Ramadan di masa kecil identik dengan keceriaan. Meski lapar, saya dan teman-teman rasa-rasanya tak pernah berhenti bersenang-senang. Jalan-jalan sehabis jemaah subuh (masih pakai mukena) disambung main kartu, main congklak, kelereng, dan entah apa lagi sampai magrib menjelang. Bakda magrib, saya sudah melesat lagi untuk tarawih. Itu pun bawa tali karet dan bola. Bakda tarawih, kami masih jalan lagi buat tadarus keliling.
Karena saya semangat terus, saya heran melihat ibu saya sering terkantuk-kantuk, mengeluh capek, dan beberapa kali melewatkan jemaah subuh atau tarawih.
Kini saya menjadi ibu dan ternyata… jeng...jeng, saya juga sering terkantuk-kantuk, lungkrah, dan sering salat tarawih sendiri di rumah.
Jadi inilah bedanya menjalani ramadan sebagai ibu, batin saya. Jam tiga pagi dengan mata setengah terpejam, saya gelotakan sendiri di dapur. Sepi rasanya. Saya sendirian di dapur bukan karena enggak pengin ditemani suami atau anak. Pengin banget. Tetapi saya enggak tega membangunkan suami dan anak dari tidur nyenyak mereka.
Baca juga: Atur Pengeluaran di Bulan Puasa Supaya Tidak Jebol
Jam setengah empat, saya bangunkan mereka. Suami terpaksa menggendong si sulung dan mendudukkannya di kursi makan karena hanya dengan cara itu dia terbangun. Bakda sahur, kadang kantuk menyerang hingga piring kotor tak sempat tercuci. Kalau kerjaan tidak banyak saya bisa tidur sejenak, tetapi kalau ada deadline atau cucian kemarin belum disetrika, mau gimana lagi, terpaksa saya nguprek kerjaan melawan kantuk.
Saya beruntung bekerja di rumah hingga seringkali bisa tidur siang. Namun, ibu saya dulu seorang perawat di rumah sakit besar. Jangankan untuk tidur, untuk duduk saja barangkali tak sempat. Pulang kerja, ia hanya sempat ganti baju untuk kemudian melesat ke warung, membeli sayur seadanya –tapi selalu terasa mewah—, kemudian memasak. Kadang ia masih menggoreng lauk saat azan magrib berkumandang.
Sementara saya melesat dengan riang ke masjid, ia sibuk dengan cucian piring kotor. Mengenang itu dan merasakan sendiri berperan menjadi ibu –terutama bila anak-anak masih kecil—saya jadi mengerti mengapa ia tak selalu ceria di bulan ramadan. Mengapa ia lebih memilih tarawih di rumah daripada di masjid. Bukan memilih, tetapi keadaan memang mengharuskan demikian. Adik bungsu saya masih terlalu kecil untuk ditinggal atau diajak di masjid.
Setelah mengerti repotnya seorang ibu, saya tak lagi mencela ibu-ibu yang jarang ke masjid. Pun saya tak memicingkan mata melihat ibu bawa bayi rewel ke tempat ibadah. Mungkin dia sangat rindu keluar rumah.
Baca juga: Tips Puasa Untuk Ibu Hamil dan Menyusui
Saya memaklumi ketika seorang teman bercerita ia menyuapi anaknya di tempat tidur saat sahur (padahal si anak sudah kelas 5 SD!). Bila melihat ibu-ibu lain sibuk belanja di mal membeli baju baru, saya ikut senang. Bagi saya baju baru enggak penting-penting amat, tetapi mungkin mereka hanya bisa beli baju setahun sekali. Atau andai uang mereka berlimpah, siapa tahu kebahagiaan mereka tergantung pada tas dan sepatu. Saya juga paham bila ada ibu yang menyajikan makanan yang lebih mewah untuk berbuka demi menyenangkan keluarganya. Mungkin itu salah satu caranya menciptakan ramadan yang berkesan bagi mereka.
Soal ibadah dan pahala biarlah itu menjadi urusan Yang Kuasa. Namun, saya yakin Allah sangat berwelas asih pada ibu-ibu yang jatuh tertidur saat menyusui hingga mereka tak bisa salat di awal waktu. Atau pada ibu yang kerja keras mengejar setoran demi bisa mendapat tambahan uang saku buat mudik.
Ibu-ibu ini mungkin ekstra lelah saat bulan ramadan, tetapi bisa mereka juga ekstra bahagia. Sama bahagianya dengan anak-anak mereka karena menyantap es buah lezat buatan ibu saat berbuka.