When I get up and work out, I’m working out just as much for my girls as I am for me, because I want them to see a mother who loves them dearly, who invests in them, but who also invests in herself. It’s just as much about letting them know as young women that it is OK to put yourself a little higher on your priority list.
Michelle Obama

Cerita Bersambung: Rahasia Nina (part 1)

author
Ken Terate
Senin, 1 Juli 2019 | 19:00 WIB
Rahasia Nina | Kanya.id

 

 

“NiNAAA!”

“Wah, hai!” Nina nyaris terjengkang dari tempat duduknya karena ditubruk Lilian. “Ada apa nih? Kamu kelihatan happy banget.”

“Yes I am! I am! Ugh, kamu ke mana aja, sih? Susah banget ketemu kami akhir-akhir ini.” Lilian membentangkan telapak tangan kirinya lebar-lebar. Nina mengerutkan kening.

“Tanganmu kenapa Lil?”

“Iniiii!” Lilian menggoyangkan tanganya sedikit dan Nina melihat kilatan kilau itu. Cincin. Ada cincin baru melingkari jari manis Lilian, tambahan selain cincin di jari tengahnya. Cincin baru itu tampak sederhana dan polos, tak sesuai dengan selera Lilian. Bentuknya hanya melingkar saja, dengan hiasan berlian mungil di tengah. Bahkan di mata Nina yang tak begitu suka perhiasan, cincin itu tak tampak istimewa. Apalagi dibanding cincin satunya yang berbentuk sulur bunga mawar dan ditempeli batu-batuan pink cerah.  Kenapa Lilian harus memamerkannya?

Lilian memang suka perhiasan. Sebagai sahabatnya Nina tahu betul itu. Di tangan kanannya pun ada dua cincin berlian. Di lehernya teruntai kalung perak (atau platina?) yang belum pernah Nina lihat sebelumnya. Yah, sebagai dokter (dan anak dokter kondang) Lilian sudah sepantasnya mengenakan perhiasan-perhiasan cantik semacam itu. Belum lagi gelang di pergelangan tangannya. Tetapi selayaknya orang kaya sejati, dia tak pernah menunjuk-nunjukkan perhiasannya secara mencolok.

“Cincin baru?” tanya Nina sambil membuka-buka modul di depannya. Ia sama sekali tak tertarik.

“Jerry melamarku.”

Deg! Nina mendongak seketika. “Terus…” Mendadak mulut Nina terasa kering. Tidak mungkin. Tidak mungkin.

“Kamu nggak ngucapin selamat?”

“Kamu… kamu menerimanya?”

“Tentu saja, Nin! Aduh, kenapa, sih kamu?”

Oh. “Yah, selamat kalau begitu.” Nina berusaha tersenyum meski bibirnya kaku. Ia berdiri dari bangku taman kampus untuk memeluk sehabatnya.

Lilian tertawa kecil, “Trims ya Nin. Aku tahu kamu selalu mendukungku.”

Nina melepas pelukannya, lemas, dan gemetaran. Mungkin ia memang selalu mendukung lilian, tetapi tidak untuk yang satu ini. Bahkan sebenarnya ia berharap hubungan Lilian dengan Jerry bakal berakhir seperti hubungan-hubungan Lilian sebelumnya. Secepatnya kalau bisa. Tetapi sepertinya Lilian berdoa sebaliknya dan doanyalah yang terkabul.

“Semoga kalian… yah… bahagia,” Nina berkata serak. Udara dingin khas bulan Juni bertiup, lebih dingin daripada biasanya.

***

 

Mimpi buruk itu datang lagi. Nina tersentak, tersengal-sengal. Ia tak bisa menggambarkan apa yang terjadi dalam mimpinya. Tetapi ia ingat merasakan laut yang dalam. Ia tenggelam. Lehernya tercekik (gurita? cumi-cumi raksasa?). Napasnya putus-putus. Mungkin seperti itulah rasanya berada di batas hidup dan mati.

Nina mengusap peluh di dahinya, meneguk air putih dari botol yang selalu ia sediakan di samping tempat tidur. Ia berusaha menghentikan gemetar yang melanda tubuhnya, tetapi tak bisa. Giginya gemeletuk. Tangan dan kakinya menggigil.

Sudahlah, Nin. Itu hanya masa lalu.Lupakan saja. Kalau kamu lupa, berarti tragedi itu tak pernah ada.

Benar juga. Setelah sekian tahun berlalu, kini Nina pun tak yakin apakah peristiwa buruk itu benar-benar terjadi. Mungkinkah itu cuma mimpi buruk? Apakah ia hanya membayangkan saja?

Tapi luka di dahinya begitu nyata. Ia selalu berusaha menutupi luka itu dengan poninya, meski Vino mengatakan luka itu nyaris tak kelihatan dan andai pun tampak, tak mengurangi kecantikannya. “Malah bikin kamu tampak unik. Spesial.”

Nina pernah mengutarakan keinginannya untuk operasi plastik menghilangkan luka itu, tetapi Vino mencegah, “Hei, semua orang butuh medali kayak gitu. Kamu punya di dahi, aku punya di siku. Kenang-kenangan dari pertandingan sepakbola. Setiap kerut, setiap parut, itu signature dari perjalanan hidup kita, Nin. Itu menunjukkan kekayaan batin kita, sayang. You’re beautiful. Just the way you are.”

“Kamu yakin, Vin?”

“Apanya? Soal kecantikanmu? Seratus persen yakin. Kamu cewek tercantik yang pernah kutemui.”

“Gombal, tapi makasih. Maksudku, kamu yakin kamu mencintaiku apa adanya?”

“Astaga. Apa iya sih semua harus dikatakan biar kamu yakin? Atau aku perlu tanda tangan surat bermeterai?”

Nina mendesah. Ia bahkan tak yakin ada cowok yang mau menjadi kekasihnya. Ya, Nina cantik, tetapi tidak secantik seorang modal. Ia cerdas, ya ampun, dia seorang dokter! Tetapi toh ia tidak berpraktik dan tidak punya kans untuk jadi spesialis. Ia mengincar profesi dosen dan peneliti. Ia tak mengejar gelar spesialis. Ia merasa tak tak mampu, baik secara kompetensi maupun biaya.

“Oke, deh. Aku mencintaimu apa adanya, Nina Dwi Titisari. Sampai ke jerawat di dagumu, belang di kakimu, rambut awut-awutanmu. It’s physical, honey dan cintaku jauh melebihi itu.”

“Yang nggak fisik?”

“Apa contohnya? Kebiasaanmu uring-uringan pas lapar? Atau kekonyolanmu menghabiskan bensin satu liter bensin  demi mendapatkan bawang lebih murah seribu rupiah? Aku sudah menerimanya sejak semula, cantik.”

“Ugh, gombal pakai banget.”

“Kau juga menerima kegombalanku. Jadi kita impas.”

Nina terkikik, tapi hatinya nyeri. Tanpa sadar ia mengusap bekas luka di dahinya. Luka itu bukan karena ia jatuh dari dari sepeda. ‘Kekurangan’ yang ia bicarakan bukan sekadar kecerewatannya dalam menawar harga bawang. Tapi lagi-lagi ia kelu. Ia tak ingin kehilangan Vino. Mungkin beberapa rahasia sebaiknya tetap menjadi rahasia.

 

***

 

“Kamu yakin mau menikah dengan Jerry?” Nina bertanya sehalus mungkin, seolah-olah sambil lalu, seakan-akan ia tak peduli.

“Tentu saja. Akhirnya aku bisa yakin he’s the one.”

“Dia nggak pernah bertingkah brengsek atau gimana gitu?”

“Maksudmu?”

Nina sengaja mengajak Lilian bertemu di kafe malam itu. Kini membuat janji temu dengan Lilian sangat sulit. Jadwal Lilian amat padat. Waktunya terbagi antara kuliah spesialis dan praktiknya sebagai dokter umum di klinik dan tentu saja kencannya dengan Jerry yang makin lama makin intensif.

Tetapi Nina sadar bukan itu alasan utama mereka jarang bertemu. Nina memang sengaja membentangkan jarak semenjak sahabatnya secara mendadak mengumumkan ia pacaran dengan Jerry.

“Hei, coba tebak siapa yang mengajakku kencan?” Nina ingat Lilian mengirimi teka-teki itu via WA.

“Alif! Ha, gampang banget!” Lilian barusan putus dari Alif, pacarnya dua tahun ini dan Nina tahu keduanya sama-sama patah hati. Nina yakin mereka bakal nyambung lagi.

“Ha! Nggak lah. I am over him. Aku udah move on.”

“Aduh, kok aku yang belum move on? Kalian berdua itu my relationship goals!”

“Udah deh. Aku udah nggak ada rasa kok sama dia. Tebak dong siapa yang ngajak aku kencan! Kamu kenal dia kok. Malah dulu kalian pernah dekat.”

Siapa? Lilian nyaris tak pernah dekat dengan cowok. Bahkan dengan cowok-cowok yang sempat pacaran dengannya.

“Siapa?”

“Kak Jerry. Masih ingat dia, kan?”

Tidak. Tidak. Tidak. Di antara jutaan lelaki di bumi ini, mengapa Lilian berkencan –dan selanjutnya pacaran lalu bertunangan—dengannya?

“Kalian dulu pacaran nggak, sih?” Lilian bertanya.

“Tidak.” Tetapi bukan berarti aku rela kamu menjalin hubungan dengannya.

Lilian baru saja menghadiri reuni dalam rangka lustrum SMA mereka. Sebagai sosialita, Lilian hobi sekali mendatangi acara-acara semacam itu. Sementara sebagai manusia introvert, berkebalikan dari Lilian, Nina berusaha sekeras mungkin untuk menghadiri acara-acara sosial, tetapi yang terutama adalah reuni SMA. Walhasil belum pernah sekali pun ia mendatangi reuni SMA. Ia bahkan tidak pernah menginjakkan kakinya ke gedung sekolah itu setelah lulus. Lilian selalu mengajaknya tiap ada kesempatan dan Nina selalu menolak. Hingga setelah tiga empat kali, Lilian akhirnya mengerti. Nina tak berminat menjalin kontak dengan masa lalu, entah dengan alasan apa.

Lentera minyak dekoratif membiaskan sinar temaram yang hangat, namun hati Nina terasa beku. Wajah Lilian tampak berseri malam itu, sebagaimana layaknya calon pengantin yang tak sabar menunggu hari besarnya. Kenapa tidak?   Lilian adalah calon dokter speasialis anak plus calon pewaris klinik pediatri terkenal. Ibarat bintang, sinar Lilian sedang terang-terangnya. Ia akan segera bertunangan dengan sarjana hukum tampan. Nina merasa mereka tak lagi berada dalam kasta yang sama. Yah, sejak dulu memang begitu. Tetapi kini jarak mereka makin lebar. Selain itu, semenjak Lilian pacaran dengan Jerry kira-kira enam bulan lalu, Nina memang tak lagi betah berada di dekat sahabatnya sejak SMA itu. Hanya saja, Nina tak kuasa menyatakan alasannya. Apakah Lilian mau mengerti bila ia mengungkapkannya? Tunggu, apakah Nina sanggup mengungkapkannya?

“Nin, hei. Kenapa kamu melamun?”

Nina tersentak.

“Eh, maaf, bertanya apa?”

“Kamu kenapa sih? Bertanya sendiri lupa sendiri. Kamu tadi bertanya apakah Jerry pernah bersikap brengsek padaku. Memangnya kenapa, sih?”

Nina memain-mainkan sendoknya. “Yah, kamu akan menikah dengannya, kan? Aku cuma ingin memastikan kalau dia akan jadi suami yang  baik.” Akhirnya Nina menusukkan garpunya pada tomat cherry di piring saladnya.

Lilian tertawa (dia terlalu banyak tertawa, pikir Nina). “Kita kan kenal Jerry sejak dulu. Menurutmu gimana dia selama ini?”

Lebih beracun daripada beludak.

“Jangan khawatir. Dia selalu baik. Bahkan teramat baik. Semalam dia kasih aku hadiah jam tangan, padahal kami nggak sedang merayakan apa-apa.”

Serigala memang bisa tampil berbalut bulu domba.

“Kamu sendiri gimana, Nin? Gimana hubunganmu dengan… siapa nama cowokmu? Vito? Kapan dong aku bisa ketemu dengannya?”

“Vino. Yah, kapan-kapan aku atur deh.” Nina tersenyum samar.

“Kamu sibuk banget, ya? Proyek apa yang sedang kamu garap?”

“Standar aja kok. Demam berdarah, hepatitis, semacam itu.”

“Kamu jadi ngajuan proposal beasiswa?”

Nina mengangguk. “Jadi. Ke Sydney. Sedang direview. Tapi respon mereka positif.” Nina lega ada juga kabar baik tentang dirinya yang bisa ia sampaikan ke Lilian. Jujur saja, di depan perempuan serba sempurna seperti Lilian, Nina kadang merasa harga dirinya terbanting.

“Hei, selamat.” Lilian mengangkat cangkirnya, “Aku yakin kamu pasti mendapatkannya. Kamu temanku yang paling cerdas. Kamu bisa mengubah dunia kalau mau.”

“Ah, kamu berlebihan, Lil. Aku tidak secerdas itu.”

Nina sendiri heran bagaimana ia bisa bertahan hingga sejauh ini. Yah, dia memang cenderung ada di peringkat atas sejak SD, namun ia tak pernah benar-benar di puncak. Apalagi di SMA negeri favorit tempat belajarnya dulu, jelas banyak anak jenius yang jauh lebih pintar darinya. Apalagi jelas ia tak punya dukungan financial seperti kebanyakan temannya.

Nina merasa hanya keberuntungan yang membawanya hingga sejauh ini. Tidak seperti Lilian yang punya dana tak terbatas untuk terus kuliah, Nina tak akan bisa kuliah tanpa bantuan beasiswa. Bedanya kali ini aku akan mendapatkannya dengan tanganku sendiri, tekad Nina dalam hati. Aku tak akan membiarkan kepercayaan diriku melemah dan membuatku terjatuh dalam tipuan yang sangat gamblang!

Hingga kini Nina sulit terpercaya, tujuh tahun lalu ia dengan mudahnya terperosok dalam jebakan terang-terangan. Apa yang kukatakan? Aku masih muda waktu itu. Muda dan goblok.

 

 

BERSAMBUNG|

 

 

Niken Terate

kenterate@gmail.com

Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi