Tiga tahun lalu, Sandra Stocker (25), kehilangan bayi di dalam kandungan. Hatinya hancur, tetapi seorang kenalan di Facebook membantu dan memberinya support. Berikut penuturan perempuan asal Evanston, Australia, ini seperti dikutip dari thatslife.com.au.
Sore itu aku duduk di teras belakang rumah sambil memainkan ponsel. Ketika membuka Facebook, aku menemukan halaman “Remembering Jacob.” Halaman itu dibuat oleh perempuan bernama Janene untuk mengenang bayi laki-lakinya yang meninggal di dalam kandungan saat berusia 24 minggu.
Ini satu-satunya cara supaya aku bisa melupakan putraku, tulis Janene.
Aku ikut bersimpati pada Janene. Saat itu aku juga tengah hamil 9 minggu. Aku dan suamiku, Michael, sangat menanti-nanti kehadiran kelahiran bayi kami. Dia bakal menjadi teman bagi kakaknya, Scarlet, yang baru berusia 14 bulan.
Kami membayangkan, betapa bahagianya bisa menghabiskan waktu bersama 2 anak yang lucu dan sehat. Pergi memancing, makan bersama, bahan kelak melihat mereka menikah dan memberi kami cucu.
Lamunanku buyar ketika Scarlet tiba-tiba sudah duduk di pangkuanku. “Hey, Bunda menyayangimu..,” bisikku sambil kucium bidadari kecilku.
Janene langsung muncul di benakku ketika pemeriksaan USG menunjukkan janin di rahimku berjenis kelamin laki-laki, sama seperti bayinya.
Baca juga: Pria Ini Bekerja Keras Demi Membiayai Kuliah Kekasihnya
Oktober 2016, ketika kehamilanku memasuki usia 24 minggu, aku mengunjungi dokter kandungan untuk kontrol rutin. Rencananya, sore itu akan dilakukan pemeriksaan Doppler untuk mendengar denyut jantung bayiku.
Tetapi, denyut jantung bayiku ternyata tak terbaca dan tak terdengar. Dokter memanggil seorang staf dan seorang perawat perempuan. Saat itu aku sudah terisak, sadar bahwa anakku sudah tak ada. Michael, suamiku, mendampingiku ketika vonis datang. Bayi kami sudah meninggal.
Aku dan Michael kemudian pulang, makan malam dan berangkat tidur dengan perasaan campur aduk. Besok dokter akan melakukan tindakan untuk mengeluarkan bayiku. Di tempat tidur, aku dan Michael berpelukan tanpa berkata-kata. Kami hanya mengucapakan selamat tinggal buat bayi kami.
Di RS, sendiri, pikiranku berkecamuk. Mampukah aku menjalani proses ini sendirian? Melihat anakku lahir tanpa bersuara, tanpa bergerak?
Tiba-tiba aku ingat Janene. Di halaman Facebooknya, dia menulis: “Aku siap membantu jika kalian punya pengalaman yang sama denganku.”
Pukul 10 malam, kukirim pesan ke Janene. Kutulis: “Aku sendirian, menunggu anakku lahir. Aku ketakutan.”
Tak lama kemudian muncul balasan dari Janene, “Tunggu, 20 menit lagi aku sampai di sana”
Ketika Janene sampai di kamar perawatanku, dia memelukku erat-erat. Pelukan yang sangat hangat. Entah, baru kali ini aku bertemu dia, tetapi rasanya kami sudah sangat dekat. Dia seperti seorang ibu yang tahu apa yang tengah kurasakan.
Kami pun kemudian berbincang. Dua tahun sudah Janene kehilangan Jacob. Kulihat semangat hidupnya sudah kembali.
“Dia tampan, wajahnya terlihat sangat tenang dan damai,” kata Janene yang juga sempat menggendong bayiku.
Aku dan Michael sempat bersama Vincent, itu nama yang kami berikan untuk bayi laki-laki kami, selama 17 jam. Aku pulang ke rumah dengan perasaan hampa dan tercabik-cabik. Ranjang bayi dan stroller masih tersimpan rapi dan tak bakal digunakan oleh sang pemilik.
Janene selalu memberikan support buatku dan Michael. Ketika Vincent dimakamkan seminggu kemudian, dia memegang tangan dan memeluk kami. Entah, bagaimana kami bisa membalas kebaikannya selama ini.
Vincent akan selalu ada di hidupku. Jika orang bertanya, berapa anakku, aku menjawab dua, “Satu di bumi, satunya lagi di surga..”