You have a lifetime to work, but children are only young once.
Polish Proverb

Cerita Bersambung: Mertua Untuk Lalan (part 3)

author
Ken Terate
Senin, 6 Mei 2019 | 19:00 WIB
kanya.id |

Yayuk

Yayuk sadar ia sudah kalah. Ndaru akan tetap berangkat ke Medan menemui orangtua gadis brengsek itu, bahkan bila ia sekarat di ranjang rumah sakit ini. Anak kesayangan yang ia persiapkan menjadi putra mahkota kini sudah menjadi anak durhaka karena hasutan iblis bertato itu.

            “Saya minta pulang, Dok!”

            Dokter itu memandangnya tanpa ekspresi, “Saya sudah mengizinkan ibu pulang sejak dua hari yang lalu. Silakan saja.”

            Yayuk merengut, dokter muda itu sungguh menjengkelkan.

            “Jangan lupa minum obatnya. Jangan sengaja makan garam kalau masih ingin melihat Ndaru menikah.”

            “Saya ini tertib, dok! Nggak pernah melanggar pantangan.”

            Dokter itu menjengitkan alis matanya, membuat Yayuk kesal. Dia senior Praba dan entah apa yang dibisikkan Praba padanya dari Makassar sana, dokter ini jadi menghakiminya. 

            “Hm, tapi kenapa obat itu masih utuh dan ada berbagai macam keripik asin di rumah?”

            “Apa? Saya cuma lupa dan itu keripiknya Ndaru.”

            Dokter itu tak peduli, sibuk memainkan hapenya. Dasar dokter zaman sekarang, kurang ajar semua, batin Yayuk jengkel. “Saya akan tanda tangani surat pulangnya. Jangan banyak merengut, jangan galak-galak, nanti bisa kumat lagi atau malah stroke.” Dokter itu berlalu cepat sebelum Yayuk bisa melawannya.

            Ndaru datang dua jam kemudian, membolos dari kampusnya demi menjemput ibunya pulang dari rumah sakit.

            “Kau sudah carikan tiket untukku?” Yayuk memecah kesunyian di mobil.

            “Tiket apa?”

            “Ke Medan.”

            Kalau anaknya itu terkejut, ia tak menampakkannya.

            “Ibu mau ikut? Yakin ibu sudah sehat? Aku nggak masalah ibu nggak ikut. Aku sudah mengajak pakdhe dan budhe Mitro. Mbak Praba dan suaminya juga bisa datang. Santai sajalah.”

            “Aku ikut!”

            Ndaru tidak terkejut.

 

Lalan

“Kalian harus tinggal di sini. Rumah ini luas dan gratis. Kalian nggak perlu bayar sewa,” ibu mertuanya mendesak.

            “Apartemen Lalan juga nggak perlu nyewa. Itu sudah hak milik, sudah dibeli,” Ndaru berkeras.

            “Hah, tapi kan masih ada biaya parkir dan entah apa lagi, kan? Dan pasti nggak seluas ini.”

            “Kami nggak butuh tempat luas.” Ndaru berkeras.

            “Gitu ya? Kamu tega ninggalin aku sendiri? Itu yang kamu inginkan? Aku kena serangan

jantung dan mati nggak ketahuan?”

            Lalan terdiam, tak tahu harus bersikap bagaimana dalam perdebatan ini. Ndaru sudah memperingatkan Lalan ibunya bakal keras kepala untuk urusan ini. “Pokoknya jangan kalah!” kata Ndaru. Lalan mengiyakan, tetapi belum-belum ia sudah merasa kalah dan siap mengalah. Ia merasa kasihan pada perempuan tua itu. Pasti berat untuk berpisah dengan anak laki satu-satunya. Setelah sekian lama hidup bersama anak dan mengurusnya, perubahan sebesar itu bakal menyiksanya.

Lalan mengedarkan pandangan ke seluruh sudut rumah. Rumah ini tak luas, tetapi jelas lebih lapang daripada apartemennya. Ada teras dan kebun kecil di belakang yang bisa ia gunakan untuk melukis. Selain itu jaraknya juga lebih dekat ke tempat kerja Ndaru. Sekian lama tinggal puluhan meter di atas tanah, tinggal di rumah tapak terdengar menyenangkan.

            “Ru, apa tidak sebaiknya kita tinggal di sini? Setidaknya untuk sementara? Bagaimana pun, ibumu hidup sendiri,” Lalan berbisik saat mereka berdua ada di kamar. Sebenarnya mereka datang untuk mengemasi barang-barang Ndaru dan pindah. Tetapi akhirnya Ndaru justru bersetigeng dengan ibunya dan Lalan merasa bersalah terlebih dillihatnya sang mertua sangat berduka. 

            “Aku akan carikan pembantu,” kata Ndaru singkat.

            “Kau yakin kita bisa mendapatkan pembantu? Cari pembantu nggak mudah juga kali.”

            Ndaru mendesah. Dulu mereka pernah punya pembantu tiga atau empat kali. Semuanya mengundurkan diri dalam hitungan minggu. Ibunya selalu bilang mereka tak kompeten dan minta gaji terlalu tinggi.

            “Ibu punya riwayat hipertensi, Ru,” kata Lalan lagi.

            “Lan, kenapa sih kamu mesti baik hati banget?”

            “Yah, aku nggak ingin hubungan kalian jadi buruk,” sahut Lalan. “Salah satu abangku tak akur dengan ayahku karena masalah-masalah sepele; rambut gondrong, selera musik, sampai pilihan partai. Sampai sekarang mereka nyaris tak saling bicara. Aku tahu ibuku jadi agak tertekan karenanya.”

            “Tapi kamu yang akan kesusahan bila tinggal bersama ibu,” Ndaru memeluk Lalan di atas pembaringan. Ia masih lelah sehabis perjalanan bulan madu ke Vietnam disambung dengan beres-beres apartemen Lalan dan melembur tugas di kantor. Kini rencananya untuk pindah terancam batal. Bukannya itu belum terpikir sebelumnya. Ndaru tahu ibunya bakal menahannya dengan berbagai cara. Mulai dari menyediakan makan enak, merapikan kamar, hingga mengancam.

            Hasilnya jelas. Ibunya sudah menang dalam meluluhkan hati Lalan.

            “Aku nggak ingin menjadi penyebab retaknya hubungan kalian, Ru. Aku tahu sungguh berat bagi ibumu untuk mengizinkan kita menikah. Tetapi dia sudah menerimanya sekarang. Mungkin seiring waktu kami akan menjadi pasangan menantu-mertua idaman. Siapa tahu?” Lalan tersenyum.

            Itu sama tidak mungkinnya dengan sapi bisa terbang, batin Ndaru. Tapi Lalan ada benarnya. Sebenarnya ia pun galau memikirkan ibunya hidup sendiri. Tetapi di sisi lain ia tak ingin istrinya ditekan oleh ibunya. Bagaimana pun, ibunya tak punya siapa-siapa lagi di Jakarta. Sejenak ia merasa sial karena menjadi anak bungsu. Mbak Praba langsung melompat keluar rumah begitu ada kesempatan. Sebenarnya kakaknya itu bahkan ingin kuliah ke luar kota, tetapi dengan berbagai trik sang ibu berhasil menahannya.

            Setelah menikah –dengan laki-laki pilihan ibu—dia tak menyia-nyiakan waktu. Ia pindah rumah, lalu dua tahun kemudian pindah ke Makassar. Suaminya, yang seorang perwira TNI AD, ditugaskan di Makassar. Hanya kepada Ndaru, Praba mengaku bahwa dialah yang mendorong suaminya untuk mencari tugas di luar Jawa yang sebenarnya konyol mengingat para perwira berebut ditempatkan di Jawa. “Agar aku jauh dari ibu. Kasihan Mas Latif, diminta sering datang, dimintai uang, dan dibanding-bandingkan dengan anggota lain.” Ndaru tahu itu. Ibunya sering minta uang pada menantunya. Caranya memang halus, tapi sangat kentara.

“Mas Latif juga sangat peka. Ibu menelepon Latif lalu membicarakan rumah yang butuh genteng baru atau betapa sulitnya keadaan karena harga-harga naik. Tiap kali kami datang itu-itu juga yang diomongkan, kapan pangkatnya naik. Kapan rumah kami diperbesar. Astaga, cicilan saja belum rampung. Tetapi kalau dia tahu rumah kami belum rampung cicilannya, dia nggak bakal percaya. Atau menuduh kami berfoya-foya. Kau tahu gaji TNI itu berapa. Tapi ibu menyangka gajinya miliaran,” keluh Praba.

            Gilanya, baru setahun di Makassar, Praba pergi ke Belanda mengambil S2 di sana, meninggalkan sepasang anak kembarnya. Kalau pun ada gempa, Ndaru yakin ibunya tak bakal seheboh itu. Ia mengecam Praba habis-habisan, “Tega kamu ninggalin anakmu, ninggalin ibumu.” Ia lupa Praba sudah setahun meninggalkannya dengan lari ke Makassar.

“Memangnya tak bisa kau ambil S2 di Jakarta? Kenapa kamu butuh beasiswa? Uang Latif kan banyak. Malu-maluin saja ngemis beasiswa. Lagipula mengapa kamu mengambil S2 segala? Belum cukup gelarmu?” Ibunya merepet di telepon. Anehnya di depan semua orang, mulutnya berputar balik, “Sejak dulu prestasi Praba memang cemerlang. Pantes dia disodori beasiswa sana-sani. Padahal padahal  nggak pernah mendorong-dorongnya. Mau belajar atau nggak, saya biarkan saja. Tapi yah, bakat memang tak bisa diingkari.”

            Ndaru takjub begitu mudahnya ibunya mengucapkan omong kosong. Ia memang tidak pernah mendorong anak-anaknya. Yang ia lakukan adalah mengikat tangan dan menindih mereka. Memaksa dengan cara yang kasar maupun halus. Ndaru mulai curiga, jangan-jangan ibunya memang tak sadar dirinya manipulatif. Ia menganggap tindakannya lumrah, bahkan bila itu menyakitkan.

            Kini Praba sudah menyelesaikan kuliahnya dan kembali ke tanah air, tetapi entah kenapa dia memilih menjadi dokter relawan di daerah-daerah terpencil.

 

“Lan, kamu jangan jadi martir. Kamu mungkin berpikir bisa mengubah ibuku, tapi aku dan Praba sudah mencoba bertahun-tahun. Tak ada yang berubah. Aku sudah pernah cerita , kan?”

            Lalan mengangguk. “Aku tidak berniat mengubah apa pun.” Lalan pernah mendengar cerita Ndaru, tentang bagaimana ia dan kakaknya hanya boleh kuliah di jurusan kedokteran, hukum, teknik, atau ekonomi –dengan urutan seperti itu--. Ibunya selalu mendadak jatuh sakit bila mereka menolak, entah itu mag, hipertensi, atau diare akut yang menyebabkan dehidrasi. Untung saja Praba dan Ndaru berotak encer meski Ndaru sadar ibunya tetap kecewa karena ia memilih jadi dosen alih-alih jadi pengacara atau hakim. Salah satu kerabat mereka kaya raya karena jadi pengacara. Ibunya ingin Ndaru seperti itu, tetapi Ndaru tak sanggup menghadapi kerasnya praktik hukum.

            “Aku tak ingin kamu terluka.” Ndaru berbisik pada Lalan.

            Lalan terdiam, berpikir sembari mengusap punggung tangan suaminya.“Begini saja, kita coba dulu. Dua bulan. Kalau ternyata aku tak betah, aku akan bilang padamu dan kita bisa pindah.”

            “Sebulan.”

            Lalan terkikik, “Oke, satu setengah. Toh apartemenku butuh direnovasi.”

            “Oke.” Ndaru mengusapkan bibir ke tengkuk istrinya dan Lalan mendesah nyaman.

            Memangnya seberapa sulit, pikir Lalan, untuk tinggal bersama ibu mertua yang anggun dan ramah? Beberapa kali bertemu dengan ibu mertuanya, Lalan tak pernah menganggap perempuan itu sulit, apalagi jahat. Ia pernah berbagi kamar hostel dengan cowok pemadat. Di Hawaii, ia satu pondokan dengan cewek yang joroknya minta ampun dan cowok yang pelitnya setengah mampus. Ia mampu menghadapi macan beranak sekali pun. 

 

Yayuk

Apa yang salah dengan caranya mendidik anak? Ia bertanya-tanya. Meski tidak pernah kuliah, ia tidak bodoh. Malah ia selalu menduduki ranking sepuluh besar di kelasnya. Andai tak lahir di keluarga petani yang lugu –yang menganggap SMA sudah terlalu tinggi bagi perempuan--, mungkin namanya sudah bertambah panjang dengan gelar akademis. Begitu menikah, pada usia 19, Yayuk mempersembahkan seluruh hidupnya untuk suami dan anak-anak. Orang-orang kemampuannya. Salah seorang kerabat suaminya bahkan berkata terang-terangan di depan hidung Yayuk, “Apa bisa lulusan SMEA seperti dia mendampingi Agus yang sarjana?” Dia mengatakan itu seolah-olah Yayuk tak ada.

            “Agus tidak butuh istri pandai yang justru melunjak. Dia bisa masak dan mencuci cukuplah,” sahut (calon) ibu mertuanya.

            “Tapi bagaimana bila Agus nanti jadi pejabat?”

            “Yah, dia memang ndeso, tetapi itu bisa dipoles. Aku akan mengajarinya.”

            Mendidih darah Yayuk mendengarnya. Mereka berkata seolah-olah dialah yang beruntung mendapatkan suami sarjana, dari keluarga (agak) kaya, dan masih berdarah (sedikit) biru. Tidak, justru merekalah yang beruntung mendapatkan istri dan menantu sepertinya. Ia memang gadis desa, tetapi bukan berarti ia bisa diremehkan.

Sejak itu ia bertekad untuk membuktikan bahwa dia lebih dari kanca wingking, yang Cuma pantas di belakang. Ia mungkin dari kampung, tetapi tidak kampungan. Suaminya akan menjadi orang terpandang, anak-anaknya akan berhasil, dan ia sendiri? Juga akan moncer. Benar. Semuanya tercapai. Nyaris semuanya. Praba menjadi dokter bedah ortopedi dan Ndaru menjadi dosen PNS di fakultas hukum (yah, sayang sekali ia tak menjadi pengacara). Yayuk sendiri aktif di berbagai organisasi, baik di kampung maupun di kantor suaminya. Di sisi lain, ia berusaha menjadi menjalankan roda rumah tangga dengan sempurna, memastikan baju suaminya rapi tak tercela, makanan sehat tersedia di meja, dan rumah bersih tanpa noda. Bukannya itu mudah. Ia kadang menderita karenanya. Mertuanya tak pernah puas. Suaminya kadang terlalu sibuk bahkan untuk memperhatikan bahwa celananya tersetrika licin dan anak-anaknya sering kali tak menyentuh makanan yang sudah ia buat susah payah. Tapi ia terus maju. Terlebih di depan mertuanya.

Di depan mertuanya, Yayuk tak mau mengakui kegagalan apa pun. Perempuan tua itu sepertinya senang sekali bila menantu perempuannya menunjukkan kesalahan atau kelemahan. Seolah-olah ia berkata, “Nah, benar,kan, kamu tidak bisa apa-apa. Untung saja kamu menikah dengan anakku.” Tidak. Ia tak akan memberi mertuanya kepuasan semacam itu. Benar saja, ia akhirnya menjadi menantu yang paling dipuji-puji (karena paling sering mengirimkan uang). Yayuk merasa puas. Dendamnya seperti terbalas.

Namun, justru saat kapalnya melaju dengan tenang, badai paling besar menerpa dan Yayuk terguling jatuh. Suaminya meninggal saat Ndaru masih SMA dan Praba baru menjalani setengah masa kuliahnya. Radang usus buntu yang terlambat ditangani. Yayuk mengemudikan bahtera sebisa-bisanya. Jatuh dan bangun. Jatuh lagi dan bangun lagi.

Ia memutar uang pensium almarhum yang tak banyak dan saat sudah terpepet ia mencari pinjaman serahasia mungkin. Ia tak pernah meminjam uang sebelumnya dan tak ingin namanya ternoda. Kadang ia menerima cacian dan cemoohaan dari pemberi pinjaman, dan Yayuk terpaksa menelannya, demi anak-anak. Anak-anak yang cerdas tapi ternyata naïf itu. Praba cantik dan pintar, tapi tak pernah becus memilih laki-laki. Yayuk terpaksa mencarikan untuknya. Ndaru cerdas, tapi naïf, dan tak punya ambisi. Yayuk sampai harus menampar anaknya itu sewaktu ia berkata akan memilih jurusan sastra! Sastra! Siapa yang kenyang makan puisi?

            Tetapi lihat apa balasan mereka? Praba berputar seperti gasing, mendatangi semua tempat, kecuali rumahnya. Saat ia jauh, menelepon ibunya barang sebulan sekali seperti pekerjaan yang terlalu berat meski ia dengan mudah menghubungi teman-temannya, mendatangi reuni kampusnya, dan mengajak anak kembarnya tamasya.

            Sementara Ndaru? Ia bahkan tak mau pulang barang sejenak setelah menikah. Yayuk maklum bila Praba harus mengikuti tugas suaminya. Tapi apa alasan Ndaru untuk pindah rumah dan memilih bersarang di apartemen sempit? Privasi? Omong kosong. Ndaru tak tahu apa itu privasi. Ia tak pernah harus tinggal bersama sepasang mertua, sepasang ayah-ibu dari ayah mertua –yang sepuhnya sudah melebihi dinosaurus--, selusin ipar, ponakan, dan entah apa lagi. Kenapa berat sekali bagi Ndaru untuk tinggal dengan ibunya yang tak pernah mengusik kantong belanja yang ia bawa pulang seperti yang dialaminya dulu beberapa tahun setelah menikah? Syukurlah, akhirnya suami Agus dipindahtugaskan ke Jakarta dan di sana Yayuk mulai bernapas lega.  

            “Baiklah, kami akan tinggal di sini,” akhirnya Ndaru mengalah dan senyum mengembang di bibir Yayuk. Dengan tinggal serumah, Yayuk bisa memastikan menantunya menjalankan kewajiban dengan baik dan Ndaru mendapatkan perlakuan yang layak sebagai suami.     

            “Tapi sementara,” sambung Ndaru kemudian.“Dan kalau ibu sampai membuat Lalan menangis sekali, sekali saja, kami akan pindah segera!” Kontan Yayuk melotot.

            Itu? Itukah balasan semua pengorbanan yang dia lakukan selama ini? Yayuk ingin menjerit. Ia kini mengerti mengapa ada orangtua yang ingin menenggelamkannya anaknya.

 

BERSAMBUNG|

 

 

Niken Terate

kenterate@gmail.com

Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi