“KAMU dulu pernah dekat dengannya, kan? Waktu ia membantumu mengajukan aplikasi pendaftaran lewat jalur beasiswa.” Lilian mengangkat cangkir kopinya dengan anggun.
Nina mengangkat muka dari piringnya. Ia kehilangan jejak pembicaraan. Bagaimana mereka bisa membicarkan Jerry lagi? Dan membantu? Puah! Nina tahu Jerry mengkoar-koarkan ‘jasa’nya itu. Padahal, itu sama sekali tak benar! Jerry tak membantu setitik pun.
Ketika Nina dan Lilian kelas sepuluh, Jerry kelas dua belas. Cowok itu seperti merak di antara gagak. Di saat cowok-cowok lain berjerawat dan berambut lepek, Jerry tampil dengan kulit mulus dan rambut keren. Meski nilainya tak pernah istimewa, tak diragukan lagi ia adalah idola. Ia ada di mana-mana; di klub pecinta alam, band, hingga paskibra –tempat Nina bergabung sebagai anggota--. Di paskibra itu Jerry menjadi kakak pelatih bagi adik-adik kelasnya bahkan setelah ia kuliah di fakultas hukum.
“Sejak dulu dia kharismatik,” Lilian menerawang sambil menggenggam cangkir kopinya. “Haha, mungkin aku sudah naksir dia sejak SMA. Tetapi dia nggak pernah melihatku.”
Separuh cewek di sekolah itu naksir padanya, batin Nina. Mungkin aku juga bakal naksir padanya kalau aku tak tahu diri.
Nina sadar ia berada di liga yang berbeda. Ia anak petani miskin. Yah orang-orang bilang ia cantik dan pandai. Tetapi memangnya kenapa? Banyak cewek lain yang juga cantik dan pandai. Benar, beberapa cowok mendekatinya, tetapi memangnya kenapa? Semua cowok remaja dikuasai hormon yang membuat mereka blingsatan melihat makhluk dengan dada yang mulai membukit.
Nina merasa ia tak pantas untuk mereka, untuk lingkungannya sebenarnya. Ia lebih banyak menarik diri. Lebih suka menyepi di perpustakaan daripada mengobrol di kantin. Ia heran sendiri ketika Lilian mau duduk di sampingnya di hari pertama SMA dan tidak pindah pada hari berikutnya. Cewek itu jadi teman kelompoknya dalam tugas fisika, membocorkan rahasia mengenai cowok-cowok yang naksir padanya atau ditaksirnya. Ia ikut ketika Lilian pulang ke rumah orang tuanya di sebuah desa di Kulonprogo –dan mengagumi setiap pohon, setiap kerikil di sana—Orang kaya memang aneh, pikir Nina.
Lilian dengan sigap mengantar Nina ke klinik saat kaki Nina terkilir waktu bermain voli. Juga membayar iuran SPP-nya saat orang tua Nina benar-benar sedang tak punya uang. “Santai saja, itulah gunanya teman,” kata Lilian saat Nina berterima kasih untuk kesekian kalinya.
Teman? Aneh sekali cewek berkasta tinggi seperti Lilian mau berteman dengannya, pikir Nina. Tetapi yah, mengapa tidak? Lilian butuh teman yang tak banyak tingkah. Yang mau saja mendengar semua curhat remehnya. Yang rela mengerjakan esai bahasa Indonesia yang bagi Lilian buram sama sekali. Yang bersedia menemaninya menemui cowok-cowok yang dikenalnya lewat media sosial. Yah, mungkin ini semua sekadar hubungan mutualisme, pikir Nina dan pikiran itu melegakannya.
“Waktu Jerry dekat padamu, semua cewek iri, Nin.” Lilian menyeruput kopinya perlahan. Gerakannya sangat halus dan sangat… ningrat.
“Walaupun mereka tahu kami dekat untuk urusan mengisi formulir dan melengkapi berkas? Absurd.” Berbeda dari Lilian, Nina meneguk es susu kopinya dengan tegukan-tegukan besar.
“Aku pun diam-diam iri dan sempat berpikir, aduh duh, andaikan aku bisa mendaftar lewat jalur beasiswa juga,” Lilian tertawa kecil. Tawanya pun gemericik menyenangkan.
Kentut, batin Nina. Kamu seumur-umur tak pernah harus naik bus kota ingin, tapi pengin jadi cewek melarat sepertiku?
Ayah Jerry adalah salah satu pejabat universitas yang bertanggung jawab atas pendaftaran mahasiswa baru lewat jalur beasiswa.
