Kasus bullying dan penganiayaan terhadap Audrey memunculkan pertanyaan, “Kenapa, sih anak zaman sekarang lebih mengerikan ekspresinya dibandingkan anak-anak generasi sebelumnya?”
“Karena situasi. Sekarang ini fungsi pendidikan diambil alih oleh internet seperti Youtube. Padahal, tidak semua konten Youtube menanamkan nilai-nilai yang benar. Film dan game juga begitu. Game sekarang, kan bukan lagi tembak-tembakan, tetapi sudah bacok-bacokan, tusuk, penggal, dan sebagainya. Sementara anak-anak generasi sebelumnya mainnya Mario Bros atau Donkey Kong,” kata Hanlie Muliani, M.Psi., Psikolog Anak, Remaja dan Pendidikan, Bullying Prevention Consultant dan Founder of SOA (Sahabat Orangtua & Anak) ini.
Media sosial juga berpengaruh terhadap nilai-nilai dan perilaku yang dianut anak-anak sekarang. Instagram dan Facebook misalnya, ikut mempengaruhi value dan cara berpikir anak. Ini yang membedakan generasi sekarang dengan generasi sebelumnya sehingga ekspresi generasi sekarang lebih ‘wow!’
Baca juga: Iri Hati, Faktor Penyebab Utama Bullying Pontianak?
Media sosial kini menjadi satu bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Namun, di sisi lain, media sosial juga menumbuhkan satu gejala psikologis baru yaitu iri hati.
“Efek terbesar yang dihasilkan medsos adalah iri hati dan fear of missing out alias takut ketinggalan atau kehilangan. Iri hati melihat orang lain dan merasa orang lain lebih indah. Muncul self doubt, ‘Duh, hidupku, kok begini-begini aja, ya.’ Orangtua harus mengedukasi anak mengenai penggunaan medsos, misalnya think first before click, before comment, before post.
Tapi bukan berarti orangtua dari anak-anak yang melakukan bullying tidak benar pola asuhnya. “Anak seusia para tersangka pelaku di Pontianak sudah dipengaruhi oleh lingkungan juga. Dan kalau soal iri hati, sebetulnya siapa pun bisa merasa iri. Tapi kalau ekspresi dari iri hatinya sudah sekejam itu, menarik untuk mengetahui apa yang ada di pikiran mereka,” lanjut Hanlie.
1.Perhatikan konten tontonan dan permainan anak. Bermain adalah belajar, jadi bermain yang baik berarti belajar yang baik. Bermain yang buruk, berarti belajar hal-hal buruk juga.
2.Orangtua sedini mungkin melatih anak untuk memiliki empati, bisa merasakan apa yang orang lain rasakan. Ajak anak untuk menerima dirinya dan orang lain apa adanya. “Ajarkan pada anak bahwa setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing dan menerima bahwa setiap orang itu berbeda dan perbedaan itu fine, baik-baik saja, kok,” kata Hanlie.
3.Bantu anak agar cerdas secara emosi. Artinya, anak menyadari emosinya. Emosi nggak ada yang salah tetapi bagaimana mengelola dan mengekspresikan emosi itu yang akhirnya menentukan seseorang cerdas atau tidak cerdas secara emosi.