Pada sebagian orang, bunyi-bunyi lembut bisa memicu emosi, bahkan kemarahan. Kondisi ini dikenal dengan misophonia.
Misophonia Institute mendefinisikan misophonia sebagai “sangat sensitif terhadap bunyi-bunyi tertentu sehingga memicu respons emosi.” Ketika mendengar suara atau bunyi tertentu, penderita langsung memberi respons emosi yang kuat seperti panik, benci, marah, nggak betah, hingga gusar. Gangguan ini kerap juga disebut sindroma sensitif terhadap bunyi tertentu.
Pengidap misophonia dilaporkan sering terganggu oleh suara atau bunyi-bunyi lembut yang keluar dari mulut seperti bunyi orang mengunyah atau suara napas orang lain. Bunyi-bunyi lain yang juga memicu emosi penderita misophonia antara lain bunyi keyboard komputer, suara tombol yang dipencet, suara wiper, dan lainnya.
Baca juga: Yuk, Hitung Asupan Kalori Saat Lebaran
Orang dengan misophonia juga mengaku terganggu oleh gambar-gambar yang menyertai bunyi-bunyi dan memberikan respons terhadap gerakan berulang-ulang. Para peneliti percaya bahwa mereka yang mengalami misophonia ini memiliki masalah dengan cara otak menyaring suara. Pemicunya, lanjut laporan tadi, adalah “bunyi berulang” yang memperburuk kondisi sistem pendengaran yang lain.
Misophonia bisa menyerang dari yang ringan hingga parah. Respons yang diberikan penderita pun beragam, mulai dari yang ringan seperti rasa cemas, rasa tak nyaman, nggak betah, sampai jijik. Sementara respons yang lebih ekstrem antara lain marah, murka, benci, panik, ketakutan yang sangat, hingga stres.
Misophonia lebih banyak diderita perempuan, meski belum diketahui secara pasti penyebabnya. Yang jelas, ini bukan gangguan pada telinga. Para ahli lebih menduga ini gabungan antara masalah mental dan fisik. Misophonia berkaitan dengan bagaimana suara atau bunyi mempengaruhi otak dan memicu respos otomatis tubuh.
Penanganan terhadap misophonia melibatkan pendekatan multidisiplin, dikombinasikan dengan terapi suara dan konseling tambahan dengan penekanan pada bagaimana mengatasi respons emosional yang muncul.
Selain itu, memperbaiki gaya hidup juga bisa membantu pemulihan seperti olahraga rutin, cukup tidur, dan mengelola stres. Pilih tempat atau ruangan yang relatif nyaman untuk beraktivivitas agar terhindar dari bunyi-bunyi pemicu.