To her, the name of father was another name for love.
Fanny Fern

Cerita Bersambung: Mertua Untuk Lalan (part 6-TAMAT)

author
Ken Terate
Senin, 27 Mei 2019 | 19:00 WIB
| SHUTTERSTOCK

Praba

Di Instagram Prabandari dan Latif adalah pasangan sempurna. Praba dokter bedah dengan paras menawan, Latif perwira TNI dengan perawakan gagah dan paras yang sama menawannya.  Diramalkan ia bakal menjadi jenderal termuda beberapa tahun lagi.

Si kembar Rania dan Radya menyempurnakan foto-foto itu. How sweet! So lovely!  Family goals banget! Adalah komentar-komentar yang menyertai gambar-gambar mereka tamasya di luar negeri, makan malam di restoran mewah, bersantai di teras rumah di tepi pantai.

Tetapi gambar bisa menipu dan Praba paling tahu soal itu. Ia tidak pernah mencintai Latif. Sejak hari pertama mereka bertemu di SMA, lalu bertemu kembali dalam acara reuni,  hingga kemudian bersumpah di depan penghulu, tak pernah Praba merasakan percikan cinta. Bahkan meski ia berusaha. Latif tampan, humoris, dan bertanggung jawab. Seharusnya mudah saja jatuh cinta padanya. Tetapi nyatanya, cinta memang punya misteri  tersendiri.

Hubungan seksual bagi Praba merupakan perwujudan kewajiban; iba yang diikuti perasaan bersalah. Ia telah menipu Latif yang begitu mempercayainya. Rasa bersalah itu begitu membebaninya hingga kemudian ia mencari-cari cara untuk menghindari suaminya.

Ia sengaja mencari pekerjaaan di tempat jauh, menjadi sukarelawan bencana atau ikut proyek kemanusian. Ini tidak selalu berhasil karena berat bagi Praba untuk meninggalkan si kembar. Dua anak itu sungguh tangguh, batin Praba. Mereka berpindah dari kota ke kota, mengikuti ibu atau ayah mereka atau tinggal bersama kakek-neneknya sementara waktu. Mereka berganti pengasuh, berpindah play group dan penitipan anak. Sebelum kelas empat SD, mereka sudah berpindah sekolah tiga kali. Untunglah mereka memiliki satu sama lain. Berkat pengaturan yang sangat cermat oleh Praba, mereka menganggap setiap kepindahan adalah petualangan. Satu tempat yang dihindari Praba adalah rumah ibunya.

Ibunya adalah masalah lain lagi. Setelah Praba berkorban banyak dengan menikahi pria yang disetujui ibunya Praba (di antara beberapa laki-laki yang mendekati Praba, hanya Latif yang mendapat restu darinya. Tentu saja bapaknya pejabat BUMN.), ia menyangka ibunya bakal membiarkannya menjalani kehidupan pernikahan dengan tenang. Betapa kelirunya. Ibunya tetap turut campur mulai dari dekorasi rumah hingga cara merawat bayi. Selalu saja ada yang salah, atau kurang, atau seharusnya dilakukan dengan cara lain. Kenapa kamu milih rumah di pinggiran? Kenapa Latif belum ganti mobil? Kenapa bayimu rewel banget di malam hari? Kenapa kamu tidak memakai stagen setelah melahirkan?

Praba menerapkan strategi yang sama untuk menghadapi ibunya: lari dan menghindar. Bertahun-tahun ia menyerah menuruti keinginan ibunya, mulai dari gaya rambut, pemilihan jurusan kuliah hingga pria untuk dijadikan suami. Ia tak bisa melawan atau menghindar karena ia belum punya sayap untuk terbang. Tetapi kini, ia mandiri, ia punya uang, punya keberanian, punya maps GPS. Ia berdaya.

Ia bisa terbang berkilo-kilo jauhnya; mengambil S2 di Belanda, memilih pekerjaan di tempat-tempat terpencil hingga lelah. Lelah karena ternyata ia rasa bersalah dan tertekan masih menggayut. Ia sadar selama ini ia hanya lari dan lari dari asap yang mengejar, tetapi tidak pernah berani mematikan apinya.

Di satu titik Praba tak tahan lagi membohongi diri sendiri. Ia jenuh dan muak pada dirinya sendiri. Ia sadar ia sedang merusak dirinya dan keluarganya. Kadang ia sengaja memancing amarah Latif hanya agar bisa menemukan kesalahan laki-laki itu untuk mengimbangi kesalahannya. Rania dan Radya sering jadi korban mood-nya yang naik turun; membolos sekolah dan memutus kehidupan mapan mereka hanya demi mengikuti keganjilan ibunya yang tak bisa menetap di satu tempat.

Jadi malam itu, sepulang dari bertugas selama tujuh hari di luar pulau, Praba menjatuhkan beban yang senantiasa bergayut di benaknya bertahun-tahun, “Latif, aku ingin berpisah.”

Laki-laki itu mengerjapkan mata. Lalu dengan ketenangan seorang samurai ia menyahut, “Aku tahu.”

Praba berkaca-kaca. Ternyata selama ini Latif tahu Praba tak mencintainya.

“Semoga kamu bahagia, Praba. Aku sudah cukup beruntung pernah menjadi suamimu.”

Mereka berpelukan lama, saling membelai dan mengeringkan air mata. Praba hancur sekaligus bebas. Ia telah kehilangan suami, tetapi mendapatkan sahabat.

 

Yayuk

Sekali lagi ia mengecek penganan yang sudah ia siapkan dengan cermat; putu ayu dan risoles. Cucu-cucunya suka risoles dan istri Ndaru suka putu ayu. Ini Sabtu pagi, hari favoritnya karena pada Sabtu pagi anak dan cucu-cucunya berkumpul. Genduk dan Thole bahkan sudah datang sejak kemarin. Biasanya mereka sarapan, mengobrol, menggambar, atau main game, lalu keluar untuk makan siang di restoran yang tak terlalu jauh. 

Anak-anak Praba sudah tinggi menjulang nyaris menyalip eyangnya. Kapan mereka lahir? Yayuk bertanya-tanya, kenapa tiba-tiba mereka sudah remaja? Anak Ndaru berusia tiga tahun, berpipi gembil dan bermata cemerlang, mirip sekali dengan bapaknya waktu kecil.

Istri Ndaru tidak begitu cantik –dan punya tato! Astaga—tetapi dia pandai menggambar. Ia suka mengajari anak-anak Praba melukis (Aduh, siapa sih nama mereka? Yayuk selalu lupa dan akhirnya memutuskan untuk memanggil mereka Genduk dan Thole). Istri Ndaru tak pernah datang dengan tangan kosong. Ia selalu membawakan sesuatu; anggrek langka atau sutra batik tulis! Mewah sekali. Ia bahkan pernah memberi lukisan gambar pemandangan! Sungguh cocok dipajang di ruang tamu.

Istri Ndaru bilang ia tidak bekerja, hanya mengasuh anak dan melayani suaminya di rumah. Baguslah, memang begitu seharusnya istri yang bail.

“Bila Ndaru membelikanku sesuatu, aku selalu mengingatkan agar ia juga membelikan ibu. Pokoknya dahulukan ibu,” katanya dan Yayuk senang bukan kepalang mendengarnya.

Ada sesuatu yang tidak Yayuk sukai mengenai perempuan itu, tetapi apa tepatnya Yayuk tak tahu. Apakah tawanya yang terlalu lepas? Atau tatonya? Atau caranya berpakaian? Atau caranya bermanja-manja pada Ndaru?

Seumur-umur menikah, Yayuk tak ingat ia pernah dimanjakan. Bahkan saat sakit. Yayuk bahkan tak yakin laki-laki itu bisa merebus air. Tapi lihat Ndaru. Begitu luwesnya ia mengganti popok anaknya, menggendong, dan menenangkan anak itu saat menangis. Diam-diam Yayuk iri. Ia tak ingat suaminya dulu ikut mengasuh anak-anak. Kepeduliannya pada anak-anak sebatas menyuruh mereka belajar atau mengantar sekolah. Sudah itu saja. Ia tak pernah memandikan anak-anak seperti Ndaru memandikan si pipi gembil itu (aduh siapa namanya?).

Andai saja ia dulu tak peduli dengan segala ancaman gunjingan itu (laki-laki kok nyebokin anak, ibunya mana?) mungkin ia tak bakal begitu kelelahan mengurus rumah tangga hingga kadang meledak marah atau ambruk frustrasi. Suaminya tak kan menolak. Suaminya baik. Hanya saja laki-laki itu tak pernah tahu keinginan istrinya. Apakah itu karena Yayuk tak pernah bilang? Yayuk bertanya-tanya. Tetapi bagaiamana mungkin ia menyampaikannya? Ia bakal dicap sebagai istri manja dan tak becus bila suaminya turun tangan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Atau tidak? Yayuk mengamati Ndaru, yang tampak senang mengurus anaknya. Ah, andai ia dulu lebih berani mendobrak segala macam ‘aturan’ konyol itu.

“Anak-anak, makan dulu,” Praba berseru dan segera saja meja makan kecil itu penuh sesak. Anak-anak ribut berceloteh. Alat-alat makan berdenting berisik. Yayuk senewen melihat semua keributan itu, tetapi anak dan cucunya tampak senang dan akhirnya Yayuk mengalah dan memilih untuk menikmati pesona cucu-cucunya.

Ia terlalu lemah untuk mengatur ini itu. Pikirannya tak tertata dan kabur. Bicara pun kini sama susahnya dengan akrobat. Kata-kata, bahkan yang sederhana, seperti ‘serbet’ kadang sulit sekali ia ingat. Kadang kata itu sudah ada di ujung lidah, tetapi langsung lenyap seolah-olah sengaja mempermainkannya.

Setelah makan siang selesai, Praba membereskan semuanya dengan cekatan, sementara istri Ndaru (ah, ya namanya Lalan), menyusui anaknya dan Ndaru menonton video dengan si kembar.

Yayuk memperhatikan Praba dengan rasa bangga. Sejak dulu anak itu cerdas dan efisien. Sangat disayangkan ia bercerai dari suaminya. Suaminya sesekali datang, biasanya untuk menjemput dua anaknya. Dia tentara yang sangat gagah dan mapan. Yayuk tak bisa mengerti mengapa Praba memilih berpisah darinya.

“Kami tak cocok,” hanya itu kata Praba.

Tak cocok!

Yayuk menggeleng. Betapa mudahnya anak-anak sekarang berpisah hanya karena alasan sepele seperti itu. Tak cocok! Betapa sepelenya. Apanya yang tak cocok? Bagaimana sepasang suami istri bisa dikatakan cocok atau tak cocok? Yayuk bahkan tak bisa menilai apakah ia dan suaminya dulu cocok. Lalu kalau tak cocok (entah dengan ukuran apa), apa ya harus berpisah? 

Aku dulu punya banyak alasan untuk lari dari suamiku, batin Yayuk. Tetapi tak terbayang sedikit pun untuk bercerai. Mau senang mau sakit, mau buntung atau untung, menikah ya menikah. Sudah. Apa jadinya bila dulu ia punya pikiran untuk meninggalkan suaminya? Akankah ia bahagia? Akanlah ia terbebas dari rutinitas menjemukan menyiapkan sepatu dan melawan mata mengantuk demi membukakan pintu? Mengapa pria bahkan tak bisa membuka pintu sendiri? (Ataukah sebenarnya bisa?)

Bila ia melepaskan diri pernikahan, apakah ia akan bercahaya seperti Praba? Lihat, ia bisa bersenandung sambil menyiapkan menyemprot anggrek.  Tidak, tidak. Tanpa pernikahan, tanpa suami dan anak-anak, tanpa status istri dan ibu Yayuk tahu ia tak punya makna.

 

Lalan

“Anakmu itu manja sekarang. Jatuh saja merengek. Itu karena dia sudah tiga tahun dan tidak kausapih. Sapih dia. Sudah saatnya ia punya adik.” Uf, Lalan meletakkan handphone dengan kesal. Ia tengah konsentrasi melukis dan ibu mertuanya menelepon bahkan tanpa basa-basi, mendadak membahas penyapihan tanpa sebab yang jelas. Suaranya memang lemah dan agak cadel, tapi tetap saja tegas dan mengancam.

Lalan menarik napas dan berusaha mengabaikan kekesalannya. Tak sudah diambil hati, ia mensugesti diri sendiri. Bisa jadi mertuanya itu sedang melamun, mendengar anak tetangga menangis, merasa terganggu, dan butuh nyinyir.

Lalan kembali mengerjakan lukisannya dan berpikir situasi ini jauh lebih baik dibanding dulu. Hubungannya dengan mertua dapat dibilang nyaman. Gangguan kecil semacam telepon tadi bisa dengan mudah ia abaikan karena hanya terjadi kadang-kadang, tanpa bertatap muka. Jarak dalam hal-hal tertentu memang bisa membantu. 

Perceraian Mbak Praba membawa hikmah. Kini kakak iparnya itu tak merasa harus lari ke mana-mana. Ia mengambil keputusan untuk bekerja di Jakarta dan tinggal bersama ibu. Ia dengan mudah mendapatkan tempat di rumah sakit yang ia kehendaki dan tetap bisa mengabdikan dirinya untuk kepentingan sosial. Lalan mendapat kesan perempuan tua itu sering kesepian, apalagi Mbak Praba bekerja dari pagi sampai malam, tetapi Mbak Praba memastikan ibu punya banyak kesibukan, entah itu merawat anggrek atau membuat penganan untuk dibawa dan dibagikan di tempat kerja Mbak Praba. “Ia juga tetap menghadiri arisan PKK dan senam lansia. It’s all set,” kata Mbak Praba. “Kewajibanmu cuma datang seminggu sekali di akhir pekan.

Anak-anak Mbak Praba datang dan menginap di akhir pekan. Dua anak itu menempuh perjalanan kereta dari Bandung, tempat ayah mereka bertugas saat ini. Begitu mandiri padahal usia mereka baru sebelas tahun. Tak ada kesan mereka menderita karena orang tuanya berpisah. Mereka menyambut Jumat sore dengan bahagia dan tersenyum ceria saat ayah mereka datang untuk menjemput di Minggu sore.

Baca juga: Cerita Bersambung: Mertua Untuk Lalan (part 5)

“Bubuuu.” Seruan itu terdengar bahkan sebelum penyerunya, Pandu, sampai di depan pintu. Suara kaki-kaki kecil berlari bergema di sepanjang lorong. Lalan mendesah. Ia beberapa kali ditegur oleh tetangga gara-gara Pandu suka berlari dan berteriak di gang. Ia dan Ndaru sudah mencoba berbagai cara untuk mengatasinya, namun anak itu selalu memandang lorong apartemen sebagai lintasan lari sprint. Akhirnya mereka menyerah dan hanya bisa berdoa kebiasaan itu akan hilang seiring waktu.

Suara berisik pintu digedor dikuti suara kunci berputar membuat Lalan meletakkan kuas. Benarkah sudah dua jam lebih sejak mereka pamit keluar untuk belanja? Lalan tak percaya, begitu singkat waktu berlalu dan rasanya ia belum mengerjakan apa pun. Kelelahannya mengasuh Pandu belum sepenuhnya hilang. Tapi toh ia senang saat melihat dua orang laki-laki terpenting dalam hidupnya itu muncul.

“Bubuuuu,” Pandu berlari dan menubruknya. Untuk ukuran balita tiga tahun, tenaganya luar biasa dan sanggup membuat Lalan terjengkang, “Aku kangen Bubu. Bu, tadi aku lihat dinoulus. Dinoulusnya besaaal segini.” Mulut kecilnya berceloteh riang. Di telinga Lalan, suara itu bagai denting lonceng kecil yang jernih. Lalan mendekapnya erat, menghirup aroma tengkuknya yang hangat dan khas.

Dengan ekor matanya, Lalan menangkap sososk Ndaru melangkah ke dapur, meletakkan barang-barang belanjaan di konter sambil bersiul riang. Pada makhluk mungil di dekapannya, Lalan merasakan emosi yang meluap. Rasa sayang yang melimpah dan keinginan melindungi yang sangat kuat. Jangankan disakiti, Lalan bahkan tak rela Pandu digigit nyamuk. Perlahan ia mulai mengerti apa yang dirasakan mertuanya. Ya, mungkin dia bakal meraung dan memamerkan tarung pada siapa pun perempuan yang mendekati Pandu kelak.

TAMAT|

 

Niken Terate

kenterate@gmail.com

Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi