Bulan Agustus selalu membawa kebahagiaan bagi saya. Perayaan HUT Republik Indonesia di mana-mana membuat saya mensyukuri salah satu berkah terbesar dalam hidup: tinggal di negara merdeka.
Merdeka itu kenikmatan tiada tara lho. Ayah saya lahir setahun sebelum negeri ini merdeka. Masa kecil ia lalui dalam ‘ontran-ontran’ revolusi fisik. Ia mengenang betapa sengsaranya zaman itu; ia hanya punya dua stel pakaian. Pernah kakek nenek saya hanya punya satu jarik (kain bawahan) yang dipakai bergantian bila perlu keluar rumah. Mereka harus berjalan berkilo-kilo sekadar untuk mendapatkan beras. Mereka harus segera bersembunyi bila serangan militer dilancarkan.
Negara kita belum sempurna. Ketimpangan ekonomi masih ada. Korupsi juga belum reda sepenuhnya, tetapi setidaknya kita sudah merdeka. Kita tidak perlu mencemaskan serangan udara atau disiksa musuh atau kehilangan orang-orang yang kita cintai di medan perang.
Pagi-pagi, saya merdeka berjalan ke pasar dan memilih sayuran yang saya suka. Saya bisa nonton Youtube, baca buku (bahkan yang mengkritik pemerintah), dan bertemu dengan siapa pun tanpa hambatan. Di negara yang tidak merdeka mana bisa.
Sayangnya, kadang kita sebagai perempuan justru menolak memerdekakan diri sendiri. Tak sedikit perempuan yang mengungkung diri dengan batasan-batasan yang tak lagi relevan.
Almarhum ibu saya bercerita, dulu ia ditentang banyak orang saat ingin mengambil sekolah perawat. “Buat apa perempuan sekolah, nanti akhirnya juga di rumah.” Kalau pun bersekolah, ia hanya diizinkan untuk mendaftar di sekolah guru. Guru dianggap satu-satunya profesi luar rumah yang pantas disandang perempuan. Untung ibu saya nekad dan akhirnya bisa mencapai karier tertinggi sebagai perawat kepala di rumah sakit besar.
Nah, sayang banget kan bila pada zaman sekarang masih ada perempuan yang menganggap tak seharusnya perempuan berpendidikan tinggi. Yang lebih parah, percaya bahwa perempuan tak seharusnya lebih dari kaum laki-laki, entah lebih pandai, lebih tinggi jabatannya, atau lebih banyak penghasilannya. Ada pula yang berkeyakinan perempuan tak boleh bekerja di luar rumah. Padahal, di zaman merdeka ini, siapa sih yang bisa membatasi aspirasi perempuan? Perempuan bisa jadi pilot, jadi menteri, hingga yang tebaru saya membaca tentang Nur Izzati Athirah Mohammad Yussof yang menjadi perempuan ahli las bawah laut pertama di Malaysia. Yang dilas? Kapal selam, konstruksi pipa air, pipa minyak, atau rig pengeboran lepas pantai di bawah laut!
Yasss, kita bisa menjadi apa pun selama kita tidak mengungkung pikiran. Bisa saja lingkungan sekitar membatasi, namun selama pikiran kita merdeka, kita akan menemukan jalan.
Tak bisa dimungkiri, masih banyak perempuan masa kini yang terpaksa menjadi korban ‘penjajahan’. Sebagian mereka terjerat kejahatan trafficking –jual beli manusia yang mengarah pada perbudakan--, kekerasan dalam rumah tangga, atau nilai tradisi yang masih menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua. Jadi mari usahakan kemerdekaan bersama-sama. Jangan mundur ke belakang lagi.
Para pahlawan sudah berkorban banyak untuk menghapus penjajahan. Tak layak lagi kita ‘menjajah’ diri sendiri dalam segala hal; pendidikan, pekerjaan, peran sosial, hingga hal-hal yang terkesan kecil, make-up misalnya. Ayolah, silakan bermake-up bila suka dan lepas make-up bila itu yang nyaman. Mau menikah? Silakan. Memilih melajang? Silakan juga. Suka berkebaya dan berkain? Bagus. Lebih nyaman berkaos dan celana? Oke. Kebaya padu padan dengan sneakers? Mengapa tidak? Selama tak mengganggu hak-hak orang lain, mari memerdekakan diri sendiri.