Tak sekali dua kali saya membaca di medsos tentang kegusaran orang-orang gara-gara terganggu oleh tingkah polah anak kecil di bioskop. Saya memaklumi kekesalan mereka. Sudah membayar tiket mahal dan berharap mendapat hiburan paripurna, eh ada anak yang berisik; teriak-teriak, menangis nggak henti-henti, nanya ini itu dengan volume suara tinggi, loncat-loncat di kursi, bahkan lari-lari di depan layar.
Tak jarang akhirnya ada penonton yang menegur si ortu yang dianggap tidak sensible karena membawa anak di bawah umur yang belum bisa behave ke dalam ruang teater. Si ortu nggak terima, lalu terjadilah percekcokan. Yang rugi? Semua, saya kira.
Saya dan suami penyuka tontonan layar lebar. Sebelum punya anak, kami sering banget nonton berdua. Setelah punya anak? Hiks, total enam tahun saya tak menginjak bioskop. Suami kadang nonton bareng teman-temannya, tetapi itu pun cuma sekali dua.
Baca juga: Stop Nyampah Di Bioskop
Ketika si sulung berusia enam tahun dan kami nilai sudah bisa menikmati film layar lebar, ayahnya mengajaknya nonton film anak-anak di bioskop untuk pertama kali. Sudah bisa nonton itu berarti: dia tidak takut gelap, dia bisa duduk tenang selama sembilan puluh menit dan bisa mengikuti aturan (misal untuk tidak bicara keras di dalam ruangan). Saya tidak ikut menonton kala itu karena… yak, ada si adik yang masih berusia dua tahun dan BELUM memenuhi SEMUA kriteria itu.
Setelah itu --setelah enam tahun puasa bioskop-- saya akhirnya bisa nonton lagi… SENDIRI. Si Ayah menjaga kakak dan adik di rumah. Akhirnya ini menjadi pola yang kami tetapkan berkaitan dengan menonton bioskop; bergantian. Pernah si ayah nonton sendiri, sementara saya dan anak-anak nungguin sambil main di mal.
Baca juga: Anak Usia 3-5 Tahun, Life Skill Apa Saja yang Wajib Dimiliki?
Bila ada film anak-anak yang ingin ditonton si kakak dan kami izinkan, saya dan suami berembuk siapa yang akan menemani. Belum pernah kami full team nonton berempat karena si adik kami anggap belum saatnya menikmati hiburan semacam ini. Tak mengapa, akan ada saatnya nanti.
Ada nggak perasaan kesal karena melewatkan film-film keren dari layar hebat selama bertahun-tahun, bahkan sampai sekarang? Nggak lah. Bertahun-tahun kami menanti sebelum mendapatkan si sulung. Kamilah yang menginginkan anak-anak. Begitu saya dinyatakan hamil, kami berdua sudah siap menyambut perubahan. Saya siap terbangun tengah malam untuk menyusui. Si ayah siap mengantar anak-anak ke stasiun buat melihat kereta api meski ia lelah sepulang kerja (anak-anak saya hobi melihat kereta api lalu lalang).
Tidak menonton bioskop mah kecil, toh kami masih bisa melihat lewat media lain. Tidak bisa jalan-jalan sesuka hati, harus lebih hemat, harus lebih sabar, dll bukan masalah. Ada kebahagiaan lain yang kami dapatkan. Ada kegiatan-kegiatan yang baru kami tahu keseruannya setelah anak-anak hadir (main tebak-tebakan ‘garing’ sebelum tidur hingga kemping keluarga misalnya).
Pengorbanannya setimpal ya? Um, saya tidak menyebutnya pengorbanan atau risiko. Saya tidak pernah menyebut diri saya berkorban saat lebih memilih membelanjakan uang buat beli baju anak-anak dibanding ke spa. Itu… apa ya… sudah saya anggap sebagai konsekuensi wajar, bahkan indah, dari pilihan saya. Saya sudah memutuskan untuk punya anak. Saya terima semua hak dan kewajiban yang menyertainya. Tidak ada untung, tidak ada rugi.
Bukankah semua pilihan dalam hidup seperti itu? Datang dalam paket hak dan kewajiban yang mesti kita terima dengan lapang dada?