Lalan
Lalan tersenyum lebar saat Andaru menghentikan mobil di depan apartemennya. “Trims Ru. Tadi menyenangkan sekali. Ibumu luar biasa.”
Andaru menggeleng, “Jangan terlalu senang.Ibuku perempuan Jawa tulen. Dia nggak mungkin menunjukkan ketidaksukaannya terang-terangan.”
Lalan menghela napas. “Ugh! Pernah nggak sih terpikir olehmu bahwa ibumu benar-benar suka padaku? Tadi ia membagikan rahasia resep putu ayu buatannya. Padahal katanya itu resep rahasia! Terbukti, kan, aku memang calon menantu idaman.” Senyum Lalan terbentang dari tepi ke tepi. “Aku kaget, lho sebenarnya. Aku nggak pernah disukai oleh ibu pacar-pacarku yang dulu. Ada sih yang bisa menerimaku –kebetulan dia agak pikun--, tetapi kebanyakan langsung menendangku di pertemuan pertama. Ingin menendang maksudku.”
Gantian Ndaru menghela napas. Dia tahu Lalan punya sederet pacar sebelum dirinya –baik yang resmi atau tidak. Ia tak pernah mempermasalahkan itu. Malah diam-diam ia bersyukur; perempuan yang begitu cantik dan populer ini mau jadi kekasihnya selama dua tahun terakhir.
“ Tetapi ibumu berbeda. Dia punya pikiran terbuka. Aku nggak ngerti kenapa kamu nggak mengenalkan kami dari dulu. By the way, mau mampir?” Lalan mengerling.
“Kamu belum benar-benar mengenal ibuku, Lan. Aku mampir lain kali ya. Malam ini aku agak lelah.”
“Itu karena kamu mencemaskan hal-hal yang nggak perlu. Oke, night-night honey.” Lalan menjulurkan badan, mencium kekasihnya sejenak sebelum membuka pintu dan melambaikan tangan.
Baca juga: 6 Tanda Si Dia Bukan Orang Yang Tepat Buatmu
“Hai gimana pertemuan dengan ibu mertua? Lo janji mau cerita.”
“Ya ampun, Nek, gue baru masuk apartemen, belum juga minum.” Lalan menempelkan handphone di telinganya. Dea, sahabatnya, menelepon begitu Lalan menutup pintu.
“Ya udin, minum dulu gih. Bir bintang?”
“Infused water. Ih, julid banget sih, lo.” Lalan meletakkan tas dan menuju pantry.
“Yah, pertemuan dengan camer bisa bikin stress. Gue selalu stress kalau mau ketemuan sama camer. Gue akhirnya nikah sama Aldo karena dia yatim piatu.”
“Hush, De!”
“Serius. Gue lega lo masih hidup. Baguslah.”
Lalan membuka kulkas, mengambil botol berisi air dan irisan buah yang sudah dia diamkan sejak tadi pagi. “Hah, gue nggak ngerti apa yang dicemaskan Ndaru. Nyokapnya ramah banget, lembut gitu, beneran kayak putri Solo. Heran deh, Ndaru jarang cerita tentang nyokapnya. Baru kali ini Ndaru ngajak gue ke rumahnya, setelah pacaran dua tahun! Itu juga karena kami berencana mau married. Kalau nggak gue rasa dia nggak bakal pernah ngajak gue ke sana. Ndaru bilang nyokapnya old school , kaku, rasis, sok priyayi, semacam itulah. Tetapi sumpah, kurasa dia nggak begitu. Waktu dia tahu aku Batak, dia kelihatan… amazed. Dia tertarik banget dan memintaku cerita adat istiadat Batak, yang terus terang gue nggak ngerti apa-apa, haha. Tetapi gue rasa sih, semua lancar. Gue yakin dia bakal merestui kami.”
“Hm, semoga dia nggak cuma manis di depan aja yak. Terus terang gue ngeri kalau dengar cerita-cerita tentang mertua. Gue pikir seleksi calon mertua lebih penting dibanding seleksi calon suami.”
“Ah, lebai deh.”
“Serius. Sepupu gue tuh contohnya. Mertuanya baik banget, tapi saking baiknya jadi nyebelin.”
“Baik tapi nyebelin?” Lalan duduk di sofa, meneguk infused water.
“Iya, dia manjain banget anak laki-lakinya. Suka kirim makanan. Rumah mereka kan agak deket gitu. Awalnya sih sepupuku happy, tapi lama-lama jadi risih karena si suami jadi sering makan di rumah ortunya dan jarang makan di rumah sendiri.”
“Haha, gue bakal bahagia banget deh kalau ibu mertua gue jadi koki andalan. Lo kan tau gue nggak bisa masak.”
“Ih nyebelin lagi. Sepupu gue juga nggak demen masak, tetapi kan kesel juga kalau nggak pernah makan bareng sama suami. Apalagi kalau dia udah capek-capek masak, eh dicicipin aja nggak.”
“Dia harusnya ikutan dong makan di rumah mertua,” Lalan tertawa. “Gue sih nggak keberatan.”
“Ya nggak bisa gitu juga. Sepupuku itu nggak doyan masakan mertuanya. Mereka hobi banget gitu masak-masakan eksotis; oseng mercon, tumis usus. Aduh.”
Ampun deh, kenapa kayak gitu juga mesti diributin sih? Batin Lalan. Ia yakin bukan masalah baginya Andaru makan apa bareng siapa.
“Sorry, Say, bukannya mau nakut-nakutin. Mertua yang awalnya baik bisa aja nyebelin di belakang, apalagi yang udah jelas-jelas dinyatakan otoriter oleh anaknya sendiri.”
“Ndaru melebih-lebihkan. Gue banyak ngobrol sama nyokapnya tadi. Menurut gue, Ibunya benar-benar cool dan open minded.”
“Ya itu baru ketemu dia sekali, sementara Ndaru udah tiga puluh tahun lebih jadi anaknya. By the way, gue curiga nyokapnya Ndaru baik karena nggak lihat tato lo.”
“Ha, gue justru sengaja memakai baju kerah rendah biar tato gue kelihatan. You know me-lah. Gue nggak bisa berpura-pura.”
“Oh, my God!”
“No problems. Dia justru bertanya mengapa gue pilih gambar lumba-lumba.”
“Terus lo cerita periode nggembel lo di Hawaii?”
“Ya jelaslah. Wah matanya sampai terbelalak gitu. Dia nggak nyangka ada cewek yang berani…”
“Tuhan. Setelah ini gue harus berdoa buat keselamatan lo.”
“Aduh, sudah kubilang dia nyantai banget. Percaya deh, kami bakal jadi pasangan mertua-menantu yang supercool sampai jadi in-laws goals di IG .”
“Amin.”
Yayuk
Astaga! Yayuk mengempaskan tubuhnya ke kursi besar berukir. Jantungnya berlompatan. Keringat dingin membanjir meski AC sudah disetel maksimal. Seluruh tubuhnya gemetaran. Apakah aku terkena serangan jantung? Pikirnya was-was. Kalau iya, berarti Andarulah yang membunuhnya. Edan, anakku sendiri mau membunuhku!
Apa sih yang ia pikirkan? Membawa cewek Batak! Batak! Astaga, kayak gadis baik-baik dari Solo sudah habis. Gadis Jogja atau Sunda masih bisa ditoleransi. Tetapi Batak? Kenapa anak itu gemar sekali membuatnya jantungan?
Baca juga: 7 Tantangan Yang Dihadapi Pasangan Milenial
Seingat Yayuk, Ndaru pernah memperkenalkan dua perempuan padanya. Yang pertama waktu kuliah, cewek Betawi! Betawi! Tertawanya ngablak seolah seluruh bumi hendak ia telan. Yang kedua, tak lama setelah Ndaru wisuda, ia memperkenalkan cewek keturunan Tionghoa. Mata Yayuk nyaris melotot begitu melihat mata gadis itu, yang tampaknya terpejam setiap saat.
“Kau ingin aku dikremasi saat aku mati, hah?” Yayuk menyerang Ndaru.
Andaru tidak menjawab dan Yayuk merasa anaknya itu pasti mengakui kebenaran ucapannya. Kini ia merasa dikhianati habis-habisan. Setelah bertahun-tahun tak membawa teman perempuan ke rumah, yang ia perkenalkan justru cewek tak bermoral!
Awalnya Yayuk tidak mencurigai apa pun. Perempuan itu lumayan cantik –lumayan saja. Rahangya terlalu lebar dan dagunya datar. Tetapi dia tidak jelek. Murah senyum dan lumayan ramah. Tapi masalahnya, dia bertato! Yayuk nyaris pingsan dibuatnya. Tato di dada kiri atas itu begitu kentara dan menyita seluruh perhatian Yayuk hingga yang semua hal lain terlupakan olehnya.
Yayuk menahan diri mati-matian untuk tidak berkhotbah soal menjijikkannya tato di tubuh laki-laki, apalagi perempuan. Perempuan macam apa yang menato dirinya? Yayuk berusaha tersenyum meski bibirnya gemetar, “Masuk, nak, siapa tadi namamu?”
“Lalan, Bu.” Gadis itu tersenyum. Suaranya terlalu ngebas, Yayuk membuat catatan, mirip laki-laki.
“Lalan,” Yayuk mengucapkan nama yang terasa aneh itu. Kira-kira siapa nama aslinya? Wulan? “Silakan, nak. Aku sudah membuat teh hangat dan putu ayu. Ini putu ayu spesial buatanku sendiri loh.”
Dan cewek itu menghabiskan lima biji! Yayuk memang terus menerus menyodorkannya, tapi bukan berarti ia harus memakan sebanyak itu, kan? Lima biji! Rakus dan tak punya malu.
Sejak dulu setiap kali Prabandari dan Andaru mengatakan akan membawa teman ke rumah –laki-laki atau perempuan—Yayuk selalu berusaha menyuguhkan penganan buatannya; semar mendem, carang gesing, combro, klepon, atau cemplon. Yayuk menikmati membuat penganan-penganan itu dan terutama pujian yang diterimanya. Khusus untuk sore ini, ia membuat putu ayu andalannya, menggunakan resep ibu mertuanya. Ah, ia ingat ibu mertuanya selalu menekankan kesempurnaan. Yayuk harus mencoba berkali-kali sebelum ibu mertuanya mengatakan rasanya sudah pas. Putu ayu buatan Yayuk dinyatakan ‘layak’ pada pembuatan ke tujuh dan setelah itu ia tak pernah gagal lagi.
“Jadi namamu Lalan? Siapa nama panjangmu? Wulan?” Yayuk tak bisa menahan penasaran. Gadis-gadis Jawa biasanya dipanggil Nining (dari Setyaningsih) atau Nanik (dari Suryani), Ninuk (Nugrahawati), atau Yayuk (Rahayu, seperti dirinya), tapi Lalan?
“Hahaha, itu keisengan teman-teman. Nama saya Marisa Nainggolan. Tapi Marisa terlalu manis, kata mereka, nggak cocok untuk saya.”
Hah, itu benar, batin Yayuk.
“Jadi mereka menggil saya Golan, lalu kemudian Lalan.”
Yayuk nyaris tersedak teh nasgitel yang ia seruput dari cangkir porselen, “Uhuk. Nainggolan, jadi kamu ini…”
“Batak. Ayah ibu saya Batak semua.”
Gusti, paring kawelasan, Yayuk memelas dalam hati. Diliriknya Andaru yang duduk tenang sembari mengunyah sosis solo seolah-olah ini bukan masalah baginya.
“Batak… ya… ya…” Yayuk masih kaget. Diletakkannya cangkir buru-buru. “Jadi ayah ibumu tinggal di…”
“Medan,” gadis itu menukas cepat, sambil mengunyah putu ayu. Benar-benar tak sopan. Ia tak pernah membiarkanku menyelesaikan kalimat.
“Begitu ya. Kamu tinggal sama siapa di sini?”
“Sendiri. Saya punya apartemen di Kalibata.”
Huh sombongnya. “Kenapa di apartemen? Kita tak bisa menanam anggrek di apartemen.”
“Sebenarnya bisa kalau cuma anggrek. Pohon jeruk pun bisa. Pokoknya asal bukan pohon kelapa haha.”
“Yah, lihat saja anggrek-anggrekku di belakang dan kau bisa menilai apakah kebun anggrek semacam itu bisa tumbuh di apartemen.” Yayuk mulai panas. “Jadi kamu tinggal sama siapa di apartemen? Kakak? Atau paman bibi?”
“Saya tinggal sendiri.”
“Sendiri?” Perempuan macam apa yang tinggal SENDIRI? Yayuk tahu di masa kini banyak perempuan-perempuan yang tinggal sendiri, merasa gagah karena mandiri, tetapi Yayuk berani bertaruh mereka pasti kehilangan moralitas. Betapa mudah menyelundupkan–atau membawa pulang terang-terangan— laki-laki. Itu sudah jelas. Kelakuan tak pantas lainnya tentu masih banyak.
“Ya, sudah sejak kuliah saya tinggal sendiri. Awalnya saya menyewa rumah petak bersama teman-teman, tapi setelah bekerja saya pikir lebih nyaman tinggal sendiri.”
“Jadi kamu kerja? Kerja apa?”
“Saya melukis.”
Kali ini Yayuk tak hanya tersedak, tapi juga nyaris terjengkang. Ia tak pernah bekerja mencari uang sepanjang hidupnya. Ia menyematkan predikat ibu rumah tangga dengan bangga. Memang banyak perempuan bekerja, ia tahu. Ia tak keberatan dengan itu. Prabandari anak sulungnya juga bekerja. Tetapi Praba dokter. Itu pekerjaan yang mulia, bergengsi, dan berpenghasilan besar. Lain dengan melukis. Yayuk mengganggap itu bukan pekerjaan yang pantas bagi perempuan.
“Apa kamu sibuk?” Yayuk menahan diri sebisa-bisanya, meski benaknya berpusing. Bagaimana Ndaru bisa setolol ini? Ia tak saja memilih perempuan yang berbeda suku, tetapi juga punya tato dan melukis.
Gadis itu tertawa kecil, “Jam kerja saya tidak pasti. Kadang sibuk, kadang juga tidak.”
Jam kerja tak pasti. Aduh, perempuan ini benar-benar bencana. Ndaru bakal tak terurus bila menikah dengannya. Yayuk melirik Ndaru, yang memandang perempuan di hadapannya dengan pandangan mendamba, seperti anak kecil memandang mainan di etalase toko. Gawat!
BERSAMBUNG|
Niken Terate
Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.