Saya pernah tergabung dalam WAG Jastip (jasa titip) yang rata-rata anggotanya adalah emak-emak. Kenapa emak-emak? Karena si pengelola jastip juga seorang emak dan paling demen menyambangi pameran buku, toys fair, dan mother-baby fair.
Kalau pas si pengelola jastip ini live shopping, wuih bisa dilihat deh keseruan emak-emak dalam belanja. Notifikasi dari grup ini bisa ratusan. Si pengelola jastip harus menyediakan modal lebih dari sepuluh juta buat menalangi gairah belanja peserta. Gimana nggak, mainan ratusan ribu laris kayak tahu gejrot.
Diam-diam saya bersyukur anak-anak saya sudah bukan bayi lagi. Kalau nggak, aduh duit saya juga bakal melayang karena semua mainan, baju, dan pernak-pernik imut itu. Tapi sebagai ibu yang tak baru-baru amat, saya tahu fungsi benda-benda tersebut tak seheboh keindahannya. Kita (eh saya) membeli barang-barang buat si kecil demi alasan emosional alih-alih rasional. “Habis lucu.” Semacam itulah. Haha, industri yang cerdik dengan mudahnya menggoda kita dengan sejuta rayuan manis khusus emak-emak baru; spa ibu hamil, baju hamil, maternity shoot, baby moon, baby shower, dan entah apalagi. Zaman dulu itu semua nggak ada, dan ibu-ibu kita baik-baik aja. Setelah ada, kita kok jadi merasa butuh. Nggak butuh pun, kita tetap pengin. “Habis lucu.”
Begitu saya hamil anak pertama, cihuyyy saya punya banyak alasan baru buat belanja. Suami yang sangat berbahagia setelah bertahun-tahun menantikan anak juga memanjakan saya. Jadilah, berlembar-lembar celana dan baju hamil masuk keranjang belanja, juga segala macam makanan mahal yang kami anggap bergizi (salmon, kiwi, susu khusus). Saya juga membeli setumpuk buah buku tentang kehamilan dan perawatan bayi.
Baca juga: Semua Ibu adalah Ibu Bekerja
Sebulan sebelum melahirkan alasan buat belanja makin kuat. Bayi kan butuh baju. Masalahnya, printil-printil lain yang banyak jumlahnya juga keangkut ke dalam keranjang belanja; deterjen khusus, kosmetik bayi, hingga apron menyusui, dan ehm, set handuk yang dikemas cantik, lucu banget pokoknya. Nah, begitu bayi lahir, tiap minggu ada saja yang perlu saya beli mengikuti umur si bayi; topi, kaus kaki (ada berbagai ukuran dan jenis),gendongan (banyak ragamya), mainan (mengikuti perkembangan bayi) dan sikat gigi (takjub saya karena sikat gigi bayi ternyata banyak macamnya).
Tentu saja seiring berjalannya waktu saya tahu sebagian barang-barang itu tak bermanfaat. Apron menyusui tak pernah saya gunakan. Saya jarang keluar rumah. Andai butuh menyusui di luar rumah, saya lebih suka menutupnya dengan kain gendong. Membawa apron menjadi beban tambahan. Mainan bayi hanya disentuh satu dua kali oleh si buyung. Dia lebih suka mainin rambut ibunya, taplak meja, dan remote control TV. Ada pula barang-barang yang malah dilarang digunakan oleh dokter, seperti bedak bayi dan gurita.
Begitu saya hamil dan melahirkan anak kedua, saya serasa menjadi ibu ‘veteran’. Tak ada alat makan khusus, tak ada blender khusus, tak ada spa dan pijat bayi (saya pijat sendiri di rumah), dan sikat gigi? Saya beli satu yang harganya tak sampai sepuluh ribu. Semua baik-baik saja.
Apakah saya menentang ibu-ibu baru buat belanja pernak-pernik? Nggak. Apalagi jika ada uang untuk itu. Silakan saja. Kenapa? Saya bisa merasakan kebahagiaan saat kita membeli barang-barang lucu itu. Saya bisa sangat emosional hanya dengan melihat sepatu superkecil berwarna lembut. Saya ingat perasaan hangat saat mengelus selimut bayi halus berbordir teddy bear. Saya tahu betapa menyenangkan menghirup wangi minyak bayi. Mempesona juga melihat si mungil berendam di kolam spa dengan neck ring. Foto yang dihasilkannya? Imut banget.
Ibu-ibu baru yang kelelahan dan kerepotan berhak mendapat kebahagiaan-kebahagiaan kecil. Tentu saja menyesuaikan budget ya. Nikmati saja selagi bisa, sebelum Anda menjadi ibu berpengalaman yang tak lagi peduli apakah sabun untuk si buyung sudah lolos sekian tes dan disetujui oleh dermatologis, sebelum Anda menyadari bahwa si kecil ternyata bahagia-bahagia saja main tanah dan ranting. Apa pun pilihan Anda, berbahagialah, mommies.