Sore itu saya sedang dalam taksi online. Saya duduk tenang sambil menelusuri medsos di gawai. ‘Bip’, terdengar bunyi klakson. Saya menoleh ke belakang. Jarak mobil yang saya tumpangi dengan mobil di belakangnya lumayan ‘aman’. Kenapa mobil saya diklakson? Tak seberapa lama bunyi klakson terdengar lagi. Saya mulai bertanya-tanya. Ada apa ini? Di jalan-jalan Jogja pembunyian klakson masih lumayan beradab. Kebanyakan orang memencet klakson hanya bila benar-benar membutuhkan.
Bip. Nah, terdengar lagi. Sopir mana sih yang seenak jidatnya memencet klakson? Dalam lalu lintas yang nggak macet kayak gini? Bip. Bip. Kini saya mulai tergangggu. Bip. Kenapa suaranya terdengar selalu dekat? Kayak menguntit. Gawai saya abaikan sepenuhnya. Saya mengamati sekeliling saya dan ya ampun, ternyata yang mengklakson dari tadi adalah sopir saya! Bip! Nah, dia melakukannya lagi.
Mendadak saya jadi malu. Walau itu bukan perbuatan saya, saya langsung nuduh orang lainlah penyebabnya. Duh, inilah kebiasaan jelek kita (eh saya). Kalau ada gangguan, kita cenderung ‘otomatis’ menganggap orang lain penyebabnya.
Baca juga: Happy Shopping, Mommies
Ada asap mengganggu? Tetangga tuh yang bakar sampah. BUKAN saya.
Berisik? Tetangga emang bebal, dikiranya cuma dia yang punya kuping.
Got mampet? Grrrkkkhh, ini orang-orang pada sekolah nggak, sih? Kok nggak bisa membedakan antara got dan tempat sampah.
Saya? Saya nggak bersalah, dong. Memangnya apa salah saya? Saya nggak ikut bakar sampah. Saya nggak ikut berisik. Saya nggak ikut mampetin got.
Eh. Atau iya?
Saya pernah mendengar ungkapan begini, “Yang biasanya mengeluhkan kemacetan adalah orang yang naik mobil.” Artinya, kita menyumpahserapi kepadatan jalan, tapi kita nyumbang pada kepadatan itu juga. Orang-orang yang nggak bepergian atau orang desa yang ke mana-mana naik sepeda ontel mah nggak pernah mengutuk jalanan.
Saya mungkin nggak pernah membuang sampah ke got, tetapi ke mana sampah-sampah plastik yang sebagian saya masukkan bank sampah dan sebagian saya serahkan pada tukang sampah? Saya nggak pernah yakin mereka berakhir di mana. Kalau tetangga-tetangga pada buang sampah di got, sebentar… mungkin karena mereka tidak memiliki kesadaran soal lingkungan. Sementara saya, yang punya sedikit (beneran dikit) kesadaran nggak mau repot-repot menularkannya.
Di media sosial, ironi-ironi seperti ini gampang banget kita temukan. Banyak akun-akun yang menuduh orang lain sebagai penyebab masalah, entah itu banjir atau kenaikan harga sayur mayur, tetapi setelah ditelusuri ternyata pemilik akun tersebut juga sama (atau malah lebih parah) kelakuannya. Banyak orang nyinyir terhadap prestasi orang lain, sementara pretasi dia ya cuma juara lomba nyinyir itu. Tak ketinggalan orang-orang yang mengatai tampang orang lain jelek, terlalu item lah, terlalu gendut lah, terlalu kerempeng lah, sementara belum tentu si penghina punya tubuh yang lebih sempurna.
Teman saya yang kebetulan bekerja di bank bagian kartu kredit bilang begini, “Banyak pemegang kartu kredit yang marah-marah ke bank setelah mereka kena denda banyak banget. Bilang bank kejam lah, nggak adil, bla bla bla. Tetapi, sebenarnya pola konsumsi merekalah yang menyebabkan mereka terperosok. Beli barang branded, traveling ke mana-mana, tapi lupa kalau semuanya pakai utang yang kudu dibayar.” Hadeh.
Mungkin sudah insting manusia untuk melempar kesalahan orang lain mungkin agar kita bebas dari rasa bersalah atau paling tidak merasa (merasa aja) lebih hebat daripada orang lain. Tapi, kan ya halu banget jadinya. Wong kenyataannya kita nggak lebih baik. Wong kenyataannya kita juga sumber masalah. “Biiiipppp. Woy, jangan main main klakson woy. Biiiiiipppp.”