Try to be a rainbow in someone else’s cloud.
Maya Angelou

Halo LDM!

author
Sundari Hana Respati
Minggu, 16 Juni 2019 | 20:00 WIB
Long Distance Marriage | SHUTTERSTOCK

Long Distance Marriage (LDM) termasuk dalam paket penawaran suamiku ketika ngajak nikah di pertemuan pertama kami.

“Saya lagi cari istri. Tapi kerjaan saya begini, jadi kemungkinan istri saya akan tinggal di Gresik aja, karena perusahaan menuntut saya untuk pindah dari satu daerah ke daerah yang lain.” Begitu kira-kira katanya.

Sebagai perempuan yang dimabuk drama Korea dengan kisah-kisah romantisnya, kemudian ditawari kehidupan yang tampaknya melelahkan karena harus berjuang dengan jarak yang terbentang, tentu saja aku menggeleng keras dalam hati.

Buat apa menikah kalau pada akhirnya harus berjauh-jauhan? Masa sebelum nikah ke mana-mana sendirian, setelah nikah juga demikian?

Bagaimana dengan sarapan bareng tiap pagi, teh hangat tiap sore di halaman belakang rumah, atau deep conversation di tempat tidur sampai ketiduran yang selama ini aku bayangkan? (eh, ini lebay sih.)

Baca juga: Ini 6 Penyebab Long Distance Relationship Kandas

Begitulah kira-kira suara di kepalaku. Berulang. Gitu emang kalau kebanyakan nonton film atau drama Korea yang endingnya adalah pernikahan yang bahagia, dan enggak diceritain kehidupan setelah pesta pora pernikahannya.

Tapi Tuhan punya kuasa, kami dipersatukan dalam ikatan pernikahan, menyetujui untuk menjalani kehidupan bersama bagaimanapun kondisinya.

Long Distance Marriage | SHUTTERSTOCK

Singkat cerita setelah menikah, aku sempat ikut suamiku ke daerah tempat beliau bekerja. Hitung-hitung bulan madu. Seatap setelah akhirnya sempat berjauhan selama sebulan setelah akad nikah. Jadi aku sudah dikenalkan dengan jarak dari awal pernikahan.

Alhamdulillah, tahun lalu berdua, tahun ini insya Allah bertiga. Setelah memaksimalkan waktu berduaan di kota orang dan selagi usia kandungan masih aman berpergian menggunakan pesawat terbang, aku diantar pulang kembali ke pulau Jawa. Menyisakan dua bulanan menuju persalinan, sementara suamiku harus kembali ke Minahasa menyelesaikan pekerjaannya.

Ada beberapa pertimbangan dan alasan kenapa akhirnya kami memutuskan untuk melahirkan di Jogja, bukan di Duri atau di Gresik, bukan di tempat orang tuaku atau tempat orang tuanya. Lagi-lagi yang kami jalani saat ini adalah hasil diskusi yang (lumayan) panjang. Bukan dadakan. Jadi aku pun insha Allah lebih tenang menjalaninya. Setidaknya sudah ada ancang-ancang.

| @sundarihana

Sempat galau-galauan di awal tahun ini. Membayangkan aku akan memasuki kehidupan yang sesungguhnya. Kehidupan yang dulunya aku jadikan alasan penolakan. Memasuki fase LDM. Campur aduk perasaan. Tapi ini semua juga demi si buah hati, insya Allah ikhlas dijalani.

Sudah kenal dengan jarak, sekarang masuk ke tahap mengakrabkan diri dengan jarak. Toh, berjauhan bukan berarti sendirian. Kami tetap bersama, hanya saja raganya ada di kota berbeda.

Ada Allah. Kami saling menitipkan kepada yang Maha Kuasa. Allah yang jaga. Bismillah.

 

 

Sundari Hana Respati

IG @sundarihana

Blogger kelahiran Duri, 6 September 1992 yang menikmati kehidupan sebagai ibu rumah tangga baru. Selain aktif menulis di blog dan media sosial, lulusan S1 Gizi Kesehatan UGM ini sangat hobi nonton drama Korea.

 

Penulis Sundari Hana Respati
Editor Ratih Sukma Pertiwi