A father holds his daughter’s hand for a short while, but he holds her heart forever.
Unknown

Anak Egois? Ubah Dengan Melatih Empatinya

author
Hasto Prianggoro
Sabtu, 25 Mei 2019 | 12:00 WIB
| SHUTTERSTOCK

 

Menghadapi anak yang “mau menang sendiri” sering membuat orang tua frustrasi dan kesal. Salah satu cara mengubah perilaku itu adalah melatih empatinya. 

“Aku enggak suka mainan itu..” kata si kecil Mylea ketika disodorkan mainan baru oleh bundanya. Lain kali, ia menolak makanan yang disiapkan sang bunda. Tak hanya menolak makan, malah ia sorongkan piring makan ke sisi lain untuk menunjukkan penolakannya.

Perilaku seperti ini sebetulnya normal dan merupakan cara anak untuk menunjukkan rasa suka atau tidak suka mereka terhadap sesuatu, atau cara mereka menyuarakan pendapat. Tapi jika sikap “tak pernah bisa menghargai orang lain dan mau menang sendiri” ini terus terjadi, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang egois sehingga orangtua harus segera mencari cara untuk mengubahnya.

 

1. Ketahui alasan anak

Pengin marah rasanya ketika anak menolak semua yang kita siapkan. Mulai dari makanan, mainan, pakaian. Eits, tapi Bunda jangan buru-buru marah dulu. Sebaiknya cari tahu kenapa anak bertingkah seperti itu.

Melatih empati bisa membantu anak belajar menghargai orang lain. Misalnya, wajar jika anak tak menyukai mainan yang kita belikan. Bisa jadi karena sebetulnya bukan mainan itu yang ia inginkan, atau anak sudah bosan dengan mainan tersebut. Sama halnya ketika kita mendapat hadiah dari seseorang lalu kecewa karena hadiah itu tak sesuai seperti yang kita harapkan.

Baca juga: Hati-Hati Jika Si Batita Tak Suka Berimajinasi

2. Ajarkan untuk berterima kasih

Begitu kita tahu motif atau alasan anak, kita bisa mulai mengoreksi perilakunya. Misalnya jika anak terlihat tidak menghargai pemberian dari orang lain, katakan, “Kayaknya Bunda tidak pernah mengajarkan begitu tuh..”

Beri anak alternatif sikap atau perilaku positif. Misalnya ketika anak enggan menerima hadiah dari saudara atau teman dengan raut tak suka, minta dia untuk mengucapkan terima kasih dan tersenyum.

Atau, ketika anak komplain soal baju yang kita siapkan, katakan, “Enggak apa-apa kamu nggak suka baju itu, tapi enggak usah berteriak-teriak, Nak. Nanti kita cari baju yang lain..”

3. Latih empati

Anak terlahir tanpa kemampuan untuk membayangkan berada di posisi orang lain. Anak batita masih bersikap egosentris, semua benda yang ia lihat ia anggap miliknya, ia berhak minta ini-itu, dan sebagainya.

Nah, fase kanak-kanak akan membuat mereka belajar bahwa orang lain juga punya perasaan, sama seperti mereka. Mereka akan mulai menunjukkan empati, membayangkan seandainya mereka berada di posisi orang lain, dan sebagainya. Semakin kita mampu melatih anak untuk berempati, anak akan semakin bisa mengubah sikap dan perilakunya terhadap orang lain.

Tanyakan berulang-ulang dengan kalimat, “Bagaimana perasaan kamu jika…” daripada “Bunda, kan sudah bilang…” Ini akan membuat anak berpikir lebih dalam tentang akibat dari tindakannya kepada teman atau orang lain.

Baca juga: Ini 7 Cara Membangun Empati Anak

| SHUTTERSTOCK

4. Beri “hukuman”

Salah satunya dengan menghukum anak tidak boleh bermain. Cara ini cukup efektif untuk menyadarkan anak bahwa apa yang ia lakukan itu tidak baik.

Misalnya anak selalu komplain mainannya tidak ada yang baru atau sudah bosan dengan mainannya. Tak hanya komplain, tetapi ia juga membuang-buang mainannya sembarangan.

Orang tua bisa menarik semua mainan dan menyimpannya untuk sementara waktu. Dan anak baru boleh bermain lagi keesokan harinya, misalnya. Ini untuk memberi tahu anak bahwa ia belum bisa menjaga dan menghargai mainan-mainannya.

Baca juga: Daripada Menghukum Anak Dengan Pukulan, Lebih Baik Lakukan Ini

5. Hindari memberi label

Ini yang paling penting: jangan melabeli anak dengan misalnya “Kamu keras kepala..,” “Dasar kamu bandel..,” dan sebagainya. Bahkan sekedar terlintas di pikiran untuk mengucapkannya sekalipun sebaiknya jangan. Label-label ini justru akan semakin memperkuat pesan dan membuat anak makin sulit berubah.

Jika kita melulu fokus pada label negatif, lama-lama label itu justru akan makin kuat. Sebaiknya, beri tahu anak dengan lembut bahwa apa yang ia lakukan itu kurang baik dan beri pujian positif ketika ia menunjukkan perilaku positif.

Penulis Hasto Prianggoro
Editor Hasto Prianggoro