To her, the name of father was another name for love.
Fanny Fern

Cerita Saya Tentang Baby Blues

author
Ken Terate
Sabtu, 12 Oktober 2019 | 18:00 WIB
| Kanya.id

Baby blues. Inilah momok yang menakutkan bagi semua ibu yang baru saja melahirkan. Saya beruntung karena bisa melalui eposide paskamelahirkan dua kali dengan baik-baik saja. Tanpa stress sama sekali? Ya nggaklah. Saya ingat saya baper dan mudah tersinggung. ‘Cuma’ dikatain, “perutmu kok nggak kempes-kempes,” bikin saya pengin melempar gelas.

Padahal diledek fisik biasanya nggak bikin saya sakit hati. Lihat suami istirahat di depan TV juga bikin tekanan darah naik. Padahal suami barusan pulang kerja dan butuh istirahat. Saya iri karena dia bisa istirahat haha. Suami nggak ragu buat turun tangan membantu mengasuh dan mencuci baju kotor, tetapi saat saya capek dan harus menyusui, haduh, saya uring-uringan sendiri lihat dia bisa nyantai. Masalahnya sebaik apa pun, suami kan nggak bisa menggantikan menyusui yak.

Tetapi untunglah, episode mewek-mewek itu tidak meniadakan kebahagiaan saya. Saya tetap sehat, nggak pengin menyakiti siapa-siapa, dan bisa berfungsi normal. Pokoknya lebih banyak senangnya dibanding senewennya.

Saya bukan ahli dalam bidang ini, tetapi saya ingin berbagi cerita tentang trick saya menghindari baby blues.

Baca juga: 10 Hal Ini Bisa Jauhkan Kamu Dari Baby Blues

Yang pertama, sudah lama saya tahu apa itu baby blues, bahkan sejak belum menikah. Alm ibu saya pernah cerita, “Dulu setelah melahirkan, aku sering merasa begitu sedih di waktu magrib.” Zaman itu istilah baby blues belum kondang, tetapi saya jadi tahu kondisi sedih/galau lazim terjadi pada ibu-ibu yang barusan melahirkan.

Yang kedua, saya belajar mengenai sindrom itu. Saya berbagi informasi dengan suami. Tujuannya, kalau itu terjadi, kami siap mengambil tindakan, misalnya pergi ke psikiater.

Next, ini penting: ingin dan siap punya bayi. Punya bayi sangat menyita energi tanpa ditambahi masalah lain. Jadi, kami mempersiapkan semuanya, fisik, mental, ekonomi. Semoga nggak terjadi ya, kita repot mengurusi bayi, masih ditambah jungkir balik nyicil utang.

Mental bisa dipersiapkan dengan banyak belajar.  Kami bersama-sama belajar tentang tumbuh kembang bayi, cara menyusui, imunisasi, dan sebagainya. Jadi ketika anak kami lahir sudah ada keputusan bagaimana kami akan memberinya gizi. Bila anak kami demam, kami nggak panik atau bersilang pendapat soal menanganinya. Kalau anak nangis, saya tahu itu wajar dan ikhlas menerimanya sebagai bagian dari pertumbuhannya.

Selanjutnya cari bantuan. Bantuan ini bisa dari siapa saja selama ayah dan ibu nyaman. Begitu saya hamil, saya dan suami sepakat untuk mencari asisten rumah tangga. Ini keputusan yang tepat karena begitu melahirkan saya bisa fokus mengurus bayi. Budhe, asisten kami, juga terbukti sangat disayang anak-anak. Bantuan juga datang dari adik saya yang waktu itu masih lajang dan tinggal bersama kami. Sang tante kadang membawa si bujang jalan-jalan sehingga saya bisa istirahat. Di perkotaan, bantuan ini bisa datang dari penitipan anak, jasa laundry, sampai layanan pesan antar-makanan. Bila disuruh memilih antara ngerjain tugas rumah tangga atau tetap waras, ingatlah untuk memilih tetap waras.

Baca juga: Ini Perbedaan Baby Blues dan Postpartum Depression

Yang terakhir, kerja sama dengan pasangan. Ini harus dibangun sejak kehamilan. Ceritakan harapan-harapan Anda padanya. Katakan bahwa Anda mungkin akan tepar/mellow/ geje dan minta dia mengerti. Tegaskan kalau Anda ingin berbagi tugas dan ini harus jelas, misal, malam ini kamu bertugas mengganti popok pada jam segini dan segini. Sampaikan apa yang bisa ia lakukan untuk meringankan beban Anda. Kadang sekadar mendengarkan dan menemani sudah bisa sangat berarti lho. Tapi suami kan belum tentu ngerti kalau Anda nggak bilang.

Perlu dicatat, saat anak lahir, nggak cuma ibu saja yang bisa kena baby blues. Suami saya ngaku, saat sedang dalam perjalanan ke kantor, dia kadang ingat bayi yang ia tinggalkan dan jadi mellow serta cemas. Kebersamaan dan penguatan satu sama lain bakal menyelamatkan perahu yang oleng dalam badai baby blues.

Semua cerita saya di atas bukan saran profesional. Tak ada jaminan pula akan berhasil bagi Anda. Mungkin saya hanya beruntung. Tetapi semoga sharing ini tetap bermanfaat.

 

Niken Terate

kenterate@gmail.com

Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.

 

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi