If you have never been hated by your child, you have never been a parent.
Bette Davis

Diet Mindset

author
Ken Terate
Sabtu, 30 Maret 2019 | 20:00 WIB
SHUTTERSTOCK |

Apa yang terlintas dalam pikiran Anda saat bercermin? Apakah, “Wow pagi ini aku cantik seperti biasa?” atau “Ya ampun siapa panda gendut itu?” Kalau yang terbersit adalah ungkapan terakhir, percayalah kamu tidak sendiri.

Saya sering merasa begitu; gendut! Padahal body mass index saya tergolong normal –yah, agak mepet ke atas sih--. Bercermin di pagi hari bisa bikin mood rusak. Apalagi kalau ingat semasa gadis (alias 10 kg yang lalu) ukuran celana saya tiga atau empat nomor lebih kecil, perut tidak berlipat, dan tak perlu tahan napas bila berfoto.

Berat badan sepertinya menjadi masalah penting (banget!) bagi perempuan. Seringkali, ketika para perempuan kumpul, topik ini terangkat secara otomatis.

“Itu baju baru, Say?” tanya A sambil mengunyah pisang molen.

“Bukaaan. Ini baju hamil gue dulu. Terpaksa gue pakai lagi. Gue gendut banget, nih,” B mendesah sambil ngemil keripik.

“Kayak gitu gendut? Terus gue disebut apa dong?” C yang merasa lebih gemuk dari keduanya tak mau kalah.

“Eh, gue nih dijadikan kasur sama anak gue. Empuk katanya. Maksudnya apa coba?” D menimpali sambil mengudap brownis.

SHUTTERSTOCK |

Buntutnya bisa begini:

“Padahal gue udah diet macem-macem lho. Sebut deh segala macam diet. Gue pernah coba. Minum slimming tea berliter-liter sampai diare pun pernah.”

“He eh, setelah punya anak, minum air putih aja kok jarum timbangan geser ke kanan ya?”

“Itu mending, gue baru mikir mau makan apa, eh udah naik satu ons.”

“Ya wajarlah, anak udah tiga, pasti berat badan naik,” seseorang berusaha menghibur diri.

“Wajar? Nia Ramadhani tuh, anaknya tiga, badannya tetap amboi kayak gitar.”

Hedeh, bikin makin nelangsa.

Baca juga: Daripada Shaming, Mending Lakukan 5 Kegiatan Seru Ini

Yah, berat badan sudah menjadi topik obrolan lumrah. Meski laki-laki meresahkan hal serupa, tekanan yang diderita perempuan cenderung lebih besar. Salahkan model-model majalah dan seleb-seleb dunia hiburan yang membentuk standar mustahil untuk menilai penampilan perempuan; kurus, tinggi, dengan lekuk yang seolah dipahat.

Tersihir ukuran-ukuran tadi, kebanyakan perempuan jadi merasa punya berat badan berlebih meski tubuh mereka amat sangat normal. Beberapa tahun lalu survey Glamour Magazine menyatakan 71 persen perempuan merasa gemuk, meski hanya 46 persen yang kelebihan berat badan. 

Permasalahannya tidak berhenti di situ. Obsesi terhadap berat badan telah menafikkan hal-hal penting lain. Jarum timbangan menjadi ukuran kebahagiaan. Celakanya, di angka berapa pun jarum itu berhenti, kebahagiaan ternyata tetap tak teraih. Rasanya masih kurang kurus.

Akibatnya, banyak perempuan terjebak perilaku yang menyiksa fisik dan emosi; diet tak sehat, ngabisin duit demi suplemen dan korset pelangsing yang tak masuk akal mahalnya, hingga operasi plastik yang sebenarnya tak perlu.

Baca juga: Curhat Mayu Soal Body Shaming: Selama Lo Gendut, Enggak Ada yang Mau!

Kenapa tak perlu? Karena ternyata yang butuh diubah lebih dulu adalah pikiran kita, bukan bokong atau pipi. Mau sekurus atau semontok apa, bila kita tak bisa menerima bentuk tubuh kita, kita tak akan pernah puas. 

Bayangkan andai semua energi itu dialihkan untuk melakukan hal-hal yang positif. Uang buat beli alat pembakar lemak dialihkan buat piknik misalnya, bisa jadi lebih happy kan?  Eh, atau enggak?

Saya tidak bilang kita tidak perlu menjaga tubuh dan penampilan. Itu tetap wajib agar kita sehat dan nyaman, tetapi sungguh deh, yang pertama harus ditata adalah mindset. Dan itu susah sekali. Gimana enggak susah kalau ketemu teman lama, eh komentar yang terlempar, “Aaakkk, selamat, kamu hamil ya?”

“Enggak.”

“Masa? Kamu yakin?”

Haduh, harga diri? Mana harga diri?

Tambahkan iklan-iklan yang menggoda, body-shaming dan penjejalan paradigma ‘perempuan cantik tuh harus begini begitu’. Tak pelak kurus (dan lebih kurus lagi) menjadi tujuan hidup. Siapa yang bisa mengubah pandangan keliru itu? Ya, perempuan itu sendiri. Susah? Memang. Sesusah menahan diri dari godaan cheesecake dan tahu isi. 

 

Niken Terate

kenterate@gmail.com

Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.

 

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi