NINA sudah memutuskan untuk menyimpan rahasia itu dan berusaha bergerak maju, menyembuhkan luka-lukanya. Akhirnya ia bisa bertemu dengan Jerry, berkencan ganda dengan mereka tanpa mual-mual. Tetapi sesungguhnya ia berharap bisa pergi ke Sydney lebih cepat hingga punya alasan untuk tidak menghadiri pernikahan memuakkan itu.
“Ini bagus. Aku suka ini. Ambil saja ini,” Nina menjumput kembali kain yang tadi dicampakkan Lilian. Ia hanya ingin acara belanja ini cepat selesai. Masih harus ada rangkaian bunga yang harus dipilih agar cocok dengan gaun bridesmaid lalu setelah itu mengirim kain-kain ini pada masing-masing mereka (ada enam bridesmaid!) disertai contoh desainnya. Astaga, Nina tak pernah tahu tugas bridesmaid ternyata seberat ini. Ia menjadi admin grup ‘Lil’s bridesmaid’ yang kini mulai disesaki dengan obrolan seputar ‘ide gaya foto’ dan ‘tatanan rambut khusus bridesmaid’. Tuhan, ada penelitian tentang obat kanker yang harus ia kerjakan!
“Ungunya kurang shiny.”
Astaga, Nina merutuk dalam hati. Lilian sudah memutuskan ungu untuk gaun bridesmaid. Nina berpikir tugas memilih kain akan mudah, tetapi ternyata ada jutaan macam ungu di dunia ini. Di toko ini pun ada puluhan kain berwarna ungu terong hingga ungu anggrek. Nina merasa bakal mencekik seseorang andai ada yang bilang ungu anggrek pun ada bermacam-macam; anggrek tanah, anggrek bulan, dan entah apa lagi.
“Tidak cocok apanya?” Lilian menyambar kain lagi, lalu menatap Nina.
“Hah?”
“Kamu dan Vino. Tidak cocok apanya?”
Kenapa Lilian kekeuh sekali?
“Yah, banyak.” Banyak. Jawaban yang samar. Bahkan bukan jawaban.
“Omong kosong. Kalian bahkan bisa meneruskan kalimat satu sama lain.”
Ha? Apa iya?
“Aku bisa melihat kalian sangat serasi.”
“Kamu baru bertemu kami beberapa kali.”
“Tapi aku bisa merasakan kalian punya pikiran yang sama. Jadi kenapa kalian putus?”
Nina mendesah putus asa, mengempaskan ujung kain yang dipegangnya. Ia bisa melihat ada pelayan toko yang mulai memperhatikan mereka tak sabar.
“Entahlah. Kami bertengkar. Lalu dia pergi. Mungkin dia menemukan cewek yang lebih baik.”
“Daripada kamu? Mustahil.”
“Kenapa mustahil? Tentu saja banyak cewek yang lebih baik daripada aku. Aku anak petani miskin dari desa…”
“Stop. Kenapa kamu selalu seperti itu? Kenapa kamu selalu menganggap dirimu tak pantas untuk mendapatkan hal-hal baik?”
“Aku… tidak seperti itu.”
“Ya, kamu seperti itu. Kamu menolak masuk KU, mengatakan dirimu tak cukup cerdas. Kamu menolak didekati cowok-cowok, mengatakan kamu tak cukup cantik, tak cukup baik. Kamu tak mau praktik, mengatakan kamu tak cukup mampu. Kamu tak mau ambil spesialis, takut bersaing atau apalah. Entahlah.”
“Itu tidak benar.” Tidak sepenuhnya, setidaknya.
“Well, yeah, mungkin kamu memang tak cukup pantas. Orang-orang selalu membuka pintu. Ingin merengkuhmu karena berpikir kamu akan membuat perbedaan pada diri mereka. Seperti aku. Seperti aku yang memintamu menjadi bridesmaid-ku. Tetapi lagi-lagi kamu bahkan tak menyambutnya dengan gairah yang kuharapkan.”
“Aku…”
“Mungkinkah Vino juga mendapati dirimu seperti itu? Tak cukup bergairah untuk mendampinginya? Padahal kamu bisa. Sangat bisa.”
“Lil, kamu tak berhak menghakimiku! Kamu bahkan tak tahu apa-apa tentangku!”
“Oya? Dan itu salah siapa? Kamu nggak pernah cerita apa pun. Bahkan bila kutanya.” Para pramuniaga mulai saling sikut. Mereka melihat dua orang cewek bertengkar–padahal yang satunya kelihatan siap membelanjakan uangnya untuk bergulung-gulung kain dan kini terancam batal--
Beberapa detik kemudian si cewek mahal berderap keluar dari toko, sementara cewek yang kelihatan seperti pesuruhnya menempel ketat di belakangnya, sambil terus meracau.
“Kupikir kita teman, Nin. Sahabat!” Lilian berteriak, mengempaskan jemari Nina yang mencengkeram pergelangan tangannya.
“Justru karena kita teman aku tidak bisa mengatakannya.”
“Hah. Aneh sekali!” Lilian membalikkan badan dramatis, menatap Nina garang. Mereka kini berada di trotoar yang penuh dengan sesak dengan orang berlalu lalang.
Nina merasa kepalanya akan meledak. Beberapa rahasia seharusnya tetap menjadi rahasia. Tetapi ia tak sanggup lagi menahannya.
“Jerry memperkosaku!”
Lilian membeku. Trotoar itu riuh oleh pedagang kaki lima. Sejenak ia berpikir ia salah dengar. Tapi tidak, kata-kata itu terdengar jernih seolah tersaring dalam saluran tersendiri, terpisah dari keriuhan di sekitarnya.
Apakah mata bisa bergetar? Lilian melihat mata Nina bergetar. Air mata yang menggenang di sana bergetar dan sebentar lagi akan tumpah.
“Jerry… memperkosaku.” Nina mengulangnya. Selirih tadi. Tapi juga sejelas tadi.
Satu. Dua. Tiga detik berlalu. “Itu tidak benar. Kamu memfitnahnya. Kamu cuma iri padaku.” Suara Lilian serak. Pecah.
“Aku tak pernah iri padamu. Luka di dahiku,” Lilian menyingkap poninya, “Bukan karena jatuh dari sepeda.”
***
“Kenapa kamu tak pernah cerita?” Di dalam mobil Lilian menuntut. Terluka.
“Dan orang-orang akan memandangku sebagai cewek yang… ternoda? Yang cacat? Kau pikir itu mudah? Bahkan mengucapkan kata itu… perkosa… sangat sulit bagiku. Butuh bertahun-tahun, butuh konseling, butuh melalui ratusan mimpi buruk.”
“Aku tak percaya Jerry melakukannya.” Lilian masih terpaku. Ia tak sanggup menjalankan mobil.
“Terserah. Tapi ia melakukannya. Di rumahnya. Di kamarnya. Jadi kalaupun Jerry mengakui perbuatannya, ia akan mengatakan aku yang menginginkan. Aku yang mendatanginya. Aku minta maaf, Lil. Tapi… andai kamu memutuskan tetap menikah dengannya, aku tak bisa menghadirinya. Aku tak bisa menjadi pendampingmu. Semoga kalian berbahagia.”
Nina membuka pintu mobil, melangkah ke lapangan parkir yang panas, lalu berjalan tanpa arah. Meninggalkan Lilian yang mungkin sedang terguguk di belakang setir. Saat melangkah, Nina menyadari ia benar-benar tulus saat ia mendoakan mereka berdua bahagia.
***
“Aku sudah siap bicara, Vin. Let’s talk.”
Deburan ombak terdengar seperti musik mistis di telinga Nina. Mistis yang bagus. Butiran pasir hangat dan membelai telapak kaknya. Di sampingnya, Vino duduk dengan posisi yang sama. Lulut tertekuk dan tangan melingkari kaki. Sesekali pemuda itu melemparkan kerang atau kerikil. Sekadar mencari kesibukan. Mereka tak banyak bicara sepanjang perjalanan ke pantai ini. Nina tahu Vino menunggunya. Dan soal menunggu, Vino juara. Dia bisa sabar luar biasa. Kemarin Nina mengirim pesan pada Vino, meminta untuk bertemu. Vino yang mengusulkan pantai ini. Pantai berpasir putih dengan air biru-hijau. Sore itu tak banyak pengunjung yang datang. Hanya ada tiga atau kelompok yang menyebar dan beberapa pasang sejoli.
“I miss you, Vin,” Nina berkata lirih dan untuk pertama kalinya, Nina menyadari ia tak sedang berpura-pura. “Aku kehilanganmu seminggu ini. Kamu sudah jadi bagian penting dalam hidupku ternyata.”
“Butuh aku menjauh ya untuk menyadarinya?” Vino menoleh. Meski tak tersenyum, tak ada kepahitan dalam suaranya.
“Iya,” Nina tertawa kecil. Detik demi detik berlalu tanpa ada yang bicara. Nina mengumpulkan keberanian kembali. Dia sudah berpikir lama. Ia pikir ia tak akan ragu lagi. Ia bakal tenang menyampaikan semua kata yang sudah ia susun dengan cermat. Tetapi tidak. Sore ini, di samping Vino, semuanya buyar kembali. Dia akan mengerti dan akan tetap mencintaiku. Tidak. Mungkin dia akan jijik padaku dan meninggalkanku –yang dapat kumengerti--.
Kelomang putih keluar dari cangkangnya, berjalan cepat, lalu menyembunyikan diri kembali. Mirip diriku saat ini.
“Jadi apa yang ingin kamu ceritakan?”
“Oh.” Nina mendongak. “Tidak mudah menceritakannya.”
“Pasti, Kalau mudah kamu pasti sudah menceritakannya dari dulu.”
“Ini menyakitkan bagiku dan akan menyakitimu.”
Nina tergoda untuk memaksa Vino berjanji, “Janji ya, setelah kamu dengar cerita ini, kamu nggak boleh marah/ sakit/ meninggalkanku.” Tetapi itu tidak adil. Tidak adil memaksa seseorang atas dasar sesuatu yang belum ia ketahui.
“Soal luka di dahiku ini.”
“Kenapa?” Vino menoleh. Alis matanya berkerut dan Nina tersentak. Bahkan dengan wajah serius seperti Vino tetap menawan. Astaga.
“Luka ini bukan gara-gara jatuh dari sepeda.” Astaga. Astaga. Apakah aku akan kehilangan cowok baik ini? Yang tidak mundur meski pernah melihatku muntah dan tak mandi seharian? “Terus gara-gara apa?”
Karang sesuatu. Kena pecahan kaca. Kejatuhan meteor. Dicakar burung beo.
“Aku diperkosa.” Astaga! Dia sudah gila. Ia tak bisa mengendalikan mulutnya. Mungkin karena sudah berlatih sebelumnya. Mungkin karena ia sudah mengatakannya pada Renata, lalu Lilian. Yang kedua dan seterusnya selalu lebih mudah.
Vino terkesiap. Nina bisa melihatnya. Bibirnya mendadak melongo. Matanya melebar dan alisnya naik.
“Oh, Nin, aku… aku sangat…” Nina dapat merasakan kebingungan laki-laki itu. Ia pasti terguncang dan tak bisa menemukan kata-kata yang tepat. Yah, tak ada kata yang tepat.
“It’s ok. Sudah berlalu. Aku sudah move on.”
Move on? Benarkah? Ya, mendadak Nina menyadari ia mengatakan hal yang sebenarnya.
Di antara desau angin dan aroma laut, Nina menceritakan tragedi itu dengan hati-hati dan runtut dan anehnya, semua tak terasa seperti tragedi lagi; hanya masa lalu yang buruk. Ia korban. Posisinya sebenarnya sama dengan korban pencurian atau penjambretan, tetapi tentu saja itu berbeda. Sangat berbeda.
“Tetapi seharusnya aku tak malu, kan? Aku tak bersalah,” Nina menutup ceritanya; memandang Vino tajam.
“Tidak, oh tidak.” Vino merengkuh kepala Nina, mengusap rambutnya lembut. “Aku ikut menyesal, Nin. Pasti berat sekali bagimu.”
“Tidak lagi.” Nina menggenggam tangan Vino, menyadari begitu indahnya tangan lelaki itu. “Aku mengerti bila kini kamu… tak lagi mencintaiku.”
“Ha?” Vino menegakkan tubuh, memandang Nina bingung, “Jangan sekali pun pikiran konyol itu melintas lagi oke. Kamu punya masa lalu, aku juga, tetapi kita berdua… bersama-sama… punya masa depan.”
Mata Nina basah. Aneh sekali karena ia tak menangis sepanjang menuturkan kisahnya, tetapi kini emosinya teraduk mendengar kata ‘masa depan’.
“Terima kasih, Vin untuk… tawarannya.”
“Sama-sama.” Vino mencondongkan tubuhnya. Perlahan bibirnya lembut menyapu bibir Nina. Air mata Nina berderai begitu menyadari ia menikmatinya. Baginya inilah ciuman pertama, yang mengirimkan getar-getar halus hingga ke ubun-ubun. Yang membuat perutnya jungkir balik menyenangkan. Yang membuat ia ingin bertahan dalam rasa itu selamanya.
“I love you, Vin.”
“I love you, Nin. To the moon and back.”
***
Undangan itu berwarna ungu muda, dengan aksen emas. Tebal. Wangi. Mahal. Huruf J dan L terukir dengan tinta emas. Nina membacanya sekilas: dengan segala kerendahan hati mengundang bapak/ibu/saudara untuk menghadiri resepsi pernikahan putra-putri kami, Jerry, Lilian, November, pukul 19.00, hotel Sheraton. Nina sudah tahu.
“Aku ingin kamu datang,”
“Maaf, aku tak bisa.”
“Aku mengerti.”
Sunyi. “Terima kasih sudah menyampaikan undangan ini secara khusus. Doa yang terbaik untuk kalian.”
“Maafkan aku, Nin.”
Nina mengangkat muka. Di kubikel kantornya yang kecil, Lilian duduk di kursi plastik bundar yang Nina seret dari ruangan lain.
“Kamu nggak salah,” Nina tersenyum. “Dan it’s ok. Sudah berlalu.” Aku tak akan pernah bisa benar-benar melupakannya, tetapi setidaknya aku sudah berdamai. Aku tak perlu memaafkannya. Aku hanya perlu memaafkan diri sendiri.
“Aku tak punya pilihan,” Lilian berkata lirih dan untuk sesaat Nina berpikir ia salah dengar. Nina meletakkan undangan itu. Semua karaywan lain sedang makan siang. Hanya ada mereka berdua di ruangan ini.
Nina menangkap kemurungan dan kesenduan di raut wajah Lilian. Mata Lilian terlihat agak sembap meski ia menutupinya dengan concealer. Tak ada kebahagiaan (atau kepanikan) khas calon mempelai di sana.
“Lil… ada apa?”
“Aku tak bisa mundur dari pernikahan ini. Apa pun yang terjadi.”
“Memangnya apa yang terjadi?” Nina memutari meja, mendekati sahabatnya.
Lilian menggeleng, mengusap air mata yang sempat menggenang.
“Semua sudah diurus jadi aku harus menikah dengannya, meski…”
Deg. Jantung Nina berdebar. Ada sesuatu yang ganjil dalam suara Lilian, dalam caranya meremas-remas tisu dan menghindari kontak mata.
“Kamu, kita, selalu punya pilihan.” Nina meletakkan tangannya di bahu Lilian.
Lilian menggeleng, tersenyum samar, tetap tak memandang Nina, “Aku sudah memilih.”
“Kalau begitu terimalah segala manis dan pahitnya, Lil. Semoga lebih banyak manisnya.” Nina tersenyum. Lilian mendongak, membalas senyum itu sekilas.
“Semoga sukses dengan studimu.”
“Juga dengan pernikahanmu.”
Mereka berpelukan lama sebelum akhirnya berpisah. Keduanya tahu mereka akan bersimpang jalan dan mungkin tak akan pernah berpapasan lagi.
***
“Jangan salahkan Lilian. Aku malah kasihan padanya. Menikah dengan bajingan. Mantan bajingan, semoga, tetapi nggak ada jaminan dia nggak mengulang itu, kan? Mungkin saja Lilian juga… dijerat dengan jebakan yang sama liciknya.”
Nina mendesah mengingat ucapan Vino, lalu menggeleng untuk mengusir pikiran buruk dari kepalanya. Semua orang punya pilihan, yang tak selalu benar, tetapi siapa yang tahu itu benar atau tidak? Dan memangnya kenapa bila akhirnya terbukti salah? Manusia tak luput dari kekeliruan dan permainan nasib.
Pernikahan Lilian dan Jerry berlangsung dua hari yang lalu. Ijab qobulnya syahdu dan mengharukan. Resepsinya mewah dan berkelas. Itu cerita orang-orang. Beberapa rekan Nina bertanya, “Kok kamu nggak datang?”
Nina menjawab dengan gumaman tak jelas yang tak jauh-jauh dari banyaknya pekerjaan yang harus ia selesaikan sebelum terbang ke Sydney. Padahal sebenarnya pada hari itu ia justru mengajak Vino ke rumah orangtuanya untuk berpamitan sekaligus menegaskan komitmen mereka.
“Aku akan menunggumu,” Vino berkata saat koper terakhir Nina masuk bagasi mobil. Vino meminjam mobil kantor khusus untuk mengantar Nina ke bandara.
“Tepati janjimu atau aku akan mengejarmu sampai mana pun Vinotian.” Nina meremas lengan Vino kuat-kuat.
“Ouch aku suka cewek galak.”
“Sebaiknya begitu.”
“Jangan lama-lama, ya.” Kata Vino kemudian. Lebih mirip bisikan.
Nina terperangah, “Tidak, Vin. Aku punya alasan untuk cepat-cepat pulang.”
Vino menutup bagasi, menatap Nina. Lembut dan dalam. Nina luluh lantak dibuatnya.
“Kuharap alasan itu aku.”
“Ya, alasan itu kamu, Vin.”
Vino merengkuh Nina, memeluknya erat. Sambil lalu Vino menggesekkan lengannya ke saku celana, memastikan kotak cincin yang ia simpan di situ masih ada. Ia akan mempersembahkannya nanti di bandara. Sebagai janji ia akan menanti.
TAMAT