To her, the name of father was another name for love.
Fanny Fern

Cerita Bersambung: Mertua Untuk Lalan (part 5)

author
Ken Terate
Senin, 20 Mei 2019 | 12:47 WIB
| kanya.id

 

Lalan

“Ibu… ibu menggeretaki kamarku?” Lalan melongo tak percaya.

“Aku hanya ingin membereskan. Kertas itu jatuh sendiri!” Yayuk menyahut tegang.

“Dari buku sketsaku?”

 Inilah pukulan itu! Lalan bisa saja melupakan insiden itu andai mertuanya itu tak menuduhnya sebagai perempuan yang bisanya hanya menghambur-hamburkan uang suami.

“Apa kamu tidak kasihan Ndaru yang kadang sampai kerja lembur demi menghidupimu?”

“Saya bisa menghidupi diri sendiri,” Lalan menyahut dengan gigi gemeretak, “Jujur saja, kalau hanya mengandalkan Ndaru saya tak bakal bisa makan di restoran itu! Kalau bukan karena saya, Ndaru mungkin belum selesai menyicil mobilnya!”

Ibu mertuanya ternganga, tak percaya.

“Tapi Ndaru membelikan kalung itu dan…”

“Kalung yang mana? Mulai sejak kami kenal, perhiasan yang pernah ia belikan untukku cuma cincin pertunangan dan cincin kawin! Itu saja!”

“Hah, nggak usah bohong, dari mana kamu dapat uang? Peralatan melukis ini pasti nggak murah! Ndaru memanjakanmu. Kamu nggak sadar, ya? Sampai ia sendiri sengsara. Dia bahkan mencuci piringmu!”

Gigi Lalan gemeretak. Tubuhnya menggigil menahan amarah. “Ini semua aku beli pakai uangku sendiri!” Ia sudah tak peduli untuk menggunakan kata ‘saya’. Lukisan ini ditunggu kliennya. Seharusnya minggu lalu sudah selesai, tetapi kebawelan mertuanya membuat moodnya berantakan dan kini emosinya bergejolak tanpa bisa ia kendalikan.

“Lukisan ini, lukisan ini… belum jadi pun sudah ditawar seratus juta! Ngerti?” Lalan histeris menunjuk lukisannya.

Mertuanya terperangah tapi kemudian air mukanya tawar lagi. “Bohong. Siapa yang mau beli lukisan anak TK seperti ini? Aku saja tak sudi melihatnya.”

Dan sreeettt, sebelum Lalan menyadari apa yang terjadi, goresan panjang merah dari kuas besar sudah tercoret melintang di kanvasnya. Lalan melongo. Apakah mertuanya barusan merusak karyanya yang nyaris jadi? Apakah ini nyata?

Mestinya ia. Warna merah itu begitu nyata! Melintang di atas kanvasnya. Lalan menatap mertuanya yang balik menatapnya dengan garang. Bibirnya tertarik menghina dan menantang. Lalan merasakan matanya panas dan napasnya tersengal. Ia tak tahu harus mengatakan apa. Tetapi ia tahu ia harus menyingkir sebelum ada yang terbunuh di ruangan ini.

Dengan cepat Lalan membereskan peralatannya, menyambar kanvasnya, dan menyembur, “Selamat tinggal kuntilanak!”

 

 

 

“De, gue salah ya? Gue emosional ya?’

“Nggak. Lo justru sangat rasional. Mertuamu memang keterlaluan.”

Di kafe kecil itu Lalan duduk bersandar dengan lemah. Kopi di depannya tak tersentuh dari tadi.

“Tapi gue juga keterlaluan, kan? Gue pergi seperti itu dan bahkan… memakinya.”

“Dia patut dimaki dan ditinggal pergi.”

“Dia terserang stroke, De!” Lalan hampir menangis. “Kalau dia mati, gue yang membunuhnya.”

“Oh, percayalah dia nggak bakal mati semudah itu.”

Dengan perasaan hancur, Lalan melesat meninggalkan rumah itu, menelepon Ndaru sambil tersedu di dalam taksi online. Ndaru langsung menemuinya di apartemen dan tanpa membuang waktu ia pergi ke rumah ibunya, mengambili semua barangnya dan menyatakan tak akan menginjakkan kaki di rumah itu lagi.

Malam berikutnya, ibunya stroke, pas dia sedang di depan rumah. Tetangganya melihat dan  melarikannya ke rumah sakit.

“Ndaru nggak mau menengoknya, nggak mau mengurusnya, nggak mau tahu.” Lalan tersengal. “Gue nggak mungkin datang. Dia bisa langsung kena serangan jantung kalau melihat gue.”

“Aku bukannya ngajari kalian untuk jadi anak durhaka, tetapi aku bisa mengerti sikap Ndaru,” Dea memutar-mutar cangkir di depannya.

“Untung Mbak Praba bisa cuti. Kalau tidak, dia bakal kayak lansia terlantar. Mbak Praba bilang dia susah sekali bicara. Sudah membaik dan akan pulih, tetapi gue… rasanya gue nggak bisa memaafkan diri sendiri.  Dia sebenarnya baik, De. Hanya saja dia berasal dari zaman yang berbeda. Baiknya dia beda dengan baiknya gue, tetapi sama-sama baik.”

“Lo bisa bilang begitu karena sekarang kalian berjarak, Lan.”

Lalan terpekur. Mungkinkah Dea benar? Mungkinkah hubungannya dengan mertua akan baik-baik saja andai mereka tak tinggal di bawah satu atap? Tetapi bagaimana mungkin? Waktu itu mereka tak punya pilihan. Rasanya tak punya pilihan.

Musik mengalun lembut. Obrolan pengunjung  terdengar lirih dan sesekali terpecah oleh gelak tawa. Dea menghirup kopinya berulang kali sementara Lalan melamun tanpa fokus.

“De, ada nggak sih mertua yang baik? Mestinya ada kan? Mertua kakak gue baik banget. Mertua Mbak Praba gue dengar juga sangat baik.”

“Ada,” Dea menepuk tangan Lalan. “Banyak, gue tahu itu. Dan kalau lo nggak dapat yang baik, It’s fine. Kita nggak bisa mendapatkan semuanya dalam hidup ini.”

“Gue takut masalah ini… menghancurkan hubungan gue dengan Ndaru.”

“Jangan takut. Lo beruntung. Suami lo baik. Dan soal baik atau nggak, lo tahu, kan kata orang?”

“Apa?”

“Kalau ada hal yang nggak baik, lo punya dua pilihan, tinggalkan atau perbaiki. Kalau lo nggak mungkin meninggalkan, lo pasti bisa memperbaiki.”

Lalan menggeleng, “Gue nggak yakin. Gue nggak tahu bagaimana memperbaiki hubungan gue dengan mertua.”

“Akan ada jalan. Jangan khawatir.”

Lalan tetap khawatir.

 

 

 

Suara bel pintu memecah konsentrasi Lalan. Ia meletakkan kuas perlahan sambil bertanya-tanya siapa gerangan yang datang pada jam sepuluh pagi.

Lalan mengintip lewat lubang pengintai. Mbak Praba! Ia terkejut sekaligus senang. Baru beberapa kali ia berjumpa langsung dengan iparnya itu, tetapi langsung menyukainya. Dia logis dan sederhana. Serius, tak suka bertele-tele, tetapi juga bisa santai.

Lalan cepat-cepat membuka pintu dan berseru bahagia, “Mbak Prabaaa. Hai, Mbak. Ayo masuk.” Praba tertawa renyah. Mereka berpelukan, saling menempelkan pipi. Mbak Praba selalu berada di pihaknya, Lalan tahu itu. Bahkan sejak ia dan Ndaru belum menikah. Mbak Praba sudah memperingatkan bahwa ibunya bakal jadi tantangan. Mbak Prabalah yang dikabari Ndaru pertama kali tentang kaburnya mereka dari rumah.

“Hai, piye kabarmu, Nduk?”

Apik, Mbak. Apik.” Hanya sebatas itu kosa kata Jawa yang dikuasai Lalan.

“Dari mana Mbak?” Lalan tergopoh-gopoh menyiapkan kopi untuk kakak iparnya.

“Dari rumah. Apartemenmu cantik juga. Mungil tapi pas. Efisien. Itu lukisan terbarumu?”

“Ya. Pesanan klien yang molor lama sekali…” Lalan tersekat. “Aku nggak yakin bisa menyelesaikannya.”

“Selesaikan dong. Itu bagus banget. Aku suka. Kalau klienmu tak suka, boleh buat aku?”

Lalan tersenyum sambil menaruh kopi di meja, “Klienku itu suka banget sayangnya.” Bahkan setelah lukisan itu dicoret dengan cat merah, klien itu tetap menginginkannya. Lalan memang berhasil memperbaikinya dengan sangat rapi.

“Tapi entah kapan jadinya. Moodku kacau banget akhir-akhir ini. Minum, Mbak.” Baru seminggu ini Lalan mulai memegang kuas lagi –dan yang ia lakukan pertama kali adalah membereskan bencana coretan itu--. Jari-jarinya terasa kaku dan goresannya tidak luwes. Meneruskan lukisan itu seperti menoreh kembali luka yang bahkan belum kering.

Praba mengangguk. “Trims. Aku mengerti. Pasti berat sekali. Aku tinggal bersama ibuku sekitar dua puluh lima tahun. Aku lebih mengerti dibanding siapa pun, kecuali Ndaru mungkin.”

            Lalan menarik napas beberapa kali, memandang Praba yang mengitari ruangan perlahan, mengamati lukisan-lukisannya di dinding. Lalan tidak banyak menyimpan lukisannya. Ia tak suka apartemennya terlalu penuh. Beberapa yang  ia simpan adalah karya yang paling ia sukai.

“Bagaimana kabar ibu, Mbak?”

“Baik,” Praba menjawab datar, “Ibuku terlalu keras kepala untuk dikalahkan oleh apa pun, apalagi cuma stroke. Ia membuat semua orang heran karena pulih dengan sangat cepat.”

Lalan tahu mertuanya mondok seminggu di rumah sakit dan sudah sekitar dua minggu ini dirawat di rumah, menjalani terapi.

“Kini gerakannya mendekati normal. Orang nggak bakal tahu dia pernah kena stroke. Tapi ada satu hal yang kamu harus tahu…”

Lalan berdebar menunggu kalimat itu diselesaikan.

“Ini sebenarnya nggak baik, tetapi mungkin justru ada hikmahnya.”

“Apa?” Lalan tak tahan.

“Ibu kehilangan sedikit memori.”

Ha?

“Dia mungkin nggak ingat kamu.”

Lalan tak tahu harus senang atau sedih.

“Dia nggak ingat Ndaru sudah menikah.”

Perlahan-lahan Lalan mendudukkan diri di sofa. Apa artinya ini?

“Ibu terus menerus menanyakan Ndaru. Apakah dia sedang kuliah?” Mbak Praba mendesah. “Aku sudah membujuk Ndaru untuk datang, tetapi ia terlalu keras kepala. Aku ceritakan kondisi ibu, tetapi ia tak tergerak. Aku maklum.”

Lalan menunduk di kursinya. Ndaru tak pernah bercerita kondisinya ibunya bahkan ketika Lalan bertanya.

“Bujuklah Ndaru untuk menengok ibu, untuk memaafkan. Bukan untuk ibu, tetapi untuk dirinya sendiri. Berdamai dengan keadaan itu penting, Lan.”

Lalan mengangguk.

“Aku pernah mengalami fase seperti kalian. Rumah tangga baruku diusik melulu oleh ibu. Hingga aku, kami, memutuskan untuk menjauh.”

“Ya, Ndaru cerita.”

“Jarak bisa memperbaiki hubungan, atau paling tidak menawarkan racun. Nah setelah ini kalian bisa memulai hubungan baru. Datanglah sekali atau dua kali seminggu; bawakan ibu martabak atau bakpao. Bawakan hadiah yang wah kadang-kadang. Pujilah penampilannya atau caranya menata pot. Dia pasti menganggapmu malaikat dari langit.”

Lalan mengangguk lagi. Ia menjangkau sisa kopinya yang sudah dingin. Ndaru membuatkannya pagi-pagi sekali, sebelum ia berangkat kerja.

“Sungguh keajaiban kalian berdua baik-baik saja, bahkan menjadi orang hebat, meski mendapat banyak tantangan waktu kecil,” kata Lalan akhirnya.

“Ha, siapa bilang. Aku sempat depresi waktu SMA. Ndaru sempat ikut geng berandalan. Aku menjadi cewek minder dan Ndaru menjadi tertutup hingga kini. Dia masih menyimpan dendam, Lan. Kalau bukan karena kamu, mungkin dia nggak bakal menikah. Lama sekali ia tak berhubungan dengan perempuan meski banyak yang naksir padanya. Dia trauma setelah pacar terakhirnya ditolak ibu hanya gara-gara etnisnya.”

Mata Lalan membeliak. Ndaru tak pernah cerita itu.

“Tapi ya sudah. Itu sudah berlalu dan kita tak mengubah orang lain. Kita hanya bisa mengubah pandangan kita terhadap orang itu, ya kan? Kalau memandang ibu sebagai orangtua mungkin aku tak bakal pulang. Tetapi aku mengubah pandanganku, kuanggap kami adalah dokter dan pasien. Hubunganku dengannya jadi professional dan lebih rileks.”

Lalan tertawa, “Tapi dokter nggak bakal merawat sampai rumah, dong.”

“Haha, ya anggap saja dokter ini sangat berdedikasi. Kini aku hanya merasa kasihan padanya. Dia berjuang keras untuk kami –dipikirnya untuk kami—dan sekarang apa yang ia punya? Tak tak apa-apa. Setiap orang menjalanji pelajarannya sendiri.”

“Aku bersyukur Mbak bisa pulang. Kalau nggak, ibu bakal terlantar.”

“Hmmm….” Praba mengangkat cangkir kopinya, menggenggamnya tanpa meminumnya.

“Sebenarnya aku memang sudah berencana pulang. Ada berita yang harus kusampaikan pada ibu, pada kalian.”

“Apa itu?”

“Aku dan Latif sedang memproses perceraian kami.”

“Apa?” Lalan terbelalak.

Praba mengangguk kalem.

“Tapi kenapa?”

Praba menarik napas, memandang Lalan, lalu berkata, “Aku tak mencintainya. Latif adalah pilihan ibu. Bukan pilihanku. Yah, itu bukan alasan, sih. Aku tidak menolaknya. Jadi aku bertanggung jawab. Perceraian ini tanggung jawabku.”

 

 

BERSAMBUNG|

 

Niken Terate

kenterate@gmail.com

Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi