Musim panas tahun lalu, gadis 15 tahun ini bolos sekolah, duduk di luar Gedung Parlemen Swedia dan mulai mengampanyekan gerakan global tentang perubahan iklim.
Greta Thunberg hanyalah seorang gadis bertubuh kecil, lemah dan introvert ketika memulai aksi mogok sekolah dan menyuarakan pentingnya isu perubahan iklim di luar Gedung Parlemen Swedia, Agustus 2018 lalu. Orangtua Greta meminta putrinya itu untuk menghentikan aksinya, sementara teman sekolahnya tak ada yang mau bergabung. Orang-orang yang lewat di depan Gedung Parlemen Swedia hanya memandangnya dengan pandangan kasihan melihat gadis 15 tahun itu duduk di trotoar jalan. Tangan Greta menggenggam papan kayu bertuliskan “Skolstrejk for Klimaktet.”
Tetapi, 8 bulan kemudian, situasinya berubah drastis. Gadis dengan rambut dikuncir itu dijamu dimana-mana di seluruh dunia sebagai simbol sebuah tekad, inspirasi dan heroisme. Presiden berbagai negara dan para eksekutif perusahaan multinasional bergantian bertemu dan rela ia kritik. Papan kayu bertuliskan “Skolstrejk for Klimatet” atau “bolos sekolah demi iklim”-nya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Dan yang juga berbeda, Greta kini tak lagi sendirian.
“Luar biasa,” aku Greta kepada The Guardian. “Gerakan ini sudah diikuti 70 negara dan lebih dari 700 tempat dan terus bertambah.”
Setahun lalu, Greta bukan siapa-siapa. Tubuhnya kecil, terlihat ringkih. Ia juga introvert. Rutinitasnya adalah bangun setiap pukul 6 pagi untuk sekolah dan pulang pukul 3 sore. “Hidupku sangat biasa,” katanya. “Aku merasa tak bisa melakukan apa-apa karena aku kecil dan lemah.”
Sang ibu, Malena Ernman adalah seorang penyanyi opera di Swedia. Ayahnya, Svante Thunberg, adalah seorang aktor dan penulis (namanya diambil dari nama Svante Arrhenius, ilmuwan peraih Nobel Fisika tahun 1896).
“Aku terlalu banyak berpikir. Kalau orang lain bisa melupakan apa yang mereka alami, aku tidak, apalagi jika ada sesuatu yang membuatku cemas atau sedih,” kata Greta. “Aku ingat waktu kecil, di sekolah ada pemutaran film tentang ceceran plastik di lautan, beruang kelaparan, dan sebagainya. Aku menangis sepanjang film itu. Gambar-gambar itu menancap di benakku.” Tetapi Greta mampu menerima kondisinya itu sebagai bagian dari dirinya dan menjadikannya motivasi, bukan membuatnya depresi.
Di usia 8 tahun ketika pertama kali mendengar tentang isu perubahan iklim, Greta syok ketika mendapati tak ada orang dewasa di sekitarnya yang peduli pada isu krusial tersebut. Fakta ini sempat membuatnya depresi tetapi juga menjadi turning point hidupnya.
Perubahan pun mulai terjadi. Greta baru sadar bahwa ia mempunyai kemampuan persuasi yang mumpuni. Buktinya, ibunya mulai berhenti naik pesawat terbang karena emisi, sementara sang ayah memilih menjadi vegetarian. “Kami lihat apa yang ia sampaikan itu masuk akal, kami kehabisan argumen,” kata sang ayah. “Ia mengubah kami dan mengubah banyak orang. Sungguh sulit dipercaya kalau ingat masa kecilnya dulu,” lanjutnya.
Aksi mogok untuk iklim global ini terinspirasi aksi yang dilakukan murid-murid Parkland School di Florida yang melakukan aksi keluar kelas untuk memprotes undang-undang kepemilikan senjata api di AS, yang memicu pembunuhan massal di kampus mereka.
Greta berjanji akan terus melakukan aksinya hingga pemilu Swedia. Ia menerima permintaan tampil dan berbicara di depan ribuan massa yang menghadiri kampanye People’s Climate March. Banyak lembaga dunia dan politisi yang memujinya, termasuk PBB. “Tapi mereka tak melakukan apa-apa,” kata Greta yang juga menyinggung pemimpin AS, Inggris dan Australia yang mengacuhkan aksinya dan malah menyindirnya karena bolos sekolah. “Mereka mengalihkan pembicaraan. Mereka tahu tak bisa memenangkan pertarungan ini karena mereka tak melakukan apa-apa.”
Greta kini menjadi tumpuan harapan. Para aktivis dan ilmuwan menjulukinya sebagai berita terbaik bagi gerakan perubahan iklim dekade ini. Wajahnya menghiasi sampul majalah Time dan dinominasikan sebagai peraih Nobel termuda tahun ini. “Aku akan terus melakukan aksiku, bahkan seandainya tak ada harapan sekalipun,” kata Greta.