When I come home, my daughter will run to the door and give me a big hug, and everything that’s happened that day just melts away.
Hugh Jackman

Hari Tanpa Mengeluh

author
Ken Terate
Sabtu, 13 Juli 2019 | 20:00 WIB
Traveling bersama keluarga | SHUTTERSTOCK

Malam itu saya, suami, dan dua anak kami baru saja selesai belanja di salah satu toko bahan bangunan. Kami semua kelaparan, namun tak tahu restoran apa di dekat, masih buka, dan sesuai selera. Lewat Google map, akhirnya kami tahu ada restoran Manado yang jauhnya hanya empat menit dari toko. “Wah, restoran Manado sih nggak mungkin nggak cocok.”

Suami pun mengarahkan kendaraan sesuai map, tapi waduh, ternyata ada pengaturan jalan yang membuat kami harus putar balik dan lewat jalan lain yang lumayan jauh. Setelah berputar, kami menemukan jalan kecil tembus ke restoran yang kami tuju, tapi waduh, jalan kecil itu ditutup karena ada hajat pernikahan. Kami mencari jalan alternatif lagi, masuk gang kampung. Si adik (4 th) mulai merengek, “Lapar, lapar! Kenapa jauh banget? Kenapa jalannya kecil dan gelap?”

“Sabar ya, sebentar lagi kita sampai. Yuk, jadikan hari ini Hari Tanpa Mengeluh,” sahut saya yang sebenarnya juga mulai capek. Keluhan si kecil membuat saya makin sewot.  

“Ya, Bu,” si kakak (8 th) berkata. “Aku nggak pantas mengeluh karena hari ini aku dapat kamar baru.” Kebetulan hari itu ia resmi menghuni kamarnya sendiri setelah kamar tersebut kelar direnovasi.

Aduh, mak jleb banget. Anak kecil itu justru lebih bijak daripada saya. Seharian ini kami sibuk, tapi gembira. Si kakak tahu benar bahwa kegembiraan kami tak seharusnya rusak oleh hambatan-hambatan remeh.

“Ah ya, kamu benar.” Perasaan saya mendadak lebih ringan. “Kita coba cari restorannya, tetapi kalau nggak ketemu, kita makan di tempat makan mana saja ya.”

Soal ide Hari Tanpa Mengeluh sendiri saya dapatkan setelah membaca postingan di medsos.

Suatu hari saya membaca di Facebook tentang pasangan ekspatriat yang memutuskan untuk tak lagi mengeluh dalam menjalani hari-hari mereka. Pasangan itu bepergian ke berbagai negara termasuk Indonesia dan mampir ke Bali. Ketika ada orang bilang, “Ah, kamu beli souvenir dengan harga segitu? Kemahalan tuh.” Pasangan ini cuma tersenyum. Ketika terhadang macet, mereka juga bersikap santai. Hingga suatu saat seseorang –penulis kisah tersebut-- bertanya bagaimana mereka tetap nyantai dalam situasi yang membuat orang lain uring-uringan. Pasangan tersebut bercerita bahwa sebelumnya mereka memiliki semuanya; pekerjaan mapan, uang berlimpah, dan sebagainya. Namun mereka sering merasa tegang dan tidak bahagia. Setelah berpikir dan berdiskusi, mereka akhirnya memutuskan untuk berhenti mengeluh.

Saya terkesan dengan cerita tersebut dan mencoba menerapkannya untuk keluarga. Tidak secara penuh, sih karena saya dan suami percaya mengeluh dalam kondisi-kondisi tertentu memiliki efek baik yang menyehatkan. Selama tidak berlebihan dan jadi kebiasaan, oke-oke saja mengeluh.

Baca juga: Jangan Ada ‘Permainan’ di Antara Kita

Hari Tanpa Mengeluh kami terapkan pada saat-saat istimewa, misalnya saat berwisata, silaturahmi ke keluarga besar, atau kemping. Tujuan kami adalah bersenang-senang, namun kami tahu ada banyak potensi yang bisa bikin kami bête. Di tempat wisata, mungkin pengunjungnya terlalu banyak. Dalam silaturahmi keluarga besar, mungkin ada saudara yang menjengkelkan, dan di tempat kemping bisa jadi airnya terlalu dingin atau rumputnya bikin gatal. Yang sepele ini bisa membuat seluruh suasana rusak bila terlalu ‘diambil hati’ dan dijadikan alasan buat mengeluh.

Beberapa kali kami menerapkan Hari Tanpa Mengeluh ini dan hasilnya memang luar biasa. Ketika mobil terjebak macet, kami bisa tetap duduk santai sambil bernyanyi. Hujan maupun panas bisa kami terima dengan sukacita. Ada hal-hal yang nggak bisa kita ubah, tetapi kita bisa menentukan cara kita menyikapinya. Saat kita memilih untuk tidak mengeluhkan hal-hal sepele, ternyata kita bisa hidup kita terasa lebih ringan.

 

 

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi