Menikah adalah sebuah ikatan suci yang tidak bisa diputuskan begitu saja. Butuh pengenalan dan observasi mendalam sebelum memutuskan menikahi orang yang kita cintai. Bagaimana cara men-scan karakter calon pasangan hidup?
Setiap orang pasti memiliki preferensi tentang pasangan hidup seperti apa yang diidam-idamkan. “Tetapi preferensi ini jangan sampai menjadi “harus,” karena pada kenyataannya kita tidak bakal bisa menemukan pasangan yang sesuai dengan preferensi kita,” jelas Widya Risnawaty, M.Psi., psikolog klinis dari Lembaga Konsultan Psikologi Morphosa, Jakarta.
Jadi, sejak awal kita harus menyiapkan mindset bahwa meski punya kriteria calon pasangan hidup, tetapi belum tentu kita bisa mendapat pasangan yang kriterianya persis seperti yang kita impikan. Tanpa mindset ini, bisa-bisa kita menjadi terlalu demanding atau terbutakan.
Demanding itu misalnya menemukan pasangan yang 50% sesuai kriteria, tetapi 50% lainnya tidak. Namun, akhirnya dipilih juga sebagai suami/istri dengan harapan bisa berubah. “Akhirnya dipaksa supaya bisa berubah menjadi seperti yang kita inginkan, akibatnya jadi banyak menuntut. Ini membuat relasi menjadi tak sehat.”
Baca juga: 6 Rahasia Pasangan Yang Sering Tak Kita Ketahui
Selain demanding, bisa juga kita jadi terbutakan. Karena menginginkan sosok tertentu seperti yang kita impikan, maka kemudian mengabaikan hal-hal yang tidak sesuai dengan kriteria. Contoh, kriteria kita adalah pasangan yang penuh perhatian. Ternyata, kita menemukan seseorang yang memang sangat perhatian, tetapi di sisi lain terlalu banyak menuntut. Karena sudah menemukan pria yang perhatian, faktor 'terlalu menuntut' ini lantas diabaikan.
Tak heran jika pada beberapa kasus sering muncul kalimat, ‘Dulu dia perhatian lho, nggak nyangka sekarang jadi begini.’ Padahal, ketika pacaran, ciri atau karakter ‘terlalu menuntut’ ini sebetulnya sudah muncul tetapi diabaikan karena sudah menemukan karakter ‘penuh perhatian’ yang sesuai dengan kriteria.
Selain preferensi dan mindset yang tidak “harus,” ada indikator lain yang bisa dijadikan patokan memilih calon pasangan hidup. Yang pertama adalah sehat mental. “Sehat mental dalam arti seluruh fungsi pengelolaan emosi, pengelolaan masalah, fungsi sosial, dan yang lainnya berfungsi baik,” jelas Widya.
Berikutnya adalah kemauan untuk bekerjasama sebagai satu tim. Pernikahan tidak bisa berdiri sendiri, harus ada tim, partnership antara suami dan istri. Harus ada kemauan dan kerelaan untuk bekerjasama dengan pasangan. “Dalam kerjasama itu kan, pasti ada unsur tanggung jawab, kepedulian, inisiatif, kerelaan untuk memberi, dan yang lainnya,” kata Widya.
Indikator lain adalah kemampuan berpikir kritis, fokus pada problem solving. “Bisa nggak dia memecahkan masalah? Ini bisa dilihat saat pacaran, bagaimana dia memecahkan masalah yang dihadapi. Tinggal kitanya cocok apa nggak dengan caranya menyelesaikan masalah, serta sejauh mana kita bisa menoleransi seandainya kelak dia jadi pasangan hidup kita.”
Baca juga: 5 Alasan Menikahi Sahabat Itu Ternyata Positif
Tak jarang, di awal hubungan, sepasang suami istri mengaku sudah sama-sama cocok satu sama lain. “Nah, cocoknya ini yang harus dibreakdown. Tak sedikit pasangan yang setelah menikah 1-2 tahun lantas bilang tidak ada kecocokan lagi dan bercerai,” tambah Widya.
Yang juga perlu disadari adalah sifat atau karakter itu tidak menetap. Dalam perjalanan pernikahan, sangat mungkin karakter seseorang berubah. Yang ditemukan di awal ketika pacaran bisa berubah setelah menjalani rumah tangga.
Biasanya, momen awal sebuah hubungan adalah momen identifikasi, saling mengenal. “Pada saat ini yang muncul adalah lapisan paling luar dari karakter seseorang. Untuk menelusuri dan mengenali lebih jauh karakter aslinya, butuh banyak pertemuan dan mempertajam keterampilan observasi serta pengamatan,” lanjutnya.