“Jadi kamu yakin mau menikah dengan Jerry?” tanya Nina lagi. Tangannya sedikit gemetar saat mengangkat gelas.
Lilian meletakkan cangkirnya di atas meja kayu bergaya rustic. Denting kecil bergema. “Nin, sebenarnya ada apa?” Lilian memandang Nina intens.
“Eh, nggak ada apa-apa. Hanya ingin memastikan.” Nina kembali memainkan garpu di atas salad.
“Kamu seperti meragukanku. Meragukan kami.” Kini Lilian terdengar menyelidik.
“Sorry Lil. Beneran nggak ada apa-apa.” Bohong besar. Mana keberanian yang sudah kukumpulkan tadi? Nina merutuk dalam hati. “Mungkin aku cuma… panik. Sahabatku akan menikah. Itu sesuatu yang besar bagiku.”
“Oh,” Lilian mengelus punggung tangan Nina pelan. Cincin bermata kecil itu berkilau ditimpa sinar lampu. “Maaf, Nin. Aku terlalu fokus pada diriku sendiri. Keluarga Jerry akan datang minggu depan, jadi semuanya rada hectic.”
Nina mengangguk, berusaha tersenyum yang ia harap tampak penuh pengertian.
“Tapi aku paham. Kalau kamu akan menikah dengan Vino aku pasti juga bakal lebai. Yang btw, kapan?” Lilian menarik tangannya. Satu matanya mengedip.
Nina mengangkat bahu. “Belum tahu. Kami belum berpikir ke situ. Ya ampun, kami baru pacaran enam bulan. Tapi Lil, kalau kamu tahu sesuatu tentang Vino, sesuatu yang buruk maksudku, kamu pasti akan memberi tahuku, kan?”
Lilian mengerutkan alis. “Buruk? maksudmu bila entah gimana aku tahu Vino kena HIV atau ternyata kecanduan mobile legend? Sesuatu seperti itu?”
Nina terdiam beberapa saat, “Yah, mungkin sesuatu seperti itu.”
“Oke. Kamu juga akan memberi tahu ku kan kalau ada sesuatu yang aneh pada diri Jerry?”
“Eh…”
“Hei, kamu dulu kan pernah dekat dengannya. Kamu tahu rahasia kotornya?”
“Rahasia kotor? Bukannya kalau ada kamu nggak bakal pengin tahu?”
“Tentu aku pengin tahu, mumpung kami belum nikah. Kan berabe kalau aku tahunya setelah nikah. Sepupuku baru tahu kalau suaminya suka judi online setelah mereka nikah. Kan parah banget.”
“Yah, Jerry nggak suka judi setahuku. Hanya setahuku. Sudah bertahun-tahun kami nggak berkomunikasi.”
Sebenarnya dia mengirimiku pesan beberapa kali, termasuk saat kalian mulai pacaran, tetapi semua kuhapus tanpa benar-benar kubaca.
“Jadi kasih tahu dong, dia dulu pernah pacaran sama siapa aja?”
“Aku nggak tahu. Seharusnya kamu yang lebih tahu. Kamu yang pacaran dengannya kan?”
“Dia pernah ngobat? Atau nyabu? Dia dulu gabung klub teater mahasiswa dan kamu kan tahu gimana anak-anak teater.”
“Sumpah, Lil. Aku nggak tahu apa-apa.” Kini Nina menyesal telah mengungkit topik ini. Tetapi tak mungkin ia tak menyinggungnya. Itulah tujuan awalnya ia mengajak Lilian bertemu. Ada suatu rahasia yang ingin sekali ia ungkap. Tadi ia bertekad untuk mengungkapnnya, sebelum semua terlambat. Tetapi kini keberanian itu menguap seluruhnya. Mungkin tak semua rahasia harus terungkap. Mungkin sebagian rahasia harus tetap menjadi rahasia.
Lilian dan Nina menghabiskan malam itu dengan mencakapkan masalah-masalah ringan. Gosip-gosip di seputar kampus. Pasien-pasien Lilian. Penelitian Nina. Make-up yang sedang naik daun. Itu jauh lebih gampang daripada membicarakan Jerry, Vino, acara lamaran atau gaun pengantin. Nina tak tahu bagaimana ia bisa mengikuti pembicaraan itu sementara pikirannya melayang-layang. Mestinya ia hanya banyak mengiyakan dan sekali-sekali melempar pertanyaan, “Oya? Terus bagaimana?”
“Ah, Jerry sudah dekat,” Lilian melihat handphone-nya. “Well, senang bertemu denganmu, Nin. Sangat senang. Kita harus membuat pertemuan semacam ini rutin.”
“Kamu… dijemput?” Nina mendadak blingsatan.
“Ya, mobilku dibawa Jerry.”
“Oh.” Seharusnya aku sudah menduga ini. Bagaimana pun mereka pacaran.
“Nin,” tiba-tiba Lilian mencondongkan tubuh. “Kamu nggak papa kan aku… mmm… menikah lebih dulu?”
“Ha? Astaga, tentu saja aku tidak keberatan. Ya ampun kau khawatir aku marah atau cemburu?” Pertanyaan Lilian benar-benar di luar dugaan Nina.
Lilian tertawa kikuk,“Yah, kita bersahabat sejak dulu. Aku tahu kamu selalu mendukungku dalam hal apa pun. Tetapi aku merasa… mungkin cuma perasaanku saja, kamu nggak begitu antusias soal hubunganku dengan Jerry.”
Ya ampun, apakah sikapku sekentara itu?
“Oh, maaf. Tapi aku memang sibuk akhir-akhir ini. Kamu juga, kan?” Ini jawaban yang tidak ada hubungannya, Nina tahu itu, tapi biarlah.
“Aku senang akhirnya kamu bertemu Vino. Kayaknya dia baik. Semoga aku bisa segera bertemu dengannya.”
Nina tersenyum tipis. “Kapan-kapan ya. Aku sendiri belum begitu mantap menjalani hubungan kami.” Jerry segera datang, sebaiknya aku segera kabur.
“Nin, please. Kamu nggak pernah mantap dengan pria mana pun. Dan sudah lama sekali kamu bahkan nggak punya teman dekat pria. Jangan bilang kamu terlalu sibuk.”
“Tetapi aku memang sibuk,” tukas Nina cepat, “aku sibuk menyelamatkan dunia ini dari malaria dan demam tifoid. Agar dokter-dokter kayak kamu ini tidak terlalu kewalahan. Sudah ya, aku harus cabut, nih.”
Lilian tertawa kecil. “Ah, ya. Enam bulan itu waktu yang cukup lho Nin. Aku baru lima bulan pacaran dengan Jerry. “
Kamu bisa saja mengenal seseorang seumur hidupmu, tetapi tetap saja ada rahasia-rahasia yang kamu tak akan pernah tahu.
“Ah, itu Jerry,” mata Lilian mengarah ke lapangan parkir. Sebuah sedan hitam baru saja masuk, mengedipkan lampu depan sekilas. Perut Nina spontan terpelintir.
“Kamu mau ketemu dia sebentar?” Lilian merengkuh bahu Nina.
“Ah, tidak usah. Kalian pasti buru-buru.”
“Tidak kok, dan Jerry ingin bertemu denganmu.”
“Oya? Ugh, sayang sekali akulah yang harus buru-buru. Aku harus mampir ke Gramedia sebelum tokonya tutup. Aku cabut, ya. Trim Lil. Have fun. Sampai ketemu lagi.”
Nina menyodoran pipinya ke pipi Lilian sekilas tanpa benar-benar menyentuhnya lalu melesat keluar dari kafe. Jaketnya hanya ia sampirkan di lengan, tak sempat ia kenakan. Nina memacu motornya segera. Ia bahkan tak sempat membalas lambaian tangan Lilian dari jendela mobil. Sepintas ia melihat sosok itu; Jerry dan jantungnya langsung berdegup kencang.
***
“Nina, hai, bangun, Nin.”
“Hah! Ngapain kamu di sini! Pergi!” Nina terlonjak. Ia cengkeram selimutnya erat-erat dan mundur cepat-cepat hingga punggungnya membentur dinding.
“Hei ini aku.” Vino tercengang dan kebingungan. Mengapa Nina sepanik itu? Vino berusaha menjangkau lengan Nina yang mulai mengepal dan meninju-ninju udara.
“Mau ngapain kau di kamarku? Jangan macam-macam, kamu!” Nina menjerit. Beberapa teman kos Nina yang kebetulan melintas di depan kamarnya berhenti dan melongok. Vino yang kini berdiri kelihatan kikuk dan tersenyum pada orang-orang itu. “Maaf, saya cuma ada perlu dikit dengan Nina.”
Orang-orang itu melipir tanpa suara dan Vino langsung mengomel, “Apaan sih kamu Nin. Pakai teriak-teriak segala macam aku ini penjahat kelamin. Aku sudah mengetuk pintumu dari tadi, tapi kamu nggak bangun-bangun. Kupikir kamu pingsan atau gimana. Ini sudah jam delapan kurang dikit. Kamu nggak mau ngantor?”
BERSAMBUNG|
Niken Terate
Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.