi berakhir sudah. Kamu tak perlu ke Indonesia. Tak ada yang bisa kamu lakukan di sini.”
Aku menatap gerimis lagi melalui jendelaku. Oh sungguh sore yang muram. Lalu angin berembus dengan lembut. Kartu pos itu bergoyang dengan pelan. Entah kenapa hatiku merasa sejuk. Seakan ada seseorang yang meniup wajahku.
“Mbak Ruth, ada tamu,” kata Riska dari balik pintu kamarku. Dia teman satu kosku.
“Ya, sebentar lagi aku keluar.” Itu pasti Santi, keponakannya Bu Ros. Dia tadi sms akan mengirimkan berkat makanan selametan tujuh harinya Wini. Aku tak bisa datang. Badanku meriang. Lebih tepatnya hatiku yang lebih parah kondisinya.
Aku berjalan menuju ruang depan. Seseorang duduk di sana. Punggungnya melengkung. Aku terpana. Dia menyadari kehadiranku dan langsung berdiri.
“Ruthie…”
Aku tak sanggup berkata-kata. Masih bergeming dalam diamku. Dia berjalan mendekatiku
“Ruthie, aku mencemaskanmu. Kamu sama sekali tidak online. Aku datang kemari hanya ingin bilang kalau tentu saja ada yang bisa kulakukan di sini. Aku ingin memastikan kalau kamu tidak hancur.”
Aku menatapnya. Berusaha mempercayai dengan apa yang aku lihat.
“Ruthie, kamu marah padaku? Memang tak ada yang bisa kulakukan untuk Wini. Dia telah tiada. Tapi aku bisa melakukan sesuatu untukmu. Menemanimu.”
Dia sudah berada limapuluh centi di depanku dan aku masih tidak percaya. Kepalaku pening, dadaku menyesak. “Reza,”gumamku. “Nyatakah kamu?” Reza tersenyum dan mendekapku. Erat sekali. Aku bisa merasakan dagingnya, aroma tubuhnya. Dia nyata. Aku menangis sejadi-jadinya. Tak bisa berhenti. Inilah tangisan pertamaku semenjak kematian Wini.
***
Akhirnya aku menghadiri selametan tujuh harinya Wini bersama Reza. Bu Ros tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepada Reza atas kehadirannya. Bu Ros terlihat lebih kurus namun matanya terlihat tegar. Sepertinya dia sudah berhasil berdamai dengan dirinya sendiri setelah berulang kali menyalahkan dirinya sendiri bahwa kematian Wini adalah kesalahannya. Bu Ros menyesali tindakannya yang membiarkan Wini seorang diri di tepi jalan.
Sepulang dari rumah Bu Ros aku mengantarkan Reza ke hotel Matari, tempat dia menginap. Dia mengundangku untuk ngobrol di lobi.
Reza tersenyum dan menyeruput cokelat panasnya. Sampai kemaripun dia tetap memesan cokelat panas.
“Jadi kapan kamu kembali ke Belanda?”
“Ah baru saja datang sudah disuruh kembali. Bosen ya lihat aku?”
“Cuma nanya apa nggak boleh?”
Reza tersenyum lalu menatap wajahku lekat-lekat. Aku menyentuh wajahku, siapa tahu ada nasi nempel di sana.
“Ternyata hidungmu lebih tinggi dari dugaanku,” katanya. Aku mendengus.
“Iya sih kalau di kamera hidungku memang kelihatan lebih pesek. Lha kamu sendiri kupikir posturmu pendek eh ternyata aku harus mendongak kalau melihatmu.” Reza tertawa. Aku tersenyum.
Lalu kami terdiam. Reza mengetuk-etuk pinggir cangkir dengan jarinya.
“Ruthie, aku harus pergi besok pagi-pagi sekali.”
Sesuatu di hatiku jatuh. Tak tahu kenapa rasanya nelangsa sekali.
“Ya aku tahu, pekerjaan menunggumu di sana.”
“Ya, kamu benar sekali. Ada pekerjaan penting menungguku. Sebenarnya temanku sudah menawarkannya sejak dua tahun yang lalu namun aku selalu mengulur-ulurnya. Hebatnya gara-gara kamu dan pertengkaran-pertengkaran kita tentang pengabdian, aku lebih sering memikirkan pekerjaan ini.”
“Kamu akan pindah kerja?”
“Ya, mulai lusa pagi aku harus sudah kerja di sana.”
“Lusa? Apa kamu bisa mengejar waktu? Belanda kan jauh.”
Reza mengerutkan keningnya, “Siapa bilang di Belanda? Aku pindah kerja di Surabaya.”
“Surabaya?” seruku. Suaraku terlalu keras sehingga resepsionis yang baru menonton tivi kabel melirikku.
“Surabaya?” Aku mengulangnya tapi kali ini dengan suara pelan.
“Aku punya teman kuliah, dia juga berasal dari Indonesia. Bedanya selepas kuliah dia kembali ke Indonesia sementara aku tidak. Lalu dia menawariku pekerjaan di Surabaya tapi aku selalu bilang ya nanti kupikirkan dan selalu begitu. Semua hal ini membuatku berpikir, perdebatan-perdebatan kita, Wini, dan kamu sendiri, Ruthie.”
“Aku?”
“Kamu salah satu alasan aku meneriwa tawaran itu. Kegigihanmu, harapanmu terhadap Wini, kartu pos itu. Aku baru sadar bahwa aku harus tinggal lebih dekat dengan seorang sahabat yang selalu menjadi inspirasiku. Aku harus tinggal pada tempat yang lebih membutuhkanku. Seperti katamu, tuaian banyak tapi pekerja sedikit.”
Aku menatapnya. Dia menatapku. “Aku tahu keputusanku tepat,” katanya mantap.
***
Setahun kemudian…
“Berhentilah tersenyum. Kamu membuatku gila,” kata Mbak Dewi kepadaku. Aku tersenyum kepadanya.
“Sudah dibilangin, ngeyel nih anak,” katanya sambil terkekeh.
“Ini kan hari terakhir aku kerja Mbak,” kataku. “Aku ingin meninggalkan kesan baik pada hari terakhir. Dan biar kalian kangen dengan senyumku suatu hari nanti.”
“Ala kamu tersenyum begitu soalnya kamu takkan lagi melihat kemarahan bos kita, kan?”
Aku terkekeh.
“Atau kamu terus tersenyum karena kamu akan segera bertemu dengan si Ehem itu, kan?”
“Namanya Reza, Mbak. Dan dia hanya sahabat.”
“Eh kamu belum tahu ya aku bisa menerawang masa depanmu?” Mbak Dewi memejamkan mata lalu berucap, ”Tiga bulan sejak hari ini aku melihat kata cinta, tiga bulan setelahnya aku melihat cincin, dan tahun depan ada undangan dikirim ke aku. Undangan pernikahanmu dengan si Ehem.” Lalu mbak Dewi membuka matanya. Aku melongo.
“Masa sih Mbak?” tanyaku serius. Mbak Dewi menatapku lekat lalu tertawa terbahak-bahak.
“Seharusnya kamu lihat wajahmu Ruth. Lucu.”
“Ih tadi cuma ngeledek aku ya?”
“Tapi kamu percaya, kan?”
“Ah ngaco,” kataku.
“Kamu percaya karena apa yang kukatakan adalah harapanmu.”
“Mbak Dewi sok tahu.”
“Masa sih? Lalu kenapa pipimu memerah kaya tomat gitu?”
Hari ini adalah hari terakhir aku bisa menikmati kota Yogya. Aku sudah resign dari kantor ini dan besok aku harus berangkat ke Surabaya. Reza dan temannya mendirikan rumah singgah untuk penderita kanker di Surabaya. Pengobatan untuk penderita kanker membutuhkan waktu lama. Rumah singgah bisa menampung pasien kanker dan pendampingnya dalam waktu lama dan biaya yang sangat murah. Mereka bahkan bisa bersekolah dan beraktivitas di rumah singgah.
Reza memintaku untuk bekerja di rumah singgah itu. Aku tak memikirkan waktu lama untuk berkata iya. Reza memasang 99 kartu pos Wina di koridor rumah singgah dan akan ada banyak lagi kartu pos untuk Tuhan dengan nama pengirim yang berbeda. Wini-Wini yang lain, yang akan tetap berjuang dan bertahan hidup.
“Katanya dari kecil kamu ingin jadi tukang pos, lalu kenapa kamu pindah profesi?” tanya Mbak Dewi.
“Aku tetap akan jadi tukang pos di sana Mbak. Hanya bedanya aku tidak mengirimkan surat. Aku mengirimkan dukungan dan semangat. Aku mengirimkan nuansa.”
“Nuansa?”
“Nuansa pengharapan.”
Mbak Dewi tersenyum, ”Aku pasti akan kangen sama kamu, Ruth.”
Pembicaraan kami terhenti saat ada seorang nenek berjalan tertatih menuju loketku. Usianya mungkin sekitar tujuh puluhan. Dia membawa surat berwarna putih. Tangannya yang penuh dengan bintik coklat mengulurkan surat itu padaku. Aku tersenyum padanya dan menerima surat itu.
Saat membaca alamat surat itu dadaku melonjak.
Kepada Yth. Tuhan di Surga
Aku membalik surat itu dan tertulis nama pengirimnya. Herdiana. S. Diakah orangnya? Aku menatapnya. Matanya bercahaya penuh makna. Ada banyak orang yang tak pernah menyerah di dunia ini. Dia salah satunya.
Wini, semoga kamu melihat wanita tua ini dari surga.
| TAMAT
Ruwi Meita, penulis novel kelahiran Yogyakarta yang telah mengadaptasi 11 skenario layar lebar ke dalam novel. Selain novel adaptasi, Ruwi Meita juga menulis 9 novel mandiri antara lain Rumah Lebah: Rahasia Wajah-Wajah Asing, The Sex On Chatting, The Apuila’s Child, Cruise Chronicle, dan lainnya. Novelnya Misteri Patung Garam telah diterjemahkan dalam bahasa Melayu di Malaysia.
Ruwi juga dikenal sebagai penulis cerpen di berbagai media seperti HAI, GADIS, KAWANKU, FEMINA, dan koran Tempo. Cerpennya Pulung Gantung berhasil menang juara satu Kompetisi Tulis Nusantara. Sementara Pemutar Aroma dan Menghidu Warna menyabet Juara 3 Sayembara Femina 2014 dan 2016.
Sejak 2013 Ruwi Meita mulai melirik dunia skenario dan menulis skenario animasi Diva Series, Uwa and Friends, dan film pendek Through Her Eyes. Film pendek Sasi Takon yang diangkat dari cerpen Ketika Sasi Bertanya karyanya diputar di Jogja Asian Film Festival 2015 dan dipanggungkan dalam pementasan Bertiga Bukan Dara di IFI Yogyakarta 7-8 Maret 2016. Impiannya adalah menulis skenario layar lebar dan menonton karyanya sendiri di bioskop sambil ngemil popcorn.