For me, motherhood is learning about the strengths I didn’t know I had, and dealing with the fears I didn’t know existed.
Halle Berry

Mengubah Cara Pandang

author
Ken Terate
Sabtu, 6 April 2019 | 08:00 WIB
shutterstock |

“Sekarang makin cari uang makin susah,” kata sopir taksi online –taksol-- yang siang itu mengantar saya. Ia mengeluh pendapatannya menurun dibanding saat ia menjadi sopir taksi konvensional. Dihitung-hitung ia justru rugi setelah (dipaksa keadaan) bergabung dengan aplikasi taksol. Nadanya yang penuh kegetiran sekaligus amarah membuat saya memilih tak berkomentar dan hanya mengangguk sambil berkata, “Oh, gitu ya, Pak?” Rasa getirnya menular.

“Senang deh Mbak, sekarang apa-apa mudah. Asal punya SIM, lulusan SMA bisa cari duit. Bandingkan dengan saat saya muda dulu. Punya motor dibelikan ortu, eh bensinnya minta ortu juga. Malu,” kata sopir taksol lain. Bapak itu sudah sepuh, tetapi bersemangat tinggi. Nadanya yang ceria dan optimistis membuat saya ikut bahagia.

“Semua tergantung kita. Mau taksi konvensional, mau online asal kita rajin rezeki pasti banyak,” kata sopir yang lain lagi. 

Saya merenungkan reaksi ketiga sopir itu. Keadaan yang sama pon ternyata bisa direspon berbeda oleh orang yang berbeda. Peristiwanya sama: kedatangan teknologi aplikasi transportasi. Yang pertama memandangnya sebagai ancaman dan bahaya, yang kedua menganggapnya sebagai berkah dan peluang, sementara yang ketiga memandangnya dengan netral dan normatif. 

Baca juga: 5 Tips Redam Emosi di Depan Anak

Alangkah persisnya dengan apa yang kita hadapi sehari-hari sebagai perempuan. Kehadiran bayi yang membuat seorang ibu bahagia, ternyata bisa jadi membuat ibu yang lain depresi entah karena bayi itu tidak diinginkan atau karena si ibu menderita baby blues pasca melahirkan.

Jangankan pada orang lain, pada orang sama pun suatu peristiwa yang sama bisa menimbulkan reaksi berlainan bila terjadi di waktu berbeda. Coba kamu ingat-ingat. Pernahkan si kecil menumpahkan makanan? Pasti pernah kan? Lebih dari satu kali bahkan. Kadang kita tersenyum sambil berkata, “Ah, anak ibu, belajar makan sendiri ya?” Lain kali kita cuma ambil lap dan membersihkannya. Tetapi suatu saat, sepotong brokoli yang jatuh bisa membuat emosi kita naik ke ubun-ubun.

Marah dan sedih itu enggak enak, tetapi wajar dan normal, bahkan berguna. Emosi-emosi negatif bagaikan alarm yang menyala saat ada sesuatu yang salah. Alangkah bahayanya bila alarm itu tidak ada, kita abaikan atau malah kita matikan. Jangan padamkan alarmnya, padamkan apinya.

Kenali api itu dan sumbernya. Saya lebih gampang marah bila dikejar tenggat pekerjaan atau yup, pas lapar. Dengan mengenali kelemahan ini, saya bisa mencari cara agar amarah (kalau pun muncul) tak bakal meledak dan menyakiti diri saya sendiri atau orang-orang yang saya cintai.

Baca juga: Diet Mindset

Misalnya, dengan meminta suami untuk mengasuh anak agar saya bisa makan dengan tenang. Mengenai tenggat pekerjaan, saya harus menghitung betul agar saya tak kewalahan. Saat tenggat begitu mendesak dan tak bisa ditawar, saya akan meminta bantuan keluarga untuk menjaga anak-anak agar saya bisa menyelesaikan pekerjaan dengan tenang.

Latar belakang kita juga menentukan reaksi kita terhadap suatu masalah. Sopir taksol pertama tadi merasa getir karena dulunya ia adalah sopir taksi konvensional yang merasa ladangnya diserobot. Sementara si sopir kedua merasa bahagia karena dulu pernah merasakan sulitnya mendapat pekerjaan saat teknologi belum maju.

Tapi kita tak dapat mengubah masa lalu bukan? Sama halnya kita juga tak bisa mengubah keadaan. Mau diapa-apakan balita suka loncat-loncat dan lari-lari. Itu merupakan fitrah mereka. Menyuruh mereka berhenti lari atau lompat-lompat sama saja menyuruh mereka menahan napas.

Kita tak dapat mengubahnya, tetapi dengan belajar kita menjadi tahu bahwa itu adalah proses tumbuh kembang mereka yang alamiah dan baik. Akhirnya alih-alih marah saat melihat anak-anak berlarian di rumah, kita bisa mengambil sikap, “Yuk lari-lari di lapangan.”

Yup, kita tak bisa mengubah situasi, tetapi kita selalu bisa memilih cara kita menghadapinya.

 

 

Niken Terate

kenterate@gmail.com

Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.

 

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi