Yayuk
“Berani-beraninya kau bawa perempuan kayak gitu ke rumah ini.” Yayuk mengatupkan bibir. Geliginya gemeretak. Jam sepuluh malam. Sudah dua jam lebih Yayuk menunggu Andaru. Kenapa lama sekali? Gadis itu tinggal sendiri. Pasti ia mengundang Andaru untuk singgah dan…. Yayuk sangat cemas. Ndaru kadang pulang larut. Ia harus melembur kerjaan di kampus. Astaga, apakah selama ini sebenarnya Ndaru singgah di rumah gadis gatal itu?
“Perempuan macam apa?” Andaru melepas sepatunya santai.
“Kamu tahulah!” Kenapa Ndaru masih saja berpura-pura bego?
“Aku tidak tahu. Yang aku tahu Lalan baik, cerdas, dan aku mencintainya.”
Cinta! Kurang ajar! Tak pernah kata-kata ‘saru’ itu terlontar di rumah ini. Yayuk dan almarhum suaminya tak pernah mengumbar kata-kata vulgar semacam itu. Praba dan Ndaru juga tak pernah, sampai ia bergaul dengan gembel asusila itu. Ini pasti pengaruh buruknya.
Ndaru melangkah ke kamar mandi.
“Dia Batak, Ru.”
Ndaru mengangguk, “Lalu kenapa? Dia manusia. Tuhan menciptakan manusia bersuku-suku.”
“Orang Batak makan anjing.”
“Lalan tidak. Dia vegetarian. Tapi apa yang ia makan tak jadi pertimbanganku.”
“Veteran apa?”
“Vegetarian, tidak makan daging.” Ndaru menutup pintu kamar mandi. Terdengar suara air mengalir. Yayuk mendesah. Ia tahu Ndaru tak suka berdebat. Ia juga tidak. Tetapi kali ini kalau harus berdebat sampai berdarah, ia akan melakukannya.
“Dia tatoan.” Yayuk menyerang lagi begitu Ndaru keluar dari kamar mandi.
“Terus kenapa?”
“Dia pelukis. Mereka itu tak punya aturan kan? Memuja kebebasan sampai kebablasan.”
“Aku yang pacaran sama dia. Ibu nggak perlu ikut kalau tak suka.” Ndaru menghanduki mukanya.
Yayuk kehilangan kata. Ia tahu ia harus mengubah strategi.
“Ru, masih ada pekerjaan lain yang layak untuk perempuan,” Yayuk melembutkan suaranya. “Dokter atau guru.”
“Lilian dokter, tapi ibu juga tak suka padanya.” Andaru menyebut-nyebut mantan pacarnya.
“Dia China. Ah, sudahlah. Kan ada perempuan Jawa yang dokter. Kayak Dewi.”
Bertahun-tahun lalu Yayuk mengatur siasat agar Ndaru bertemu dengan Dewi, kerabat jauh mereka di Solo. Dewi baru saja lulus kuliah dan tengah menjalani co-as. Pertemuan itu berjalan lancar. Mereka berdua tampak nyaman satu sama lain, tetapi Yayuk kecewa hubungan itu tak berlanjut ke pelaminan. Hubungan dekat saja tidak.
“Dewi sudah menikah.”
“Karena kamu dulu tak menyambar kesempatan. Sekarang sudah terlambat. Suaminya guru SD. Aduh orangtuanya pasti sangat menyesal. Bayangkan, dokter seperti dia berjodoh dengan guru SD.”
“Dewi tak punya perasaan khusus padaku. Aku juga tak punya perasaan apa-apa untuknya.”
“Tapi kenapa? Dia sempurna. Bapaknya Dewi itu dekan di kampus. Dan ibunya Dewi punya perusahaan batik kondang.”
Andaru menghela napas. “Kenapa kita membahas Dewi? Setahuku dia bahagia.”
“Dari mana kamu tahu?”
“Kami berteman di Instagram.”
Hah, pusing kepala Yayuk. Anak-anak muda ini. Mereka selalu memelototi gawai mereka dan berteman di … di… apa tadi? Isragam?
“Pokoknya, aku tak rela kamu menikah dengan perempuan tadi.”
“Namanya Lalan.”
“Percayalah Ndaru, ia bukan perempuan yang baik untukmu. Dia tak akan menjadi istri yang baik.”
“Tidak apa-apa. Aku tidak mencari istri yang baik. Aku sendiri bukan pria yang baik.” Ndaru melangkah ke kamar, masih membawa handuk. Yayuk menyambarnya. Ndaru suka meninggalkan handuk di kamar dan itu membuatnya jengkel.
“Apa-apaan kamu. Tentu saja kamu pria yang baik. Kami membesarkanmu dengan sangat baik. Kamu sarjana hukum, dosen terpandang. Perempuan mana pun akan beruntung mendapatkanmu. Jangan sia-siakan hidupmu, Nak.”
“Aku tidak akan menyia-nyiakan hidupku karena aku akan menghabiskannya bersama Lalan.”
Yayuk melongo.
“Kamu … kamu… kamu tidak serius, kan?”
“Sangat. Aku sudah membeli cincin untuk melamarnya. Ibu boleh ikut aku ke Medan bulan depan. Tidak ikut juga tidak apa-apa.”
Yayuk terkesiap. “Tidak, tidak akan. Selamanya aku tidak akan merestui kalian, Ru. Dengar, ibu, ini demi kebaikanmu, Ru.”
Ndaru menggeleng, berjalan ke kamarnya. Yayuk kalap. Ia berteriak histeris. “Jangan kualat kamu. Aku bersumpah kau tidak akan bahagia bila menentangku.”
Blam! Anak itu menutup pintu kamar. Tak ada tanda rasa bersalah di wajahnya.
“Ndaru, buka!” Bruk, bruk, bruk. Yayuk menghantami pintu.
“Ndaru, tega kau padaku. Kamu mau ibumu mati?” Yayuk kini tersedu-sedu, menghiba-hiba. Dan ia sadari, ia tidak sedang berpura-pura. “Cuma kamu harapanku. Kau tahu aku hanya menginginkan yang terbaik untukmu.”
Yayuk menempelkan telinga di pintu, mencoba mendengarkan suara sekecil apa pun. Tidak ada. Sialan. Nyaris setengah jam Yayuk membentak, memaki, menghiba, memohon, mengancam di depan pintu, tapi tak secercah pun pun pintu itu membuka. Ketika Yayuk menempelkan telinga lagi, samar-samar terdengar dengkur halus. Sialan
Yayuk tahu ia sudah nyaris kalah. Tapi baru nyaris. Masih banyak jurus yang bisa ia lancarkan.
Lalan
Cincin itu sederhana namun indah, platina dihiasi zamrud mungil hijau cemerlang. “Yang ini ramah lingkungan, legal, dan tidak memperkerjakan buruh anak,” kata Ndaru sambil memasang cincin itu. Ndaru memilih café favorit mereka di bilangan Kemang untuk ‘melamar beneran’.
Lalan melambung bahagia. Mereka berciuman singkat sebelum Ndaru mundur, mengelus rambutnya dan berkata lembut, “Lalan, yakin kamu mau menjadi istriku?”
Lalan mengangguk, “Tanpa keraguan.”
Tetapi pagi ini keraguan menyeruak. Lamaran intim dua minggu lalu terasa seperti bayangan buram. Lalan memutar-mutar cincin di jari manisnya, memastikan lamaran itu bukan mimpi.
Ibu Ndaru masuk rumah sakit tadi malam, pingsan karena tekanan darahnya begitu tinggi. Padahal Ndaru sudah memesan tiket ke Medan untuk bertandang ke rumah orangtuanya minggu depan.
“Apa sebaiknya kita tunda, sampai ibu sembuh?” Lalan menggigit bibir. Ia tekan handphone ke telinganya. Matanya menatap apartemen studionya dengan sendu, memandang lukisan laki-laki kurus mirip John Lennon tanpa kacamata. Ia masih heran bagaimana ia bisa jatuh cinta pada laki-laki semacam itu; yang serius, pendiam, dan bekerja sebagai dosen fakultas hukum! Teman-temannya mengira ia bercanda. Yang lain menatapnya prihatin, “Jangan mempermainkan laki-laki semacam itu. Lo bisa kualat. Dia cowok baik-baik.”
“Tapi gue nggak main-main,” Lalan menjawab tegas. Hubungan mereka sudah berjalan dua tahun, hubungan terlama yang pernah dijalinnya. Mereka mulai membicarakan pernikahan dan anehnya Lalan merasa itu natural sekali meski ia tak pernah ingin menikah sebelumnya. Ia punya banyak alasan untuk tidak menginginkan pernikahan, mulai dari ogah terikat sampai malas punya anak, tetapi Ndaru merontokkan semua keengganannya.
Mereka bertemu saat Lalan menggelar pameran bersama perupa lain. Ndaru mengamati lukisan Lalan dengan intens hingga Lalan penasaran. Penggemarnya kebanyakan perempuan sosialita. Lukisannya biasanya bertema sederhana, tak menyampaikan pesan atau kritik apa pun. Lebih bersifat dekoratif dan ‘fun’. Ia menggambar perempuan berdandan, anak-anak meniup gelembung sabun, pohon apel, atau gerombolan angsa. Jarang ada laki-laki yang tertarik, tetapi laki-laki itu berbeda. Lalan mendekatinya dan tak menyangka dunianya bakal jungkir balik setelah itu.
“Kamu yang melukisnya?” Matanya laki-laki itu berbinar takjub seolah Lalan bilang ia menyihir lukisan itu dari debu. Mereka ngobrol panjang sambil berkeliling galeri. Di satu titik laki-laki itu bilang andai ia dilahirkan kembali, ia mungkin bakal memilih menjadi perupa atau guru yoga atau pemandu wisata, tapi yang terutama, menjadi perupa.
“Aku ingin membeli lukisanmu. Aku belum pernah punya lukisan sebelumnya dan ini akan jadi tonggak sejarah bagiku,” katanya ketika mereka sampai di lukisan itu lagi.
Lalan tersekat. Lukisan anak-anak bermain itu dibanderol cukup mahal oleh galeri. Laki-laki ini mengenakan baju, sepatu, dan jam tangan yang lumayan mahal, tetapi tak cukup mahal untuk memasukkannya ke dalam golongan pembeli lukisan.
“Eh, mmmm…. galeri yang mengurusi penjualannya, tetapi begini saja, aku akan bilang pada mereka aku tak jadi menjual lukisan ini dan kita bisa bertransaksi di luar dengan harga lebih murah. Galeri ini mengutip komisi yang lumayan tinggi.”
“Ah, aku tidak ingin kamu mendapat kesulitan dengan galeri.”
Lalan tersenyum, “Tidak akan. Aku sudah menjual dua lukisan dalam pameran ini dan sebelumnya aku juga menjual beberapa. Mereka mencintaiku dan pemiliknya adalah temanku. Berapa nomormu? Aku akan mengatur pengirimannya.” Lalan tak peduli bahkan bila laki-laki ini tak membayar.
Sebenarnya Lalanlah yang ‘melamar’ Ndaru. Suatu malam setelah mereka makan malam di apartemennya dan Ndaru sedang mencuci piring, Lalan berkata, “Ru, apakah orang menikah itu seperti ini?”
“Seperti apa?”
“Masak bersama, makan bersama, lalu membereskan dapur bersama?”
“Kurasa dan mereka juga tidur bersama.”
“Kedengarannya menyenangkan, bukan begitu?”
Seketika Ndaru meletakkan piring yang tengah dibilasnya, “Ya, tentu saja. Asal bersamamu, semua menyenangkan, Lan. Apakah sebaiknya kita menikah?”
“Tentu saja,” Lalan memeluk laki-laki itu. Entah ke mana perginya sikap apatisnya soal pernikahan. Apakah apatisme itu pergi karena akhirnya ia bertemu laki-laki yang menerima dirinya sepenuhnya? Menghormatinya sekaligus membebaskannya? Lalan tak tahu. Yang ia tahu ia hanya ingin bersama Ndaru, memiliki laki-laki itu. Ia ingin disambut laki-laki itu saat ia pulang, mengobrol bersamanya di tengah malam atau ngopi berdua di pagi hari.
Ndaru mengecup dahinya dan mendesah, “Aku ingin menikah denganmu besok kalau bisa.”
“Kenapa tidak? Kau tahu aku tak butuh pesta dan gaun desainer. Panggil penghulu dan pasang pengumuman di Instragram cukup bagiku.”
“Tapi kau harus tahu satu hal, Lan.”
“Apa?”
“Ibuku. Dia…” Ndaru bersandar di lemari dapur, mengetuk-ngetukkan jari. “Dia sulit.”
“Sulit bagaimana?”
“Dia tak bakal menyetujuimu, atau bahkan menyukaimu.”
Lalan menciut seketika. Ndaru tak banyak bercerita soal ibunya, kecuali bahwa ia berjuang keras untuk membiayai pendidikan Ndaru dan kakaknya setelah ayah mereka tiada waktu Ndaru masih SMA.
“Tapi jangan khawatir, kita akan tetap menikah, dengan atau tanpa restunya. Weekend ini kuajak kamu ke rumahku.”
BERSAMBUNG