Saat membereskan lemari anak, saya menemukan sebungkus pospak yang isinya nyaris utuh. Tertegun saya dibuatnya (yah, emak-emak bisa tertegun hanya karena sebungkus pospak). Saya berusaha mengingat kapan anak saya terakhir memakai pospak. Kapan ya? Saya tidak ingat. Episode itu berakhir begitu saja saat anak saya berusia dua setengah tahun, kurang lebih.
Saya pernah membaca kisah di Chicken Soup tentang kecenderungan kita untuk mengingat saat pertama dan melupakan saat terakhir. Kita ingat kapan dan bagaimana anak kita lahir dan menyusu untuk pertama kali, melangkah untuk pertama kali, pentas di depan umum pertama kali, tetapi mudah lupa atau bahkan tidak menyadari kapan dan bagaimana mereka terakhir kali memakai pospak, makan tanpa disuap, atau menangis di depan kita.
Saat-saat repot-tapi-manis perlahan berkurang lalu hilang sama sekali, seperti pencuri yang datang diam-diam dan mengambil harta yang kita anggap tidak berharga, lalu mendadak kita panik karena menyadari betapa besar nilainya.
Saya akan kasih contoh. Nyaris setiap pagi si sulung memanggil “ibu” begitu membuka mata. Ibu adalah kata pertama yang selalu ia ucapkan (kata keduanya biasanya ‘lapar’ sih). Lalu pada suatu pagi saya amati dia bangun, keluar dari kamar tidur, pipis di kamar mandi, dan setelahnya asyik bermain. Saya heran menyadari ia tak memanggil ibunya. Panggilan itu hilang. Ibu tak lagi menjadi hal terpenting baginya di pagi hari.
Panggilan itu hilang perlahan seperti hal-hal manis lain; tertawa gara-gara melihat kucing melompat, kagum pada bayangan yang bergerak, dan rebutan duduk di pangkuan ibu. Harus diakui, saat-saat itu memang ribet, tetapi bikin kangen. Apalagi seiring berkembangnya logika dan kemandirian anak, orang tua tak lagi hebat di mata mereka.
Baca juga: Bantu Anak Membangun Body Image Positif Dengan 5 Tips Berikut
Si sulung yang kini berusia 7 tahun sudah mulai minta kamar sendiri. Hah? “Kamu yakin?” tanya saya. Ia mengangguk. Ha! Sayalah yang tidak yakin. Siapa yang bakal saya uyel-uyel di malam hari, saya hirup bau keringatnya saat saya terbangun di tengah malam setengah sadar? Hedew, mak, batin saya, ini baru minta kamar terpisah loh mak, bukan mau pergi buat kuliah di luar negeri! Kenapa sudah mellow begini?
Yah, saya tahu ini bakal terjadi, anak-anak bakal sediikit demi sedikit melepaskan diri dari dekapan orang tuanya –dan itu wajar, baik malah--. Pastinya saya tidak ingin anak saya terus mencari ibunya ketika lapar.
Yap, menyadari bahwa anak kita telah melampaui ‘saat terakhir’ entah saat terakhir kali menggunakan pispot bebek atau terakhir kali dibacakan dongeng sebelum tidur justru mengingatkan saya untuk menikmati dan mensyukuri saat-saat yang saya jalani, terutama apabila saya sedang geregetan, “Ugh, minta bacain lagi? Kapan sih kamu bisa baca sendiri?”
Well, saat itu akan tiba dan pasti saya bakal merasa kehilangan. Tetapi tak mengapa, momen yang hilang bakal diganti momen lain yang mungkin lebih seru. Momen anak bermanja di pangkuan bakal berganti dengan jalan-jalan ke luar kota tanpa rempong. Momen menenangkan tangis dan mengusap dahi yang kejeduk akan berganti sesi curhat naksir lawan jenis. Terus dan terus. Jadi nikmati saja setiap detiknya dan hm, izinkan kita untuk merasa sentimental sejenak sebelum move on ke jenjang berikutnya.
Niken Terate
Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.