A father holds his daughter’s hand for a short while, but he holds her heart forever.
Unknown

DUA CATATAN LEBARAN

author
Sundari Hana Respati
Rabu, 12 Juni 2019 | 20:00 WIB
Lebaran | SHUTTERSTOCK

 

1.

Tentang Kue Lebaran

Banyak momen yang terasa spesial karena seakan-akan hanya dilakukan menjelang Lebaran; membuat kue kering. Masih teringat jelas ketika masih SD dulu, di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, dapur sudah mulai dipenuhi bahan-bahan kue dan aroma kue kering yang baru keluar dari oven.

Berbekal satu buku tulis bergaris yang mulai menguning dengan tulisan yang mulai usang atau guntingan resep dari koran yang ditempel di salah satu bagian halamannya, kami siap menimbang, meracik, dan mencetak kue kering untuk lebaran.

Ibuku menggelar satu tikar ukuran sedang sebagai alas dan batas area persiapan pembuatan kue. Biasanya kue sudah keluar dari oven di waktu salat Ashar, beberapa jam sebelum buka. Rasanya ‘menyiksa’, karena dipaksa menghirup wanginya tapi belum bisa mengicipinya.

Nastar | SHUTTERSTOCK

Kalau sudah waktunya berbuka, semua menyerbu kue yang tadi dibuat, kue bentuknya tidak terlalu indah, karena yang bentuk cetakannya bagus disimpan untuk nanti disusun di dalam stoples sebagai suguhan tamu yang datang pas Lebaran.

Semenjak kami, para anak-anak, merantau untuk kuliah dan ada yang sudah menikah, membuat kue kering menjelang Lebaran sudah tidak seheboh dulu. Terima kasih atas kemudahan yang beberapa tahun belakangan ini ditawarkan pada penjual kue kering. Tidak ada lagi pegal-pegal ketika malam sebagai ‘hadiah’ membuat kue tadi siang.

Tapi, setelah dipikir-pilkir lagi, ternyata bayaran kemudahan itu mahal, hilangnya kebersamaan. Lebaran tahun ini, hanya si bungsu yang pulang ke kampung halaman. Anak sulung Lebaran di negeri seberang, sementara aku, anak tengah, untuk pertama kalinya merayakan kemenangan di tengah keluarga besar baruku.

Ah, dulu, tahunya hanya bikin kuenya saja, lelahnya, ngantuknya, kadang kesal tidak bisa ikut main dengan tetangga karena harus membantu ibu bikin kue di rumah. Setelah dewasa, aku baru sadar, apa yang dulu kami lakukan bukan sekadar mengisi stoples-stoples kosong untuk disuguhkan, tapi juga mengisi ruang-ruang memori dalam pikiran.

 

Baca juga: Bukan Tujuan

 

2.Tentang Mudik

Tahun ini adalah tahun pertama aku Lebaran bersama keluarga baru di Gresik, tempat keluarga besar suamiku. Pertama kalinya mudik menggunakan kereta karena kota tujuan masih satu daratan. Kereta api juga menjadi pilihan kami karena harga tiket pesawat Jogja-Surabaya melangit menjelang lebaran.

Mudik dalam keadaan hamil besar, apalagi menggunakan kereta, sempat bikin deg-degan. Terbayang dinginnya AC dalam kereta, lama perjalannya, bau toiletnya, dan segala ketidaknyamanan yang dulu sekali pernah aku rasakan. Terngiang pula adegan film zaman dulu yang berjudul Anak-anak Tak Beribu yang settingannya stasiun dan kereta api itu.

Mudik Lebaran | SHUTTERSTOCK

Tapi ternyata, perjalanan menggunakan kereta tak kalah nyaman dibandingkan perjalanan udara. Mulai dari check in, ruang tunggu, hingga suasana dalam gerbong kereta yang sudah jauh lebih baik dari bayanganku, aku sampai tidak berhenti ber-wah-wah karena kagum-kagum sendiri dengan apa yang aku lihat.

Oh, tentu saja dengan toilet yang bersih dan tidak bau. Waktu tempuh perjalanan yang empat jam lebih itu pun tak terasa saking nyamannya. Eh, apa karena teman selama perjalanan adalah suami tercinta, ya? Muehehehe

Lebaran dan segala tradisinya selalu memberikan kenangan yang menyenangkan…

 

Penulis Sundari Hana Respati
Editor Ratih Sukma Pertiwi