“KAMU harus ke dokter. Aku nggak menerima jawaban tidak!” Vino berkeras. Tadi siang Nina pingsan di kampus. Ia ditemukan tergeletak di belakang gedung. Setelah ia siuman, rekan-rekannya mendesak untuk membawanya ke klinik. Nina menolak dan meminta diantar pulang. Vino yang tak mendapat respon atas semua WA yang ia kirim mulai cemas dan mengeceknya ke kampus, mendapat informasi, lalu segera melaju ke kos kekasihnya.
Lima belas menit kemudian ia sudah menemukan Nina terbaring di kamar, lemas, pucat, sembap dan lembap oleh keringat. Nina bahkan tak mampu mengganti baju kerjanya. Vino bisa mencium samar-samar bau muntahan di baju itu.
“Aku nggak pa-pa. Cuma kecapekan aja,” Nina menyahut lemas.
“Nggak mungkin. Tadi pagi kamu baik-baik aja. Kemarin kamu baik-baik saja. Kamu bahkan bersumpah-sumpah nggak nglembur lagi. Ayo ke dokter. Pilih klinik yang paling kamu suka atau ya ampun, kamu punya banyak teman dokter. Tunjuk siapa yang membuatmu nyaman.”
Nina menggeleng lagi.
“Oke, kalau gitu mandi atau makan.”
“Aku mau tidur aja. Tolong ya Vin. Aku butuh sendiri. Kamu keluar, deh. Besok aku pasti sembuh.”
Vino mengembuskan napas frustrasi. “Oke, baiklah. Asalkan kamu bener-bener istirahat.”
Nina mengangguk. Dari matanya yang setengah terpejam ia melihat cowok itu keluar kamar dan menutup pintu. Ya ampun, aku benar-benar baik dan tak pantas mendapatkan semua ini. Mungkin lebih baik bila ia meninggalkanku. Nina merasa jahat sekaligus takut pada pemuda itu. Ia takut mengecewakan cowok itu. Ia cemas bakal membuat kekasihnya terluka. Ia merasa nista sekaligus terkekang. Ia ingin lepas sekaligus takut kehilangan. Betapa rumitnya.
Perasaan-perasaan itu begitu menguras energi hingga Nina jatuh tertidur, tetapi lagi-lagi tersentak ketika lehernya tercekik.
“Jangan sentuh aku! Bajingan!”
“Astaga, Nin. Ini aku. Sorry membangunkanmu, tetapi kamu meracau dan menggigil.”
Lilian. Mengapa ia di kamar ini? Astaga. Betapa memalukan. Sejak Lilian pindah ke kos ini, Lilian belum pernah berkunjung sekali pun. Kos ini lebih baik daripada kos yang ia huni semasa mahasiswa, tetapi sebenarnya tak layak untuk perempuan berpenghasilan seperti dirinya. Namun, Lilian tampaknya tak peduli soal itu. Mata cokelatnya yang cemerlang menatap Nina cemas, “Kita ke UGD, Nin. Harus. Vino akan menggendongmu.”
“Vino meneleponku,” Lilian berkata dari kursi depan, sementara Nina terduduk lemas di kursi belakang di samping Vino. Nina menatap sebal pada pacarnya, tetapi Nino membalas dengan tatapan yang tak kalah tajamnya. Vino pastilah mencari kontak Lilian di handphone-nya. Sialan mengapa ia tak pernah memasang kunci di gawai itu? Vino tahu Lilianlah sahabat sekaligus dokter yang paling dekat dengannya. Nina beberapa kali bercerita tentang Lilian.
“Dia melakukan hal yang tepat! Seharusnya sejak siang tadi kamu dilarikan ke UGD. Pingsan di kantor? Itu tak bisa diabaikan, Nin. Tekanan darahmu dan detak jantungmu normal-normal saja waktu kuperiksa tadi. Jadi pasti ada sesuatu yang lain. Kita tes lab nanti.”
“Aku baik-baik saja. Lihat aku baik-baik saja sekarang,” Nina menguatkan diri. “Aku sudah bisa ganti baju dan cuci muka. Aku cuma….merasa… “ Astaga, mendadak mobil itu terasa berputar. “Stop. Stop!” Untuk entah ke berapa kalinya, Nina kembali terkulai, mual dan pusing menyerangnya lagi.
***
“Psikosomatis. Mungkin.” Dari pembaringan, samar-samar Nina mendengar suara Lilian. “Semua tanda vitalnya baik. Hasil tes lab juga baik.”
Ini konyol sekali. Malam tadi Nina dipaksa menginap di klinik dan pagi ini ternyata semua baik-baik saja?
“Apakah kalian mmm… punya masalah?” Nina mendengar suara Lilian lagi. Hah, nggak usah berlagak jadi psikolog, deh! Ia ingin bangun dan mengatakannya langsung, tetapi tak mampu. Badannya terlalu lemah dan lidahnya terasa pahit.
“Tidak. Setahuku tidak.” Itu sahutan Vino.
“Atau kau tahu dia punya masalah? Di kantor mungkin? Atau di keluarganya?”
Nina tak mendengar apa pun kecuali desahan. Mungkin Vino menggeleng. “Dia tak pernah cerita apa-apa. Yang kurasa aneh juga. Kami lebih suka membicarakan pekerjaan, film, buku, dan politik saat bertemu.”
“Haha, dasar pasangan intelektual. Aku jadi tahu mengapa Nina suka padamu.”
Ah, apakah Lilian mengerling genit? Menyentuh lengan Vino lembut? Dari dulu Lilian selalu ingin merebut apa yang kumiliki; perhatian dari guru, prestasiku, surat cinta yang dikirimkan cowok padaku, kencantikanku, Jerry. Ia tak selalu bisa mendapatkannya tentu saja. Tapi aku tahu dia menginginkannya. Yang sangat menggelikan karena ia memiliki jauh lebih banyak dariku. Dia memiliki segalanya! Aku bakal menendangnya bila ia mencoba-coba merayu Vino.
“Tolong sarankan dia ke psikolog ya, Vin. Aku bisa menyarankan beberapa nama. Akan kukirimkan padamu kontaknya. Berapa nomor WA-mu?”
Edan! Dia bahkan tak berhenti ketika aku terbaring tak berdaya.
***
Bahu Nina terguncang. Sekuat apa pun tangannya mendekap dada, gigilan itu tak bisa berhenti. Ruangan bercat krem pastel itu mengabur. Demikian juga Renata, psikolog yang duduk di sampingnya di atas sofa.
“Nina, kamu baik-baik saja?” Renata terdengar cemas.
“Aku… aku pernah… dip… diper… kosa.”
Blar!
Batu besar yang menindih dadanya itu akhirnya meledak berkeping-keping. Lepas.
Gumpalan yang menyumbat nadinya tersembur keluar.
Butuh energi ekstra besar untuk menyingkirkan semua itu hingga Nina terkulai lemas. Lemas tapi lega.
“Oke,” Renata berkata lembut. “Kamu mau menceritakannya lebih detail?”
Nina menggeleng. Air matanya terus mengucur tanpa bisa ia kendalikan. Potongan-potongan itu datang lagi. Menyerbunya tanpa ampun. Seperti pisau yang mengiris-iris kembali luka yang belum sepenuhnya pulih. Luka yang tak akan pernah pulih.
“Dia kakak kelasku,” Nina berkata perlahan setelah tangisnya selama sepuluh menit tanpa jeda akhirnya reda. “Sebenarnya aku sudah lumayan… maksudku… aku tak lagi dihantui mimpi-mimpi buruk. Dan aku mulai bisa… berdekatan dengan… laki-laki. Tetapi tiba-tiba dia datang lagi. Jadi pacar sahabatku. Dan aku harus datang ke pernikahan mereka. Aku tak bisa. Aku tak bisa.”
“Kau tak harus datang,” Renata berkata lagi, “Tetapi bukan itu masalah utamanya. Masalah utamanya adalah menyembuhkan luka batinmu. Ini sudah menjadi awal yang hebat untuk kesembuhanmu. Nah, kamu mau teh atau kopi?”
***
Sebagai dokter, Nina tahu ia butuh pertolongan. Setelah serangan itu, ia praktis tak berfungsi. Ia hanya menginap semalam di rumah sakit karena mereka tak bisa menemukan kelainan apa pun. Tetapi nyatanya mual-mual dan vertigo datang dan pergi. Obat-obatan hanya menghilangkan gejala dan justru menambah masalah; nyeri lambung dan kekeringan di mulut.
Setelah tiga malam berturut-turut mengalami insomnia, ia beralih ke psikiater. Obat penenang hanya menolongnya beberapa saat dan Nina tahu betul ia tak boleh bergantung pada obat-obatan itu. Seminggu total ia tak masuk kantor dan untunglah atasannya mengerti. Tetapi Nina tahu kebaikan atasannya akan terbentur peraturan. Ia bakal dipecat bila begini terus. Dipecat bukan masalah besar. Nina bisa dengan mudah mendapat pekerjaan di mana pun. Atau ia bisa mengurus izin praktiknya dan mulai melayani pasien, meski tak ingin melakukannya.
Sejak kuliah dulu Nina lebih tertarik pada pengajaran dan penelitian. Ia lebih suka membaca dan menulis jurnal dibanding berjaga di UGD. Beberapa dosen memperhatikan minatnya dan dengan senang hati menerimanya bergabung di departemen riset kampus begitu ia lulus. Orang tuanya bingung ketika Nina menjelaskan ia tak bekerja di rumah sakit, tetapi itu toh tak mengurangi kebanggaan mereka. Nina tetap punya title dr di depan namanya. Tiap bulan ada uang yang dikirimkan. Itu sudah cukup.
Lalu Nina menyadari perlahan ia bakal kehilangan semua itu. Mungkin ia tak bisa meneruskan kuliah S2. Dan itu artinya ia tak bisa jadi dosen. Tetapi lagi-lagi itu bukan masalah besar. Yang ia takutkan adalah ia bakal kehilangan dirinya sendiri bila ia tak segera mendapat pertolongan. Jadi ia mencari psikolog. Bukan yang direkomendasikan Lilian tentu saja. Psikolog memegang sumpah kerahasiaan, Nina tahu, tetapi ia tetap merasa tak aman bila datang ke psikolog yang kenal dengan Lilian.
“Dia kakak kelasku, pelatih paskibra. Orangnya ganteng dan simpatik. Banyak cewek naksir padanya, tapi aku tak berani naksir dia. Aku anak petani miskin. Sementara dia anak pejabat universitas.”
Di sesi kedua dengan Renata, meski masih tegang, setidaknya Nina sudah tidak menangis lagi.
“Aku sudah nyaris melupakannya. Nyaris. Kita tidak akan pernah bisa melupakan kepahitan semacam itu. Kepahitan itu selamanya akan tersisa di lidahmu, tak bisa hilang meski kau telah menggelontorkan bergelas-gelas air gula. Awalnya aku bahkan tak bisa melihat sore yang mendung tanpa menggigil.”
***
Sore itu mendung dan Nina cemas menatap langit. Ia mempertimbangkan untuk membatalkan janjinya dengan Jerry, tetapi ia sungkan. Bagaimana pun Jerry sudah bersusah payah membantunya. Ia sudah mengecek berkas-berkas yang harus dikumpulkan oleh Nina. Ia juga akan meminjamkan komputer dan internetnya untuk mengisi aplikasi. Selain itu ia sudah meminta ayahnya untuk membuat surat rekomendasi. Nina agak bingung sebenarnya. Tak ada yang aturan yang mengharuskan adanya surat rekomendasi kecuali surat rekomendasi dari kepala sekolah. Tapi Jerry meyakinkan rekomendasi dari ayahnya akan menjadi jaminan lolosnya Nina lewat jalur beasiswa.
"Aku tak ingin curang. Aku butuh beasiswa itu, tetapi aku tak mau pakai surat sakti.”
“Astaga tidak. Surat itu hanya diterbitkan untuk siswa-siswa yang jelas memenuhi syarat. Ini hanya semacam penguat. Nah, datang saja. Bagus sekali kalau kamu bisa bertemu ayahku. Itu juga bukan hal yang aneh. Semua calon penerima beasiswa juga akan diwawancarai dan disurvei. Kalau sudah bicara dengan ayahku, kau akan dapat gambaran wawancaranya. Pokoknya datang saja dululah.”
Akhirnya dengan meminjam motor butut pakdhenya, Nina datang ke rumah Jerry. Gerimis sempat turun dan Nina tidak membawa jas hujan. Hingga kini Nina berandai-andai jika saja ia mengalah pada mendung. Mungkin bencana itu tak akan pernah terjadi.
Jerry sendiri yang membuka pintu dan menyambutnya dengan ramah. Setelah berbasa-basi sebentar Jerry mengundangnya masuk kamar untuk menyelesaikan pengisian aplikasi.
“Di kamar kakak?” Nina bertanya heran.
Rumah Jerry besar dan sepi. Jerry bilang ayah dan ibunya sedang pergi dan akan pulang sebentar lagi.
“Ya, komputerku ada di kamar.”
Nina ragu-ragu. Tetapi Jerry baik. Mestinya tak ada yang perlu ia khawatirkan.
BERSAMBUNG|
Niken Terate
Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.